MATAHARI tepat di atas kepala ketika lebih dari 10 ribu orang berkumpul di halaman kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, pada hari pertama Ramadan lalu. Lapar dan dahaga tak menyurutkan sorak-sorai para perempuan muda berkerudung dan berseragam hitam-putih itu. "Hidup TKI," seru mereka. Beberapa membawa poster bertuliskan "Kami Butuh Pekerjaan".
Jalan Gatot Subroto, yang terbujur di depan kantor itu, langsung macet. Selain bus para pengunjuk rasa yang diparkir di bahu jalan, para demonstran juga "tumpah" ke badan jalan. Mereka, para tenaga kerja Indonesia (TKI) dan perusahaan pengerahnya, menuntut pemerintah agar tak menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri.
Erni, 32 tahun, mengaku ingin bekerja ke negeri jiran untuk menghidupi dua anaknya. "Daripada melacur, lebih baik jadi TKI," ujarnya enteng. Tempik sorak makin riuh ketika Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jacob Nuwa Wea, tampil dan menegaskan tak akan menghentikan pengiriman TKI. "Hidup Pak Menteri!" teriak mereka dengan nada puas.
Tak setitik rasa gentar membayang di wajah mereka. Padahal, dalam dua minggu terakhir, berita tentang para tenaga kerja wanita (TKW) yang tiba di Terminal III Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta, setelah dianiaya dan diperkosa majikannya, memenuhi layar televisi dan halaman media cetak. Berita kedatangan 1-3 mayat TKI tiap hari di Bandara Juanda, Surabaya, pun tak membuat nyali mereka ciut.
Lihatlah Erni. Sudah tiga kali ia bekerja di Arab Saudi. "Sukses terus," ujar perempuan asal Cilacap, Jawa Tengah, itu. Yang diperkosa dan dianiaya, katanya, hanya segelintir orang. Padahal, gara-gara berbagai kisah sedih itu, beberapa politikus, tokoh masyarakat, dan LSM langsung angkat bicara. Ketua MPR Amien Rais dan Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar mendesak Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi agar menghentikan sementara pengiriman TKI ke luar negeri. Demikian pula cendekiawan muslim Nurcholish Madjid, dan Imam Prasodjo dari LSM Nurani Dunia.
Tapi, perkara belum selesai, Muhaimin menggugat Jacob gara-gara tokoh PDIP itu dinilai melecehkannya. Berawal dari permintaan Muhaimin agar Jacob mundur dari kursi menteri jika tak mampu membela kepentingan TKI. Jacob langsung menyambut, "Muhaimin tidak pinter sebagai pimpinan Dewan, malah cenderung bodoh."
Ironisnya, ribuan TKI malah berencana menuntut para wakil rakyat dan tokoh yang meminta pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri. Menurut Direktur Lembaga Pelayanan dan Bantuan Hukum TKI, Munir Achmad, mereka akan menuntut Cak Nur, Amien, Imam, dan Muhaimin, yang mengkritik Jacob.
Sebelum polemik berkembang jauh, Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan pengiriman TKI ke luar negeri tak akan dihentikan. Namun, pemerintah berjanji membenahi berbagai masalah, termasuk perangkat undang-undang. "Langkah ini bukan atas desakan DPR," kata Jacob seusai menghadap Mega, Rabu lalu.
Menurut Jacob, penghentian pengiriman TKI pernah dilakukan pada Januari-Maret 2003 dengan alasan meningkatkan kualitas TKI. Namun, "Banyak duta besar dari Timur Tengah yang memprotes pada saya," ujarnya. Karena itu, sejak 1 April 2003 ia kembali membuka keran pengiriman TKI. Lagi pula lapangan kerja di dalam negeri memang sempit.
Angka pengangguran di Indonesia mendekati 10 juta, sedangkan pengangguran tak kentara mencapai 40 juta. Pada saat ini sekitar 2 juta TKI bekerja di luar negeri. Alasan lainnya tentu soal fulus. Menurut data Departemen Tenaga Kerja, dari sekitar 160 ribu TKI legal, devisa yang masuk pada 2003 mencapai US$ 2,5 miliar. Bahkan bisa lebih, karena sebagian besar uang langsung ditransfer ke rekening keluarga TKI di daerah. Belum lagi uang yang mengalir dari para TKI ilegal.
Kabupaten pemasok TKI terbanyak, seperti Tulungagung, Jawa Timur, pada 2001 menerima Rp 400 miliar kiriman para TKI kepada keluarganya. Data ini diperoleh dari pelacakan arus transfer uang di Bank BNI 1946, BRI, dan Kantor Pos Tulungagung. "Mayoritas dari Malaysia," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tulungagung, Sunindya. Derasnya arus rezeki ini menyuburkan bisnis money changer di kota kecil itu.
Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati) menyambut hangat keputusan pemerintah. Ketua Apjati, Husein A. Alaydrus, menganggap penundaan pengiriman itu tak perlu. "Ide ini sangat merugikan perusahaan pengerah tenaga kerja ke luar negeri," katanya kepada Jobpie Sugiharto dari TEMPO.
Kalangan LSM pun pada dasarnya tidak menyetujui penghentian pengiriman TKI secara total. Sebab, menurut Salma Safitri, Koordinator Program Solidaritas Perempuan, "Mencari kerja di luar itu merupakan kebebasan tiap orang." Mereka hanya berharap pemerintah melakukan jeda pengiriman sementara bagi TKW pembantu rumah tangga—kelompok paling rentan kekerasan—ke Timur Tengah.
Menurut Wahyu Susilo, Sekretaris Eksekutif Konsorsium Pembela Buruh Migran, pembenahan aturan sangat diperlukan. Selama ini TKI selalu menjadi korban sejak di Tanah Air, sebelum diberangkatkan, saat ditempatkan, bahkan sampai ketika pulang ke Tanah Air. Sementara sebelum berangkat para TKI sudah dipungut macam-macam biaya rekrutmen, saat ditempatkan pun banyak masalah.
Gara-gara pengawasan yang kurang serta peraturan perundangan yang lemah, kasus gaji tak dibayar penuh, penganiayaan, dan pelecehan seksual sering terjadi. Jika mereka melarikan diri, tak jarang mereka justru dipenjarakan atau ditampung oleh komplotan yang kemudian menjadikan mereka pelacur.
Ketika pulang ke Tanah Air, di bandara saja mereka ditarik ongkos gila-gilaan. Resminya, para TKI dipungut biaya Rp 160 ribu dan kompensasi jasa pelayanan pemulangan TKI sebesar Rp 25 ribu, yang dikelola Induk Koperasi Kepolisian. Tapi perusahaan angkutan bisa memainkan angka. "Untuk ke Cianjur, misalnya, satu TKI bisa kena Rp 800 ribu," kata seorang petugas di Terminal III. Kurs di bandara pun sering dimainkan dengan memanfaatkan ketidaktahuan para TKI.
Di bisnis pengerah, paling tidak kini ada 600 PJTKI legal dan ratusan yang ilegal. Toh, Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri, I Gusti Made Arke, mengatakan Indonesia memerlukan 800 PJTKI. Pernyataan itu jelas mendorong tumbuhnya bisnis keringat ini. "Pemerintah berparadigma komoditas karena melihat TKI sebagai barang," ujar Wahyu.
Untunglah, pemerintah akan segera membentuk lembaga perlindungan TKI di luar negeri. Pada awal 2004, lembaga hasil kerja sama lima departemen—Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Luar Negeri, Kehakiman dan HAM, Agama, Perhubungan—ini sudah berfungsi. "Tiap 10 ribu TKI akan diawasi satu orang," kata Menteri Koordinator Kesra Jusuf Kalla, Jumat lalu.
Untuk tahap awal, lembaga yang akan menitikberatkan perhatiannya pada pembelaan dan penyelesaian kasus hukum ini dibentuk di Arab Saudi dan Kuwait. "Negara lain tidak terlalu signifikan," kata Jacob. Pada awal November atau akhir Desember, Jacob berencana menemui Menteri Perburuhan dan Sosial Arab Saudi untuk bernegosiasi.
Masalahnya, bagaimana jika peraturannya masih lemah? Sebab, selama ini para TKI hanya punya payung hukum tertinggi berupa Keputusan Menteri No. 104A Tahun 2002. Sebenarnya, Rancangan Undang-Undang Perlindungan TKI itu sudah lama diselesaikan di DPR. Enam bulan lalu, usul inisiatif undang-undang itu pun sudah diserahkan kepada pemerintah agar Presiden menunjuk menteri untuk membahas bersama. "Tiga kali surat mereka layangkan, namun hingga kini tak ada tanggapan," kata Muhaimin.
Salma dan Wahyu sependapat, pemerintah tidak bisa mengharapkan negara luar melindungi TKI jika Indonesia sendiri tidak punya Undang-Undang Perlindungan TKI. Karena itu, pemerintah pun harus meratifikasi Konvensi PBB tentang perlindungan buruh migran dan keluarganya, agar bisa menyelesaikan masalah antarbangsa.
Menurut Imam Prasodjo, baik pemerintah, DPR, maupun masyarakat punya andil kesalahan. Ia menyarankan Indonesia mencontoh Filipina. Selain memiliki Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran dan meratifikasi Konvensi PBB, negeri yang 30 persen APBN-nya berasal dari pekerja migran itu memandang buruh sebagai manusia, bukan sekadar komoditas. "Jangan mau duitnya doang," ujar sosiolog dari Universitas Indonesia itu.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Istiqomatul Hayati, Agriceli (TNR), Dwidjo U. Maksum (Tulungagung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini