UMAT Hindu di Indonesia baru saja melaksanakan hari raya Nyepi tahun Saka 1923. Upacara ritual sehari sebelum Nyepi, yang disebut Tawur Kesanga, berjalan dengan mulus di Denpasar, Bali, Sabtu pekan lalu. Padahal, upacara itu nyaris diprotes umat kalau saja rencana semula yang dirancang Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) jadi dilaksanakan, yakni hanya memakai pendeta dari kalangan tri sadhaka (Syiwa, Bodha, dan Wesnawa) dan tidak melibatkan pendeta di luar kelompok itu.
Para pemrotes itu menuntut agar pendeta yang melaksanakan upacara adalah pendeta sarwa sadhaka, artinya melibatkan semua pendeta tanpa memandang klan. Protes inilah yang akhirnya disetujui, sehingga upacara berjalan tanpa ganjalan.
Protes seperti ini sebenarnya sudah ada sejak dulu. Menurut Dr. Gde Pitana, Msi., Sekretaris Jenderal Maha Gotra Sanak Sapta Rsi (organisasi warga Pasek, klan terbesar di Bali), gugatan terhadap diskriminasi kependetaan itu muncul sejak Indonesia merdeka pada 1945. Yang jelas tercatat, pada 1961 PHDI pernah menyatakan melalui Piagam Campuan bahwa setiap umat Hindu bisa menjadi pendeta. Bahkan, pada Mahasabha PHDI 1968, ada ketetapan yang menyatakan bahwa umat Hindu dari mana saja bisa menjadi pendeta. Namun, menurut Pitana, konsep yang disebut sarwa sadhaka itu belum terwujud sepenuhnya. Lihat pada upacara-upacara besar di Pura Besakih, misalnya upacara Eka Dasa Rudra pada 1979. Konsep sarwa sadhaka itu belum diterapkan.
Penganut konsep tri sadhaka menganggap bahwa tradisi itu sudah berumur ratusan tahun, jadi tak perlu diubah. Alasan mereka, masyarakat belum siap menerima perubahan. Tentu alasan itu ditentang mentah-mentah oleh kalangan pro-sarwa sadhaka. Menurut mereka, justru masyarakat sebetulnya telah siap menerima konsep itu. Buktinya, sarwa sadhaka telah dipakai dalam upacara-upacara di pedesaan. Hanya upacara yang kepanitiaannya didominasi PHDI dan Pemda Bali yang memakai pendeta terbatas pada tri sadhaka.
Konsep tri sadhaka memang sudah karatan. Diperkirakan, konsep tri sadhaka ini muncul pada abad ke-16, dan dirujuk ke riwayat seorang pandita (pendeta) bernama Mpu Nirartha dari Jawa. Tokoh itu pernah menjadi penasihat utama Kerajaan Gelgel yang menguasai seluruh wilayah Bali. Sebagai pendeta kerajaan, Nirartha, juga Mpu Astapaka, keponakannya, memperoleh wewenang untuk memimpin berbagai upacara keagamaan yang besar, khususnya di Pura Besakih. Kehadiran dua tokoh itu akhirnya meminggirkan peran para pendeta dari kalangan masyarakat Bali. Tradisi itu berlangsung berabad-abad.
Versi lain menengarai bahwa konsep tri sadhaka yang elitis itu muncul sejak Kerajaan Majapahit menaklukkan Bali pada abad ke-14. Karena kedatangan orang Majapahit, masyarakat keturunan Bali menjadi warga nomor dua. Karena itu, posisi sosial kaum pendatang itu selalu tergolong dalam tiga kelas sosial yang tinggi yang disebut triwangsa, yaitu brahmana, ksatria, dan weisya. Sementara itu, masyarakat Bali dianggap sebagai jaba alias orang jajahan. Nah, proses dominasi kependetaan terjadi sejak itu, ketika pendeta hanya berasal dari triwangsa.
Ketika penjajah Belanda menginjakkan kakinya di Bali pada awal abad ke-20, posisi triwangsa semakin kokoh, walau jumlah mereka hanya tujuh persen dari seluruh penduduk Bali. Belanda bahkan menerapkan sistem kasta dengan membelokkan ajaran Hindu tentang catur warna. Lalu, dibuat kesan kaum Sudra tidak boleh menjadi pendeta, padahal ajaran Hindu tentang catur warna memberikan hak yang sama kepada seluruh umat mau menempatkan posisinya sebagai apa.
"Konsep tri sadhaka itu tidak ada dalam Weda," kata Prof. I Wayan Jendra, ahli sastra agama Hindu dari Universitas Udayana, Denpasar. Sebab, menurut ajaran Weda, kata Jendra, yang menjadi dasar kependetaan adalah ketaatan spiritual, bukan karena keturunan. Ajaran Hindu, menurut Jendra, tidak mengenal konsep kasta dalam pengertian hirarkis. Yang ada dalam Weda, seperti disebut dalam Bhagavad Gita Bab IV Sloka 13, adalah konsep catur warna, yaitu kategorisasi berdasarkan pekerjaan. Keempat warna itu, menurut cendekiawan Hindu Nyoman S. Pendit, adalah brahmana (pendeta dan intelektual), ksatria (prajurit dan pejabat), weisya (pengusaha dan pedagang), dan sudra (pekerja dan pelayan). Warna itu bisa berubah-ubah tergantung kemauan seseorang. Seorang pelayan yang tadinya sudra, setelah belajar Weda dan menjadi pendeta otomatis ia menjadi brahmana. Pengusaha yang bangkrut dan kembali menjadi pekerja berubah dari weisya menjadi sudra. Demikian seterusnya.
Masalahnya adalah, kenapa PHDI kukuh mempertahankan konsep tri sadhaka kalau ada upacara besar di Besakih atau Tawur Kesanga yang setingkat provinsi. Ada yang menuding, PHDI masih didominasi kelompok tertentu dan masih "berbau" Orde Baru. Namun, Ketua PHDI Denpasar, I Gusti Putu Rai Andayana, membantah tudingan itu. "Itu sama sekali tak terlintas dalam benak kami," kata Putu Rai. Ia membeberkan kenyataan bahwa jumlah pendeta tri sadhaka memang lebih banyak dari pendeta sarwa sadhaka.
Entah mana yang betul, yang jelas, umat Hindu khususnya di Bali sudah banyak berseberangan dengan pengurus PHDI. Syukurlah, mahasabha (kongres) PHDI tinggal beberapa bulan lagi, dan suara kaum reformis tampaknya akan menang.
Kelik M. Nugroho, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini