Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh ekor luak itu menyeruak dari sela-sela kandang bambu, meminta jatah makan pagi. Si pemilik luak, Busaman, warga Dusun Suko, Desa Gombengsari, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, membawa satu kantong keresek berisi satu kilogram bekicot mentah. Luak-luak itu langsung menyambar sarapan dengan lahap. Sejam kemudian, semua bekicot ludes. "Bekicot menjadi makanan alternatif bagi luak saat tidak sedang panen kopi," ujar Busaman, Rabu dua pekan lalu.
Ia menangkap luak liar di salah satu kebun di kampungnya, Januari lalu. Luak itu dibudidayakan menjelang masa panen kopi pada April-Mei mendatang. Sebagian besar warga di Dusun Suko adalah petani kopi robusta. Mereka rata-rata memiliki seperempat hektare kebun kopi di halaman rumah. Petani Suko menjadi pemasok tetap Usaha Dagang Nusantara Jaya, perusahaan penjual kopi luak yang memiliki merek dagang Banyuwangi Coffee. "Mereka yang mengenalkan kami dengan luak," kata lelaki 52 tahun itu.
Sebelum 2007, Busaman berkisah, para petani tidak tahu bahwa kotoran luak bisa bernilai tinggi. "Kotoran itu hanya dibuang," ujarnya. Setelah bekerja sama dengan UD Nusantara Jaya, petani tidak hanya menjual hasil kopi, tapi juga kotoran luak. Biji kopi hanya dihargai Rp 5.000 per kilogram, sedangkan harga kotoran luak berlipat menjadi Rp 75 ribu per kilogram. Sepekan, seorang petani mampu mengumpulkan minimal tiga ons kotoran luak dan memanen 15 kilogram kopi.
Pemilik UD Nusantara Jaya, Reza Herta Irawan, mengatakan produksi kopi luaknya mencapai 70 kilogram. Dari jumlah itu, 30 kilogram biji kopi luak diekspor ke Korea. "Sisanya untuk melayani pasar nasional," kata lelaki 33 tahun ini. Menurut Reza, permintaan pelanggannya sebenarnya mencapai 1,2 ton per bulan. Namun susahnya mendapat bahan baku membuat jumlah produksi terbatas. Ia bahkan harus berburu kopi ke Sumatera dan Sulawesi.
Kopi racikannya mampu menembus pasar Korea Selatan. Di Korea, harga kopi luak robusta bubuk mencapai Rp 600 ribu per kilogram, sementara arabika Rp 900 ribu per kilogram. "Sedangkan harga kopi yang masih dalam bentuk biji Rp 500 ribu per kilogram," ujarnya.
Meski keuntungan menggiurkan, ia menuturkan, mengawali bisnis kopi luak tidak gampang. Ia harus mengiming-imingi petani beternak luak dengan imbalan Rp 50 ribu per ekor. Namun, saat mereka pertama kali beternak, 100 ekor luak mati hanya dalam sepekan. Apalagi luak membutuhkan biaya perawatan yang besar, misalnya untuk makan. Setahun sekali, luak harus dilepas supaya dapat bereproduksi di alam. Kini tinggal Busaman yang masih membudidayakan luak, sedangkan warga lain hanya menggantungkan keberuntungan kopinya dilalap luak liar.
Petani kopi luak di Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, dan Desa Garahan, Kecamatan Silo, Jember, mendapat masalah serupa. Salah satunya Slamet, 50 tahun, yang memilih pensiun beternak luak setelah binatang itu mati. Selama ini, Slamet sering memaksa luak makan biji kopi berlebihan. Sejak akhir 2011, luak peliharaannya sering sakit. Dia pun harus mengeluarkan duit lebih banyak untuk mengobati mereka. "Saya ngopeni kebun kopi saja. Untung-untungan saja kalau ada luak datang dan buang kotoran," kata petani yang memiliki setengah hektare kebun kopi itu.
Temuan kotoran luak bercampur biji kopi dari warga desa di sekitar perkebunan kopi di Jember itu kini dijadikan andalan pemasok bahan baku oleh CV Bung Pring, perusahaan pengolah kopi luak milik Hendi. Hendi memutuskan hanya membeli dan menjual kopi luak liar, bukan luak kandang, dengan mengandalkan pengepul. Saat ini dia sudah memiliki sepuluh pemasok tetap di beberapa desa sekitar kebun kopi di Jember. "Dengan cara itu, kami bisa punya stok minimal 200 kilo kopi luak setiap bulan," ujar Hendi, yang memulai bisnis kopi luak ini pada awal 2011.
Ia menjaga kualitas kopi luak buatannya dengan menghindari kopi luak yang dipaksakan. Selain itu, proses pengolahan kopi luak harus sempurna. Misalnya, proses pengeringan biji kopi minimal dua minggu, untuk menghilangkan kadar air. "Karena kadar air yang rendah akan membuat kopi memiliki aroma dan rasa khas yang berbeda dengan kopi biasa," katanya.
Setelah kopi dikeringkan dan dihaluskan, bubuk itu dikemas dalam ukuran 20 gram dan 50 gram. Kemasan kopi menggunakan pembungkus obat dan kertas aluminum foil. Dalam sepekan, Hendi mengaku bisa melayani 23 transaksi penjualan kopi luak liar siap seduh dan biji sudah sangrai ke seluruh Indonesia dan beberapa negara lain. Beberapa pelanggan tetapnya berasal dari wilayah DKI Jakarta, Surabaya, Tangerang, Malang, Jember, Bali, dan Kalimantan. "Bahkan kami telah membuka cabang di Bangka-Belitung, Sampit, Banjarmasin, dan Tangerang," ujarnya.
Kopi luak ini juga dipasarkan hingga ke luar negeri. Ia melayani pesanan Malaysia, Singapura, Rumania, Jepang, Cina, Jerman, dan Rusia sejak pertengahan 2012. "Saya mengandalkan sejumlah relasi untuk membantu memasarkan dan mempromosikannya melalui situs di Internet," katanya.
Setahun menggeluti bisnis ini, ia mampu meraup keuntungan Rp 15 juta per bulan. Keuntungan itu terus melonjak seiring deÂngan meluasnya jaringan pemasaran. Pada 2012, omzet penjualan kopi luaknya Rp 64 juta setiap bulan. Berkat bisnisnya itu, Hendi mampu menyelesaikan kuliah pascasarjaÂna di universitas Islam negeri. "Saya juga telah merekrut tujuh karyawan tetap," ujarnya.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Hortikultura Banyuwangi Tatok Sugianto mengatakan pemerintah Banyuwangi memang belum berfokus mengembangkan kopi luak dari kebun rakyat. Sebab, kata dia, budi daya luak sulit dilakukan. "Luak kan hewan liar, jadi kami tidak bisa menjangkau hal itu jadi program," katanya.
Menurut Tatok, Dinas Pertanian hanya membantu pemasaran melalui pameran produk usaha di sejumlah kota. Nantinya, produk kopi luak kebun rakyat semakin terkenal sehingga mendatangkan banyak pembeli. "Dan bisa memberikan kesejahteraan bagi para petani," ujarnya.
Eko Ari Wibowo, Ika Ningtyas (Banyuwangi), Mahbub Djunaidy (Jember)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo