Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto membalas pernyataan Rachmawati Soekarnoputri yang menuding Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri telah melakukan makar saat menjadi wakil presiden pendamping presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rachmawati menuturkan makar yang dilakukan Megawati terjadi ketika Gus Dur hendak menetapkan Chairuddin Ismail sebagai Kapolri. Menurut Rachmawati, Megawati melakukan tindakan insubordinasi atas pilihan Gus Dur agar Suroyo Bimantoro bisa menjadi Kapolri.
"Kami sangat menyayangkan pernyataan tersebut. Ibu Rachma sering membuat pernyataan yang kurang simpatik," ujar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto lewat keterangan tertulis pada Rabu malam, 15 Mei 2019.
Hasto mengatakan kepemimpinan transisi antara Gus Dur dan Megawati saat itu dihadapkan pada persoalan yang kompleks, dimana krisis multidimensional terjadi. Megawati, ujar Hasto, hanya menjalankan konstitusi dan tugas pemerintahan sesuai dengan kebijakan MPR. Sebab saat itu kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
"Semua pihak seharusnya melihat dengan jernih apa yang terjadi dengan dualisme kepemimpinan Polri saat itu, antara Pak Bimantara dan Pak Chaerudin. Ketika Ibu Megawati mengukuhkan kembali Pak Bimantara, beliau telah dikukuhkan oleh MPR sebagai Presiden. Pak Amien Rais tahu semua itu," ujar Hasto.
Tujuannya, ujar Hasto, menghentikan keresahan di internal Polri. Soliditas Polri saat itu dinilai sangat penting di dalam menciptakan rasa aman dan ketentraman masyarakat, terlebih menghadapi situasi politik saat itu, seperti konflik di Maluku.
"Atas tuduhan pembangkangan juga tidak terbukti. Sebab tidak pernah ada perintah pelantikan Kapolri, karena itu di luar kewenangan beliau sebagai wapres," ujar dia.
Hasto meminta Rachmawati tak terus melakukan otokritik, melainkan melihat ke dalam daripada memperkeruh suasana. "Ucapan Ibu Rachma kurang pas. Kasihan beliau tidak melihat persoalan bangsa dengan jernih. Selama ini rakyat juga mencatat, bagaimana pandangan politik Ibu Rachma selalu tidak tepat," ujar Hasto.
Pada masa masa kepemimpinan Gus Dur pada tahun 2001, terdapat dualisme kepemimpinan dalam tubuh Polri. Cerita tersebut juga tertuang dalam buku Melawan Skenario Makar: tragedi delapan perwira menengah Polri di balik kejatuhan presiden Gus Dur (2001) yang ditulis oleh Edi Budiyarso.
Ketika itu, Gus Dur terlibat perseteruan dengan DPR. Dia tidak mengindahkan Memorandum I dan II yang disodorkan oleh DPR, hingga akhirnya DPR yang saat itu diketuai Akbar Tandjung meminta MPR yang diketuai oleh Amien Rais, agar segera menggelar Sidang Istimewa.
Sebelum Sidang Istimewa digelar pada pada 19 Juli 2001, Gus Dur meminta persetujuan DPR untuk mendukung rencana penetapan Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Kapolri, menggantikan Jenderal Surojo Bimantoro yang sudah dinonaktifkan Gus Dur sebagai Kapolri. Namun, permintaan Gus Dur tersebut tak disetujui DPR, tapi Chaeruddin tetap dilantik sebagai Pjs oleh Gus Dur.
Buntut dari pelantikan Pjs Kapolri ini, MPR lantas mempercepat Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Hasilnya, Gus Dur lengser dan digantikan oleh Wakil Presidennya, Megawati Soekarnoputri. Usai menjadi Presiden, Megawati pun langsung mencabut jabatan nonaktif Kapolri Jenderal Polisi Surojo Bimantoro dan melantiknya kembali menjadi Kapolri.