Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk Desa Bendo, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, tak lagi cemas kekurangan air bersih tatkala kemarau tiba. Sejak 2010, di kampung itu ada Embung Grobogan atau kolam penampung air seluas 6 hektare. Persediaan airnya menjamin 50 hektare sawah yang letaknya 10 kilometer dari pusat kota itu. "Airnya tidak pernah habis. Pada musim kemarau menjadi tujuan warga untuk mendapatkan air bersih," kata Nur Cholis, 33 tahun, penduduk desa itu, Selasa pekan lalu.
Warga juga gemar memancing ikan di embung ini. "Jadi, embung ini sangat bermanfaat," kata Nur Cholis. Menyadari manfaatnya, penduduk rela merawat embung dengan memelihara kebersihan air dan mengupayakan penghijauan.
Embung Grobogan adalah satu dari ratusan embung yang dibuat pemerintah Bojonegoro pada 2010. Pembuatan embung merupakan satu dari beberapa solusi pengelolaan dan penanggulangan bencana. Berkat prestasi inilah, pada Selasa dua pekan lalu, Bojonegoro dinobatkan sebagai juara nasional pengelolaan dan penanggulangan bencana.
Penghargaan juara nasional disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional penanggulangan bencana di Jakarta. Bojonegoro menjadi juara nasional karena menyabet tiga penghargaan sekaligus: juara pertama bidang pascabencana, juara pertama bidang logistik dan peralatan, serta juara pertama bidang perencanaan, keuangan, dan kelembagaan.
Penghargaan itu menjadi titik balik bagi Bojonegoro. Maklum, kota itu selama ini menjadi langganan banjir pada musim hujan dan mengalami kekeringan saat kemarau.
Bencana itu terjadi antara lain lantaran posisi geografis Bojonegoro. Di sepanjang wilayah utara, Bengawan Solo mengalir. Banjir terjadi akibat kiriman air dari daerah hulu, seperti dari Karanganyar, Solo, Sragen, Madiun, Ngawi, dan sekitarnya. Wilayah selatan merupakan pegunungan kapur yang menjadi bagian dari Pegunungan Kendeng. Pegunungan kapur juga meliputi bagian barat laut yang berbatasan dengan Jawa Tengah.
Hutan di bukit yang mengitari Bojonegoro pun sudah gundul. Akibatnya, 15 dari 28 kecamatan yang terdiri atas 430 desa/kelurahan ini rawan banjir. Padahal sebagian dari desa-desa itu merupakan lumbung padi Bojonegoro, seperti Desa Cengungklung di Kecamatan Gayam dan Desa Celangap di Kecamatan Kalitidu.
Di luar itu, ada 11 kecamatan yang justru rawan kekeringan. Daerah rawan kekeringan kebanyakan jauh dari kantong air di pinggir kawasan hutan yang telah rusak, di bagian selatan kota. Misalnya Kecamatan Sukosewu, Temayang, Sugihwaras, Kedungadem, Gondang, Sekar, Tambakrejo, dan sebagian Kecamatan Ngasem.
Adapun Kecamatan Trucuk, yang berada di pinggir Bengawan Solo, sering gagal panen karena banjir saat musim hujan, tapi kekeringan ketika kemarau. Jika sumur kering, penduduk mengambil air dari Bengawan Solo untuk kebutuhan sehari-hari.
Kondisi itu berlangsung puluhan tahun. Pemerintah Kabupaten baru menangani secara serius sejak 2010. Langkah yang dilakukan untuk mengatasi bencana adalah membangun Bendungan Gerak, merencanakan membangun 1.000 embung, dan memasang pompa penyedot banjir.
Bendungan Gerak seluas 33 hektare dibangun di badan Bengawan Solo pada 2011. Bendungan ini bisa menyimpan air ketika banjir untuk disalurkan ke lahan pertanian saat kemarau. "Manfaatnya besar," ujar Tamban Sugianto, 44 tahun, penduduk Desa Kandangan, Kecamatan Trucuk. Pemerintah Bojonegoro juga sedang mengusulkan pembangunan Bendungan Karangnongko. Lokasinya di Kecamatan Ngraho, di badan Bengawan Solo, sekitar 65 kilometer dari pusat kota. Dam ini bisa digunakan untuk mengontrol debit air.
Program 1.000 embung sudah dalam proses penyelesaian 300 embung. Embung diprioritaskan di daerah yang jauh dari kantong air untuk mengatasi kekeringan. Tiap embung dilengkapi pintu pengatur air. Luas setiap embung bervariasi. Ada yang luas sekali seperti Embung Grobogan, tapi ada juga yang hanya ratusan meter. Pembangunan 1.000 embung ditargetkan rampung pada akhir masa jabatan Bupati Bojonegoro Suyoto pada 2018.
Dinas Pengairan dan Dinas Pekerjaan Umum menata infrastruktur keluar-masuknya air dari dan ke Bengawan Solo. Pompa penyedot banjir dipasang di tiga lokasi di kota. Pintu air meneruskannya ke kanal-kanal jika hujan turun deras.
Koordinasi dengan tetangga pun dilakukan. Bojonegoro, Tuban, dan Lamongan sepakat mengatasi banjir bersama-sama. Di Lamongan dipasang dua pompa besar. Satu di Desa Kuro, Kecamatan Karangbinangun, dan satu lagi di Desa Plang Wot, Kecamatan Laren.
Pompa air di Desa Kuro dipasang di Bengawan Jero, yang mengalir di Lamongan. Kapasitasnya 4.000 liter per detik. Air yang dipompa langsung dibuang ke laut di perairan Gresik. Adapun pompa di Plang Wot berkapasitas 40 ribu liter per detik. Pompa air dipasang di dam yang menghubungkan sodetan air Bengawan Solo menuju muara di laut utara, di Sedayu Lawas, Kecamatan Brondong, Lamongan. "Mengatasi banjir harus berkesinambungan," ujar juru bicara Pemerintah Kabupaten Lamongan, Mohammad Zamroni, Senin pekan lalu.
Efeknya, jika dua tahun lalu curah hujan 100 milimeter sudah membuat Bojonegoro banjir, kini banjir baru datang jika hujan mencapai 130 milimeter. Meski begitu, banjir masih mengintai.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro mencatat banjir merendam 8 kecamatan dan 77 desa selama 2011. Kerugiannya ditaksir Rp 15 miliar. Pada 2012, banjir menyambangi 59 desa di 15 kecamatan dengan kerugian Rp 29 miliar. Pada 2013, banjir menyerang 47 desa di 14 kecamatan dengan kerugian Rp 9,5 miliar. Adapun pada musim hujan 2014, banjir merendam 45 desa di 14 kecamatan dengan kerugian sekitar Rp 4,5 miliar.
Meski banjir dan kerugian sudah menurun, pemerintah berusaha mengubah pola pikir warga tentang bencana. Masyarakat dibiasakan memaknai bencana alam sebagai berkah, bukan musibah. Kantor Dinas Komunikasi dan Informasi bekerja sama dengan BPBD mengkampanyekan slogan "Banjir Tak Mesti Ditakuti tetapi Dikelola". Kampanye dilakukan melalui radio dan mobil pemerintah, yang berkeliling kota mengabarkan banjir akan datang. Menjelang musim hujan 2013, masyarakat Kelurahan Ledok Wetan yang menjadi langganan banjir memasang spanduk bertulisan "Selamat Datang Banjir".
Kesiagaan pun tetap dijaga. Dinas Pengairan memasang alat ukur banjir atau papan duga di pinggir Bengawan Solo, di sebelah utara pasar besar kota, di Desa Karangnongko, Kecamatan Ngraho, dan di Kecamatan Kanor. Alat yang dilengkapi sirene ini akan berbunyi jika lampu merah siaga III, kuning siaga II, dan biru siaga I menyala. Jika sirene berbunyi, warga harus bersiap menghadapi banjir. "Warga sudah terbiasa mendengar sirene," ujar Kepala BPBD Bojonegoro Amir Syahid, Senin pekan lalu.
Perahu karet 21 unit disebar di pelbagai instansi jika banjir datang. Sekitar 3.000 pegawai negeri diturunkan untuk membantu masyarakat di 16 kecamatan yang dilewati Bengawan Solo. Tim siaga bencana dibentuk untuk menangani pengungsi. Anggotanya polisi, tentara, Polisi Pamong Praja, serta personel Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, dan BPBD, berkoordinasi langsung dengan bupati, wakil bupati, dan sekretaris kabupaten.
Tim siaga bertugas mendirikan tenda darurat dan dapur umum, berkeliling mengevakuasi warga dengan perahu, serta memenuhi semua kebutuhan pengungsi di penampungan. Pengungsi ditampung di empat penampungan di Kecamatan Kota, Trucuk, Kalitidu, dan Padangan. Tiap penampungan berkapasitas 1.500 orang.
Tim siaga bencana berprinsip, selama terjadi bencana, tak boleh ada penduduk yang menengadahkan tangan meminta bantuan. "Tak boleh ada yang jadi pengemis dadakan ketika banjir datang," ujar Bupati Bojonegoro Suyoto, Senin pekan lalu.
Ia berusaha mengubah pola pikir warga dari mengantisipasi dan menanggulangi menjadi mengelola bencana. Pada saatnya, banjir akan dikelola untuk pariwisata Bengawan Solo. "Prosesnya sudah kami lakukan," katanya.
Endri Kurniawati, Sujatmiko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo