Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Buya Hamka Selesaikan Tafsir Al-Azhar 30 Jilid Selama 2 Tahun Dipenjara Orde Lama

Buya Hamka meninggal dunia di Jakarta dalam usia 73 tahun pada 24 Juni 1981. Dijebloskan penjara Orde Lama, diselesaikannya 30 jilid Tafsir A;-Azhar.

24 Juni 2022 | 14.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Buya Hamka, Jakarta, 1981. Dok.TEMPO/Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Buya Hamka meninggal dunia di Jakarta dalam usia 73 tahun pada 24 Juni 1981. Buya Hamka adalah seorang ulama, sastrawan, sekaligus tokoh politik Indonesia. Selama hidupnya, Buya Hamka sempat melahirkan beberapa karya sastra, yang terlaris adalah Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buya Hamka lahir di Tanah Sirah wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Dia adalah putra sulung Abdul Karim Amrullah dan Safiyah. Pada 1924, saat usianya baru 16 tahun, Buya Hamka telah merantau ke Yogyakarta. Di sana Buya Hamka mulai belajar mengenai sejarah dan pergerakan Islam. Setelah merantau, ia kembali ke Padang Panjang membesarkan Muhammadiyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keinginan Buya Hamka pergi ke Mekah terlecut ketika ditolak sebagai guru di sekolah milik Muhammadiyah. Ia ditolak lantaran tak memiliki diploma, dan dikritik atas kemampuan berbahasa Arabnya, dikutip dari pustaka.isi-padangpanjang.ac.id. Kemudian berangkatlah ia ke Mekkah. Dengan bahasa Arab yang dipelajarinya, Buya Hamka mendalami sejarah Islam dan sastra secara otodidak.

Kembali ke Tanah Air, Buya Hamka merintis karier sebagai wartawan sambil bekerja sebagai guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kembali ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Lewat berbagai karyanya, Buya Hamka melambung sebagai sastrawan.

Selama revolusi fisik Indonesia, untuk menggalang persatuan menentang kembalinya Belanda, Buya Hamka bergerilya di Sumatra Barat bersama Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Pada 1950, Hamka membawa keluarganya ke Jakarta. Awalnya ia mendapat pekerjaan di Departemen Agama, tapi mengundurkan diri lantaran terjun di jalur politik. Dalam pemilihan umum 1955, Hamka terpilih dan duduk di Konstituante mewakili Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi. Buya Hamka terlibat dalam perumusan kembali dasar negara.

Sikap politik Partai Masyumi yang menentang komunisme dan anti-Demokrasi Terpimpin memengaruhi hubungan Buya Hamka dengan Presiden Soekarno. Usai Partai Masyumi dibubarkan sesuai Dekret Presiden 5 Juli 1959, Hamka menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Namun majalah itu berumur pendek, karena dibredel oleh Soekarno. Pembredelan dilakukan setelah Panji Masyarakat menerbitkan tulisan Mohammad Hatta, yang telah mengundurkan diri sebagai wakil presiden, berjudul “Demokrasi Kita”.

Buya Hamka Dipenjara Era Soekarno

Seiring meluasnya paham komunisme di Indonesia, Hamka diserang oleh organisasi kebudayaan Lekra. Tuduhan melakukan gerakan subversif membuat Buya Hamka diciduk dari rumahnya ke tahanan Sukabumi pada 1964. Partai Masyumi juga turut dibubarkan. Dalam keadaan sakit sebagai tahanan, ia sempat merampungkan tulisanTafsir Al-Azhar yang berjumlah 30 jilid. Menjelang berakhirnya kekuasaan Soekarno, Buya Hamka dibebaskan pada Mei 1966.

Pada masa Orde Baru Soeharto, Buya Hamka mencurahkan waktunya membangun kegiatan dakwah di Masjid Agung Al-Azhar serta berceramah di Radio Republik Indonesia (RRI) dan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ketika pemerintah menjajaki pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1975, peserta musyawarah memilih dirinya secara aklamasi sebagai ketua. Namun, Buya Hamka memilih mundur pada 19 Mei 1981. Ia mendapat tekanan dari Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara untuk menarik fatwa haram MUI atas perayaan Natal bersama bagi umat Muslim.

Universitas al-Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahi Buya Hamka gelar doktor kehormatan. Sementara Universitas Moestopo, Jakarta, mengukuhkan dirinya sebagai guru besar. Namanya disematkan untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah serta masuk dalam daftar Pahlawan Nasional Indonesia.

Buya Hamka meninggalkan tak kurang dari 94 karya buku dengan beragam tema. Mulai dari sastra, agama, sejarah dan filsafat. Di antaranya Lembaga Hidup, Falsafah Hidup, Tasawuf Modern, Merantau ke Deli, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck . Masyarakat mengenal Buya Hamka sebagai seorang sastrawan dan ulama terkemuka di Nusantara.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus