Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Warga kampung Miliran, Yogyakarta, Dodok Putra Bangsa terlihat menyirami aneka sayur di bawah sengatan sinar matahari pada Kamis, 4 Juni 2020. Kangkung, bayam, cabai rawit, dan pisang tumbuh subur di lahan seluas 36x12 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah ketidakpastian wabah, Dodok, aktivis gerakan Warga Berdaya, menginisiasi gerakan menanam sayur dengan meminjam lahan milik Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh atau Alissa Wahid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahan milik Alissa Wahid itu semula hanya ditumbuhi rumput ilalang. Pekarangan itu berada di Kecamatan Banguntapan, perbatasan Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta.
Sebulan lalu, Dodok bersama Solidaritas Pangan Jogja, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dan Jaringan Gusdurian menginisiasi gerakan bersama menanam sayur untuk mengantisipasi krisis pangan. "Mengajak masyarakat manfaatkan pekarangan supaya berdaulat pangan," kata Dodok, Jumat, 5 Juni 2020.
Warga bergotong royong mengolah lahan yang ditumbuhi perdu dan rumput, menanam beraneka macam benih sayuran, dan memupuk, dan menyirami. Dana untuk mengolah sayur dan membeli pupuk didapatkan dari donasi Walhi Yogyakarta, kurang lebih sekitar Rp 3 juta.
Lahan yang hanya ditumbuhi perdu itu kini menjadi hijau oleh sayuran yang menghampar. Kangkung, sawi, bayam, ketela, terong, cabai, pisang, singkong, kacang panjang tumbuh subur di pekarangan itu. Sayur sehat itu dipupuk menggunakan pupuk kandang dan fermentasi kencing kelinci.
Menurut Dodok, sayur yang dipanen akan disebarkan ke dapur-dapur umum Solidaritas Pangan yang membantu menyediakan pangan untuk warga terdampak pandemi. Solidaritas Pangan Jogja selama ini memberikan makanan gratis ke pengayuh becak, pemulung sampah, warga miskin perkotaan, pekerja seks, waria, dan eks tahanan politik yang hidup miskin.
Selain berkebun, warga juga menggelar diskusi rutin bertema kedaulatan pangan agar publik mendapat pasokan ilmu pengetahuan tentang pentingnya menjaga bumi dan lingkungan. Diskusi perdana berlangsung secara daring pada Jumat, 5 Juni yang dijadwalkan menghadirkan Alissa Wahid.
Inisiatif berkebun juga dilakukan Sekolah Gajahwong Yogyakarta. Dampak pandemi membuat aktivitas sekolah terhenti. Tak ada pemasukan sama sekali. Padahal, sekolah harus membiayai tenaga pendidik yang datang ke rumah-rumah untuk mendampingi siswa.
Dalam kondisi normal, sekolah informal untuk kalangan miskin perkotaan ini membiayai kebutuhan operasional dengan menjual sampah lewat bank sampah yang mereka miliki. Sekolah ini menampung donasi sampah dari berbagai pihak, yakni hotel, kampus, dan kantor. Tapi, pandemi Covid-19 membuat hotel sepi tamu dan perkantoran tutup.
Pendiri sekolah Gajahwong, Faiz Fakhruddin mengatakan untuk menutup kebutuhan operasional, pengelola sekolah kemudian bersiasat dengan menjual sayur mayur hasil panenan di kebun mereka. Sayur mayur ini ditanam oleh delapan tenaga pengajar.
Mereka telah memanen sayuran dan mendistribusikannya untuk memenuhi gizi kalangan miskin perkotaan. "Sistem donasi. Sayur kami dibeli lalu didistribusikan untuk warga miskin," kata Faiz.
Bayam, kangkung, dan kemangi telah dipanen di kebun sekolah seluas 15x20 meter.Kebun sayur itu menjadi andalan untuk pemasukan. Mereka mengandalkan donatur. Sayuran yang dipanen itu digunakan untuk memenuhi komunitas pemulung sampah dan warga miskin yang tinggal di Kali Code. Gajah Wong menamakan program untuk bertahan di tengah pandemi ini sebagai donor sayur.
Kebun sayur ini biasanya digunakan sekolah sebagai media pembelajaran karena sekolah ini menekankan pada lingkungan dan sosial atau gotong royong. Selain kangkung dan bayam, di kebun itu tumbuh subur kemangi dan cabai. Kebun yang berdekatan dengan kandang kambing ini menggunakan pupuk organik. "Siswa sekolah kami tekankan menjaga lingkungan, belajar berkebun jadi praktek langsung," kata Faiz.