Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ada yang mulus ada yang rawan

Pemilu 1987 diikuti lebih dari 90 juta penduduk. ada 283.534 tps. sekilas tata cara pemilu & perjalanan surat suara pemilih. beberapa kasus manipulasi surat suara di berbagai daerah.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURSI DPR itu pada awalnya adalah selembar kertas berwarna kuning bergambar bintang, beringin, dan banteng. DPRD I dan DPRD II kertas sejenis bcrwarna putih dan biru. Kertas-kertas milah yang dicoblos oleh lebih dari 90juta penduduk Indonesia di hari pemilu, 23 April lalu di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Ada 283.534 TPS. Pemilu memang pekerjaan besar. Tak sembarang orang bisa mendapat tiga kertas itu. Ia harus punya kertas panggilan model C, atau model AB. Pemegang model AB ini boleh mencoblos di mana saja ia mau dengan catatan kalau melewati batas kabupaten tempatnya terdaftar sebelumnya, haknya berkurang. Kalau sampai melewati batas provinsi, misalnya dulu mendaftar di Depok tapi mencoblos di Jakarta, ya, cuma dapat satu kertas kuning. Usai coblos-coblosan, surat suara itu dihitung di TPS oleh KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara). KPPS ini ada tujuh orang termasuk seorang ketua. Lalu, di TPS itu ada saksi yang disumpah. masing-masing mewakili tiga OPP Organisasi Peserta Pemilu), yang menyaksikan dan menandatangani berita acara perhitungan suara. Bagaimana kalau tak ada saksi? "Berita acara tetap dibuat dan sah hukumnya," begitu kata Ismail Hasan, Kepala Biro Humas Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Satu TPS maksimum hanya melayani 750 pemilih. Semakin berkurang dari itu semakin baik. Artinya, di satu kelurahan bisa ada banyak TPS. Walau begitu, kotak suara dan surat suara tak singgah di kelurahan, tapi langsung ke PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang adanya hanya di kecamatan. Pak Camat sebagai Ketua PPS, bersama saksi-saksi dari ketiga OPP dan 21 orang yang disebut Panwaslakcam (panitia pengawas pelaksanaan pemilu tingkat kecamatan), menghitung kembali surat suara dari TPS dan mencocokkan dengan berita acara. Karena surat suara ribuan, jadwal kerjanya dari 24 April sampai 17 Mei. Setelah jadwal itu, surat suara dan berita acara PPS dikirim ke PPL) (Panitia Pemilihan Daerah) Tingkat II. Anggota PPD II 10 orang diketuai Bupati, ialu ada Panwaslak Dati II beranggota 16 orang dengan ketua Kepala Kejaksaan Negeri. Masih ditambah saksi-sdksi dari VPI'. Mereka ini menjumlah suara-suara yang dikirim PPS, dan jika perlu menghitung kembali surat suara. Jadwal kerjanya sejak 18 sampai 24 Mei. Setelah dibuat berita acaranya, surat suara dikirim ke PPD Tingkat I. Jumlah personel di sini sama dengan di tingkat II dan ketuanya Gubernur. Tugasnya pun mirip, menjumlahkan surat suara yang dikirim PPD II. Jadwal kerjanya 25 sampai 31 Mei. Setelah itu baru berita acara dikirim ke PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) yang diketuai Mendagri. Selama sepuluh hari sampai 10 Juni, PPI menghitung semua suara, sampai Mendagri mengumumkan hasil final. Begitulah perjalanan suara dari pencoblos sampai ke PPI. Sehingga, hasil Pemilu itu baru diketahui secara resmi paling cepat 10 Juni nanti. Lantas, apa yang diumumkan selama ini di koran, televisi, dan radio? "Namanya angka sementara," kata Ismail Hasan. Angka yang sementara ini diperoleh dari bermacam cara dengan jalur cepat. Bisa lewat kurir, telepon, teleks, Orari. Sumbernya resmi, disampaikan secara beranting dari KPPS ke PPS, lalu PPD II, PPD I, dan terakhir LPU/PPI. Karena dikirim lewat jalur cepat, angka bisa saja simpang siur. Contoh, 26 April pukul 13.10 WIB suara PPP dari Sum-Ut diumumkan PPI 605.177. Suara PDI 612.807. Esok harinya, suara PPP turun jadi 600.268 dan PDI turun jadi 610.144. Sementara itu, suara Golkar naik terus dari 3.200.972 menjadi 3.210.892. Penurunan angka juga terjadi pada 27 April untuk PPP dan PDI di NTT. Kok bisa? "Maklum, manusia ada salahnya," kata Ismail Hassan, sambil menyebutkan kesalahan itu terjadi di PPD I. Yang jelas, angka untuk Golkar tidak ada 'salah hitung". Dalam praktek, perjalanan suara dari TPS ke LPU tak selalu mulus. Di Lampung Selatan, menurut Ketua Umum PDI Soerjadi, kotak suara itu dibawa "jalan-jalan" oleh Lurah. Lalu ada Camat yang barangkali maksudnya baik, memberi contoh kepada rakyat desa bagaimana caranya mencoblos. Yang dicoblosnya gambar beringin. Anehnya, camat ini memperagakan Itu pada han Pemilu dan memakai surat suara yang sebenarnya. Lebih aneh lagi, contoh coblosannya itu dimasukkan ke kotak suara. "Berarti 'kan menambah suara," kata Soerjadi. Saksi di TPS pun tak semua lengkap. Di DKI Jakarta, menurut Sekjen PPP Mardinsyah, hanya 58% TPS ada saksi PPP. Kurang tenaga? Bukan, saksi itu digugurkan karena tak punya kartu model C atau AB. "Secara nasional saksi PPP di TPS hanya 60 persen," kata Mardinsyah. Saksi PDI yang berhasil bertugas di TPS, menurut Soerjadi, "kurang lebih juga segitu." Karena saksi tak lengkap, kerawanan bisa terjadi di TPS. Di Biak dan Madiun, sekadar contoh, ada orang yang benar-benar yakin sudah mencoblos tepat dan sah kepala banteng. Ketika suara di TPS itu dihitung, tak sebuah pun suara buat PDI. Sementara itu, di Labuhanbilik, Kabupaten Labuhanbatu, Sum-Ut, sejumlah surat suara kedapatan terapung di Sungai Barumun. Tak banyak. "Hanya 35 surat suara, tapi ini sudah bukti otentik bahwa pemilu ini masih ada kecurangannya," kata Elaji Hasrul Azwar, Sekretaris DPW PPP Sumut. Dari 35 surat suara itu, 21 surat suara berwarna biru (untuk DPRD II) dengan bekas coblosan pada gambar bintang, 12 kertas suara kuning (untuk DPR) juga ada bekas coblosan bintang, surat suara warna kuning dengan coblosan banteng. Satu lagi warna kuning dengan coblosan beringin, tapi coblosannya tak sah. "Sebagai barang bukti empat lembar kertas suara itu ada di DPW PPP Sum-Ut," kata Hasrul. Sura suara terapung itu ditemukan Daim, anggot. PPP, sehari setelah pemilu. Oleh Daim suar nyasar itu mula-mula dilaporkan ke peng urus PDI. Petugas partai berlambang ban teng ini meneruskan laporan ke parta berlambang bintang. Lahmuddin Hasibuan, Sekretaris DPC PPP Labuhanbatu, secara tegas menyebutkan ada unsur kesengajaan. "Saya kira kerta suara itu bersumber dari TPS 5 Kecamatan Panei Tengah, sengaja dicampakkan ke sungai untuk memanipulasikan jumlah suara. Mungkin ada pergantian kertas suara," katanya. "Ini terjadi karena di TPS itu tak ada saksi PPP." Di Kecamatan Telukdalam, Pulau Nias. seorang komisaris PDI melaporkan, ada 42 kotak suara yang tak dibuka dan surat suaranya tak dihitung di TPS. Ketua DPC PDI Nias, M.N. Hawan, bahkan mengatakan, "Ratusan kotak suara tidak dibuka di TPS tapi dibaa ke rumah kepala desa." Pengaduan dari Pulau Nias tampaknya terinci. Ada KPPS merobek 113 lembar surat suara yang mencoblos banteng, ada KPPS yang memberi pesan kepada setiap orang "Tusuk Golkar, tusuk Golkar." Maka, 50 komisaris PDI di pulau kecil di Provinsi Sum-Ut ini melayangkan surat protes ke Bapilu Jakarta. Isinya, cukup emosional minta pemilu dibatalkan. Di sctiap TPS, menurut aturan, memang disediakan 10% surat suara cadangan. Untuk jaga-jaga, siapa tahu ada yang nyelonong mencoblos di situ dengan fasilitas kartu AB. KPPS tak berhak menolaknya. Dan kartu AB inilah yang dikeluhkan oleh pimpinan parpol, sebagai tempat yang juga rawan. Seseorang bisa mcncoblos dua kali, pertama dengan kartu model C, kedua dengan AB. Tapi ini baru sinyalemen, karena baik PPP maupun PDI belum membahas lebih saksama, lantaran masih terus menunggu laporan dan daerah-daerah. Dibawa ke mana surat suara yang tersisa di TPS? Sekretaris PPD I Jawa Barat, Sutardi, dengan tegas menyebutkan, surat suara sisa itu dimasukkan amplop lagi dan disegel. Penyegelan ini di depan para saksi. "Surat suara itu diperlakukan seperti lembaran uang. Keluar masuknya harus jelas, dan ada pertanggungjawabannya," katanya. Sutardi tak habis plkir bila ada sementara pihak yang mencurigai terjadinya kecurangan dalam pemilu ini. "Tak ada celah untuk itu," katanya. Bagi Golkar dan aparat yang terlibat langsung dalam kepanitiaan pemilu, jutaan suara dari TPS ke LPU berjalan mulus. Tapi tentu tak bisa dikatakan bahwa Golkar menang hanya karena kesalahan di beberapa TPS. Apalagi bila ada niat untuk memperbaiki yang rawan itu. Putu Setia, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus