HAMPIR 3.500 buah kecamatan tersebar di seluruh Indonesia. Di
antaranya tercatat 700 buah yang termasuk rawan. Artinya
pendapatan rata-rata penduduknya masih rendah, sehingga
tergolong berada di bawah garis kemiskinan. "Terutama di wilayah
Indonesia bagian Timur," kata Menteri Nakertrans Harun Zain
dalam pidato peringatan Sumpah Pemuda pekan lalu di
departemennya. Dan tentu juga di daerah-daerah yang masih
terpencil.
Di daerah-daerah terpencil di Irla misalnya, tingkat kemiskinan
itu cukup menyolok. Menurut penelitian Bappeda Ir-Ja tahun lalu,
dari 116 kecamatan di sana hanya empat di antaranya yang
tergolong tidak miskin. Selebihnya hampir miskin, miskin dan
sangat miskin. Tingkat kemiskinan di sana diukur dengan sembilan
bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Untuk mendapatkan sembilan
bahan pokok itu satu kepala keluarga di sana setiap bulan
seharusnya membutuhkan Rp 45.400--sebagai patokan kebutuhan
minimum. Sebuah kecamatan dianggap miskin sekali bila pendapatan
per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum alias kurang
dari Rp 30.050. (TEMPO, 16 Mei).
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ukuran pendapatan per kapita
untuk yang miskin sekali adalah Rp 13.862,52.
Di sana tercatat sembilan dari 60 kecamatan yang tergolong
miskin sekali. Yaitu Kretek (Bantul), Rongkop (Gunung Kidul),
Nanggulan, Pengasih, Sentolo, Lendah, Samigaluh (Kulon Progo)
dan Cangkringan (Sleman). Selain itu masih ada 32 kecamatan yang
terbilang miskin dan 19 lainnya hampir miskin. "Tapi itu data
1976," kata drs. Harjono Djati, Kepala Kanwil Ditjen Bina Guna
DIY.
Menurut Harjono, ada bermacam cara untuk mengangkat kecamatan
thiskin itu. "Kalau penduduknya padat, mereka ditransmigrasikan.
Apalagi kalau susunan tanahnya sudah menipis," katanya. Selain
itu juga dengan meningkatkan ketrampilan dan memberikan
pengetahuan kewiraswastaan. (lihat juga Box).
Sentolo merupakan potret kecamatal yang tergolong amat miskin.
Sebagian besar dari hampir 40.000 jiwa penduduknya merupakan
buruh tani. Dari luas kecamatan yang 5.000 ha lebih, hanya
sekitar 900 ha yang berupa sawah, itu pun sawah tadah hujan.
Seorang penduduk bernama Martoijoyo adalah potret masyarakat
Sentolo. Dengan empat anak, ia memiliki 450 meter persegi sawah
tadah hujan. Setahun panen sekali, hasilnya sekitar 2 kuintal
beras. "Kami sekeluarga makan nasi cuma siang hari saja. Pagi
cukup sarapan ketela rebus, sedang sore makan tiwul gaplek,"
katanya. Kalau sehari keluarga Martoijoyo makan 1 kg beras, maka
beras hasil panennya yang 2 kuinul akan habis hanya dalam waktu
200 hari.
Sebagian besar kawasan di Kabupaten Bojonegoro (Ja-Tim)
tergolong rawan, karena tanah di sana serba kering. Penduduk
Desa Ngambon, Kecamatan Ngambon, misalnya, hanya makan dua kali
sehari. Itu pun nasi campur jagung, gaplek, atau ketela. "Tapi
jika bisa makan dua kali sehari, sudah menggembirakan," kata
Suman, kepala desanya.
Desa Ngambon terletak di kaki Gunung Pandang, di lereng
Pegunungan Kapur Tengah yang sangat kering. Tiga kecamatan
lainnya yang berdekatan Tambakrejo, Bubulan, Sugihwaras
sama-sama kritis. Kegiatan KKN atau ABRI Masuk Desa selalu
diprioritaskan di empat kecamatan tersebut untuk sekedar
menolong penduduknya.
Sebagian besar kecamatan di Sum-Ut memang tak lagi tergolong
miskin. Sebab, menurut seorang staf Bappeda di sana, penghasilan
per kapita penduduknya di atas standar nasional, yaitu 240 kg
berasljiwa setiap tahun. Tapi masih ada beberapa kecamatan yang
belum berkembang, misalnya Kecamatan Lalowa dan Nandrehe (Nias)
serta Barus dan Sorkam (Tapanuli Tengah). "Sarana perhubungan
yang masih terbatas menyebabkan daerah tersebut lamban
berkembang," kata orang Bappeda tadi.
Rumah-rumah penduduk di Desa Paeraja Jae di Kecamatan Sorkam
memang lebih layak disebut gubuk. Dari sekitar 100 buah rumah di
desa itu hanya sebuah yang beratap seng dan berdinding papan.
Selebihnya beratap lalang. "Rumah-rumah itu sama saja dengan
pemukiman liar gelandangan di Jakarta," kata Bupati Lundu
Panjaitan SH.
Di Bali juga ada daerah-daerah bertanah kering. Di antaranya
Kecamatan Kubu di Kabupaten Karangasem. Hampir sepanjang tahun
daerah ini disengat kemarau. Hujan hanya mengguyur di bulan
Desember. Sehingga pada 1979 bahaya kelaparan berjangkit di
sana.
Makanan pokok penduduk-adalah jagung dicampur gaplek,
kadang-kadang beras Rhagai tambahan. Campuran beras da gaplek
atau jagung itu berbanding 1 : 4. "Itu sudah biasa kami lakukan.
Sebenarnya ingin juga makan nasi lebih banyak, tapi kami tak
mampu," kata I Rebyok, petani Desa Rubaya. Untuk nenambah
penghasilan, penduduk mengolah pohon lontar jadi gulanira atau
minuman sejenis arak. Sebotol arak bisa laku Rp 300.
Tentu saja menyebut daerah-daerah itu sebagai berada di bawah
garis kemis kinan, tak sepenuhnya tepat. Namun 700 kecamatan
tentu bukan pula jumlah kecil untuk mendapat giliran pembenahan
melalui tahapan-tahapan pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini