Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Contoh 700 Yang Miskin

700 kecamatan di Indonesia tergolong berada dibawah garis kemiskinan. Daerah-daerah tersebut lambat berkembang karena terpencil, tanah tidak potensial dan kering.

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR 3.500 buah kecamatan tersebar di seluruh Indonesia. Di antaranya tercatat 700 buah yang termasuk rawan. Artinya pendapatan rata-rata penduduknya masih rendah, sehingga tergolong berada di bawah garis kemiskinan. "Terutama di wilayah Indonesia bagian Timur," kata Menteri Nakertrans Harun Zain dalam pidato peringatan Sumpah Pemuda pekan lalu di departemennya. Dan tentu juga di daerah-daerah yang masih terpencil. Di daerah-daerah terpencil di Irla misalnya, tingkat kemiskinan itu cukup menyolok. Menurut penelitian Bappeda Ir-Ja tahun lalu, dari 116 kecamatan di sana hanya empat di antaranya yang tergolong tidak miskin. Selebihnya hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Tingkat kemiskinan di sana diukur dengan sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari. Untuk mendapatkan sembilan bahan pokok itu satu kepala keluarga di sana setiap bulan seharusnya membutuhkan Rp 45.400--sebagai patokan kebutuhan minimum. Sebuah kecamatan dianggap miskin sekali bila pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum alias kurang dari Rp 30.050. (TEMPO, 16 Mei). Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ukuran pendapatan per kapita untuk yang miskin sekali adalah Rp 13.862,52. Di sana tercatat sembilan dari 60 kecamatan yang tergolong miskin sekali. Yaitu Kretek (Bantul), Rongkop (Gunung Kidul), Nanggulan, Pengasih, Sentolo, Lendah, Samigaluh (Kulon Progo) dan Cangkringan (Sleman). Selain itu masih ada 32 kecamatan yang terbilang miskin dan 19 lainnya hampir miskin. "Tapi itu data 1976," kata drs. Harjono Djati, Kepala Kanwil Ditjen Bina Guna DIY. Menurut Harjono, ada bermacam cara untuk mengangkat kecamatan thiskin itu. "Kalau penduduknya padat, mereka ditransmigrasikan. Apalagi kalau susunan tanahnya sudah menipis," katanya. Selain itu juga dengan meningkatkan ketrampilan dan memberikan pengetahuan kewiraswastaan. (lihat juga Box). Sentolo merupakan potret kecamatal yang tergolong amat miskin. Sebagian besar dari hampir 40.000 jiwa penduduknya merupakan buruh tani. Dari luas kecamatan yang 5.000 ha lebih, hanya sekitar 900 ha yang berupa sawah, itu pun sawah tadah hujan. Seorang penduduk bernama Martoijoyo adalah potret masyarakat Sentolo. Dengan empat anak, ia memiliki 450 meter persegi sawah tadah hujan. Setahun panen sekali, hasilnya sekitar 2 kuintal beras. "Kami sekeluarga makan nasi cuma siang hari saja. Pagi cukup sarapan ketela rebus, sedang sore makan tiwul gaplek," katanya. Kalau sehari keluarga Martoijoyo makan 1 kg beras, maka beras hasil panennya yang 2 kuinul akan habis hanya dalam waktu 200 hari. Sebagian besar kawasan di Kabupaten Bojonegoro (Ja-Tim) tergolong rawan, karena tanah di sana serba kering. Penduduk Desa Ngambon, Kecamatan Ngambon, misalnya, hanya makan dua kali sehari. Itu pun nasi campur jagung, gaplek, atau ketela. "Tapi jika bisa makan dua kali sehari, sudah menggembirakan," kata Suman, kepala desanya. Desa Ngambon terletak di kaki Gunung Pandang, di lereng Pegunungan Kapur Tengah yang sangat kering. Tiga kecamatan lainnya yang berdekatan Tambakrejo, Bubulan, Sugihwaras sama-sama kritis. Kegiatan KKN atau ABRI Masuk Desa selalu diprioritaskan di empat kecamatan tersebut untuk sekedar menolong penduduknya. Sebagian besar kecamatan di Sum-Ut memang tak lagi tergolong miskin. Sebab, menurut seorang staf Bappeda di sana, penghasilan per kapita penduduknya di atas standar nasional, yaitu 240 kg berasljiwa setiap tahun. Tapi masih ada beberapa kecamatan yang belum berkembang, misalnya Kecamatan Lalowa dan Nandrehe (Nias) serta Barus dan Sorkam (Tapanuli Tengah). "Sarana perhubungan yang masih terbatas menyebabkan daerah tersebut lamban berkembang," kata orang Bappeda tadi. Rumah-rumah penduduk di Desa Paeraja Jae di Kecamatan Sorkam memang lebih layak disebut gubuk. Dari sekitar 100 buah rumah di desa itu hanya sebuah yang beratap seng dan berdinding papan. Selebihnya beratap lalang. "Rumah-rumah itu sama saja dengan pemukiman liar gelandangan di Jakarta," kata Bupati Lundu Panjaitan SH. Di Bali juga ada daerah-daerah bertanah kering. Di antaranya Kecamatan Kubu di Kabupaten Karangasem. Hampir sepanjang tahun daerah ini disengat kemarau. Hujan hanya mengguyur di bulan Desember. Sehingga pada 1979 bahaya kelaparan berjangkit di sana. Makanan pokok penduduk-adalah jagung dicampur gaplek, kadang-kadang beras Rhagai tambahan. Campuran beras da gaplek atau jagung itu berbanding 1 : 4. "Itu sudah biasa kami lakukan. Sebenarnya ingin juga makan nasi lebih banyak, tapi kami tak mampu," kata I Rebyok, petani Desa Rubaya. Untuk nenambah penghasilan, penduduk mengolah pohon lontar jadi gulanira atau minuman sejenis arak. Sebotol arak bisa laku Rp 300. Tentu saja menyebut daerah-daerah itu sebagai berada di bawah garis kemis kinan, tak sepenuhnya tepat. Namun 700 kecamatan tentu bukan pula jumlah kecil untuk mendapat giliran pembenahan melalui tahapan-tahapan pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus