PARA pejabat luar negeri Australia masih merasa waswas akan hubungan negerinya sekarang dengan Indonesia. Seorang diplomat dari Canberra, yang baru-baru ini berkunjung ke Jakarta, khawatir hubungan baik yang terjalin selama itu telah dirusakkan gara-gara sebuah tulisan panjang dalam sebuah koran Australia. "Apakah hubungan kedua negeri harus dibangun kembali dari awal?" tanyanya. Menlu Mochtar Kusumaatmadja, ketika ditanya soal itu, menjawab santai, "Saya tak melihat demikian." Menerima TEMPO di tempat kediamannya Sabtu sore lalu, Menlu RI yang seolah memandang segala perkara mudah baginya bercerita penjang tentang berbagai hal. Beberapa petikan: Bagaimana Anda melihat hubungan RI-Australia sekarang? Sepanjang menyangkut hubungan antara kedua pemerintahan, saya tak merasa ada yang tidak baik. Demikian juga antara rakyat kedua negeri. Hanya hubungan dengan pers Australia yang tidak baik. Dan mereka kelihatan bingung sendiri. Bingung bagaimana? Sebenarnya bagi pers di Australia, Indonesia merupakan suatu lapangan yang menarik. Tapi setelah kita marah, mereka baru menyadari, apa yang mereka lakukan terhadap Indonesia telah merugikan mereka sendiri. Orang pers di sana banyak yang menyalahkan tulisan dalam The Sydney Morning Herald. Gara-gara tulisan yang seenaknya mengkritik Presiden dan keluarganya, mereka akibatnya tak diizinkan masuk ke Indonesia. Jadi, ada penyesuaian dalam diri pers di sana. Saya kira demikian. Sebaliknya, dari kita juga perlu ada penyesuaian. Kita harus peka, apalagi kalau menyangkut kehormatan negeri kita. Tapi tak perlu terlalu peka. Untuk sementara kita mungkin beruntung karena tak ada "gangguan" dari pers mereka. Tapi dalam jangka panjang mungkin kita rugi. Karena tanpa kehadiran pers mereka di sini, kita juga kehilangan alat untuk bisa mempengaruhi pendapat umum di Australia. Lalu bagaimana dengan rencana kunjungan Presiden ke sana? Apa masih jadi? Oh, untuk sementara saya kira itu tak bisa diharapkan. Kalaupun saya beliau tanyai, saya juga tak akan menganjurkannya. Saya akan memberikan sinyal yang keliru jika demikian. Dari para pejabat tinggi kita juga tak kedengaran ada yang berkunjung ke Australia. Sedang dari mereka, termasuk seorang menterinya, ada yang ke sini. Ya, memang, untuk sementara tidak ada. Kita lihat lagi, tahun depan, barangkali. Tapi yang pasti, tak perlu tergesa-gesa. Ada suara dari pemerintah PNG untuk bergabung dengan ASEAN, lalu diralat sendiri karena reaksi keras kaum oposisi. Namun, ASEAN sendiri apa masih membuka pintu untuk anggota baru? Saya kira yang enam sekarang sudah cukup. Dalam banyak hal kita sudah mencapai kesepakatan bersama, dan itu melalui suatu proses saling mengenal yang cukup lama. Tambahnya anggota baru tak dengan sendirinya membuat ASEAN semakin efektif. Tapi sejarah ASEAN memang sarat dengan konsensus. Ada yang melihat persatuan ASEAN karena ada musuh bersama: Kamboja. Sedang di bidang ekonomi kerja samanya semakin kabur, karena anggota yang dilanda kesulitan ekonomi masing-masing lebih suka memikirkan masalah dalam negerinya ketimbang ASEAN. Ya, bahkan ada juga yang menilai ASEAN tak perlu dipertahankan lebih lama. Tapi apa memang sudah dicoba dan dibandingkan mana yang lebih menguntungkan: berjalan sendiri-sendiri atau bersama-sama. Saya kira yang kedua itu lebih menguntungkan. Lihat saja gerakan bersama yang menentang proteksionisme. Kekompakan itu bisa tercapai berkat adanya koordinasi. Bahkan anggota terbesar seperti Indonesia bisa memanfaatkan kelebihan yang dimiliki anggota yang kecil, seperti Singapura. Misalnya? Dalam hal keterampilan dan pelayanan misalnya, Indonesia bisa memanfaatkan kebolehan Singapura, daripada mencari jauh-jauh. Ini akan lebih menguntungkan. Apakah beleid ASEAN untuk mencari penyelesaian masalah Kamboja masih jalan? Belakangan ini tampaknya seperti sepi-sepi saja, sementara perang masih terus berlangsung. Menurut saya, masih. Sementara orang beranggapan policy ASEAN tentang Kamboja gagal, karena belum juga mencapai penyelesaian. Saya menjawab: Apa ukurannya memang harus selesai? Sebenarnya sasarannya bukan ke sana. Tapi untuk menahan penggunaan kekerasan oleh Vietnam di luar Kamboja. Di situ ASEAN berhasil. Tapi Menlu Co-Thac selalu bilang Vietnam tak punya ambisi militer untuk masuk di Muangthai. Itu kata dia. Misalkan ASEAN sampai mengakui pemerintahan Heng Samrin di Phnom Penh, seperti diinginkan sementara pengamat politik di dalam negeri, belum tentu Vietnam akan berhenti sampai di situ. Setelah mereka mengalami kesulitan di Kamboja, baru mereka bilang tak punya keinginan untuk masuk lebih jauh. Anda percaya kaum pragmatis pada saatnya akan lebih unggul dalam politbiro di Hanoi? Saya kira itu jelas, tak bisa ditahan lagi. Sekalipun masih harus diperhitungkan peran Soviet, apakah kelak akan mencapai kompromi dengan Peking dalam hal Kamboja. Sayangnya, meskipun suatu waktu kaum pragmatis berhasil memegang kendali politbiro di Vietnam, negeri itu telah kehilangan momentum. Sepuluh tahun lalu, setelah Vietnam bersatu, banyak negara kaya mengulurkan bantuan. Kini, di saat mereka harus hidup dengan resesi, kemampuan membantu tadi sudah menurun. Hanya Jepang yang mungkin masih bisa diharapkan. Sekarang kita pindah ke Tim-Tim. Ada yang mengusulkan agar status khusus provinsi ke-27 RI dijadikan status biasa. Dan Pak Menlu diberitakan tak keberatan. Tim-Tim tak pernah punya kedudukan sebagai provinsi khusus. Apa yang saya baca di beberapa koran yang mengatakan saya menyetujui Tim-Tim melepaskan status khususnya, tidak benar. Yang benar adalah: mengingat ketertinggalan Provinsi Tim-Tim di berbagai bidang, memang diperlukan suatu perhatian yang khusus, misalnya dalam alokasi anggaran untuk daerah itu, dihitung per kapita, lebih besar dibandingkan provinsi-provinsi lain. Perhatian khusus juga berlaku bagi bidang sekuriti, yang sepenuhnya merupakan wewenang Pangab. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini