Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti cerita film India, perseteruan massa PDI Perjuangan dengan Partai Golkar tak berkesudahan. Cuma berganti peran. Sementara dulu di masa Orde Baru kaum banteng diobok-obok bak kaum paria, kini setelah menjadi penguasa mereka mengamuk keblablasan. Kemesraan para elite kedua partai di pusat tak membuat sikut-sikutan di akar rumput reda.
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, pernah menjadi saksi kebrutalan massa banteng. Siang itu, 6 Desember 1998, raungan empat truk dan puluhan sepeda motor membuyarkan keramaian pasar murah di Karangberahi. Dua ratusan massa beratribut partai banteng berloncatan turun, lalu merusak hajatan Golkar Brebes itu. Sekitar 5.000 pengunjung kocar-kacir menyelamatkan diri. "Penyerang memakai atribut PDIP. Kalau kemudian disangkal, itu hak mereka," ujar Ketua Golkar Jawa Tengah, M. Hasbi.
Insiden lebih parah terjadi empat bulan kemudian, masih di provinsi yang sama. Temu kader Kabupaten Purbalingga dengan pimpinan teras Partai Golkar gagal diselenggarakan karena serangan massa PDIP. Padahal itu momen penting untuk konsolidasi partai menjelang Pemilu 1999.
Ratusan warga menghadang dan menghujani iring-iringan kendaraan rombongan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung dengan batu. Rencana mendatangi Stadion Wasesa, tempat acara akan berlangsung, terpaksa diurungkan. Mobil bak terbuka yang ditumpangi satgas pengawal "orang pusat" digulingkan sebelum dibakar. Penumpangnya dipaksa melepas seragam hitam-hitam kebesarannya.
Belum puas, puluhan orang yang mayoritas mengenakan atribut banteng gemuk masuk stadion. Panggung dirobohkan, kursi-kursi dirusak. Umbul-umbul dan pataka Golkar pun jadi sasaran kemarahan. Semua habis dicabuti.
Para pendukung Golkar, laki-laki ataupun perempuan, yang telat mencari perlindungan jadi bulan-bulanan. Mereka terpaksa mencopot baju maupun kaus kuning di tempat daripada menjadi korban amuk massa. Masih setengah telanjang, belasan wanita berlari sambil menutup auratnya menuju Markas Polres Purbalingga, yang hanya berjarak 30 meter, buat mengamankan diri. Sembilan orang menjadi tersangka dalam insiden itu.
Pada April itu juga, di Jawa Timur, 40 truk berisi massa Golkar Surabaya yang menuju acara apel akbar dicegat massa banteng di bundaran tol Waru, Wonocolo. Akbar sampai geregetan melihat gelagat jelek itu. "Bila terus diganggu, Golkar akan bangkit melawan," katanya, setengah mengancam. Dan memang, Golkar pun melawan. Saat putaran kedua kampanye, Mei 1999, tiga kader PDIP Serang bersimbah darah kena bacok dalam bentrok sengit dengan massa Golkar.
Kini perseteruan kembali muncul, menunjukkan betapa bodohnya rakyat diadu pemimpinnya. Rabu dua pekan lalu, ratusan satgas PDIP menyerang Rizal Arifianto dan Agus Karyanto di Kelurahan Kasepuhan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ketua PDIP Batang yang juga Bupati Batang, Bambang Bintoro, disebut-sebut memimpin langsung penyerbuan ke rumah Rizal pada tengah malam itu.
Pengeroyokan terjadi setelah para kader Golkar itu mengadukan pencabutan dan pembakaran bendera partainya oleh kader PDIP ke Markas Polsek Blado. Laporan dipicu perampasan kaus Golkar yang dipakai Wahyudin. Ia "tak sengaja" memakainya waktu menonton pertunjukan organ tunggal dalam acara konsolidasi PDIP di Desa Gumawang.
Tak dimungkiri, Golkar memang bangkit lagi, termasuk di Bali. Di pulau seribu pura ini, Golkar dan PDIP berganti-ganti jadi mayoritas tunggal, tergantung "ke mana arah angin". Mungkin Akbar ingin segera menguningkan Bali, dan ia berpidato berapi-api pada HUT Golkar di Sanur. Ribuan pendukung Golkar memang mampu mengubah wajah Bali menjadi kuning, tapi tak urung kerusuhan pun terjadi. Insiden kecil terjadi di beberapa tempat di Bali Selatan antara Golkar yang bangkit dan PDIP yang belum mau menyerah. Sementara itu, di Bali Utara, tragedi meledak. Dua kader Golkar tewas dikeroyok massa PDIP. "Arogansi dengan slogan-slogan yang menantang dapat memicu salah persepsi di akar rumput," kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP, Pramono Anung Wibowo, kepada TEMPO, Jumat silam.
Ketua Golkar Agung Laksono tak terima pidato bosnya dianggap arogan. Kalau sekadar omongan, kata dia, itu biasa dalam politik. Perlawanan dari kadernya muncul sebagai reaksi atas tekanan banteng sejak 1998. Bentrok terjadi karena massa lebih sering "bicara" dengan emosi daripada rasio. "Tapi PDIP seperti membenarkan (aksi kekerasan), sembari menyalahkan Golkar," ujar Agung. Wah, tidak ada tanda-tanda konflik bakal mereda, dan aneh benar rakyat kok masih fanatik dengan partai-partai seperti ini.
Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo