Setelah seminggu menginap di Rumah Sakit Umum Singaraja, akhirnya jenazah Putu Negara dan Ketut Agustana dimakamkan pada Jumat pekan lalu. Kakak-beradik itu dikebumikan di Desa Petandakan, Buleleng, di bawah pengawalan ketat puluhan polisi. Ratusan kader Golkar berseragam kuning tumpah-ruah di situ. Berjejer-jejer karangan bunga dukacita. Dua di antaranya datang dari kandidat calon presiden Partai Golkar di Jakarta: Jenderal (Purn.) Wiranto dan Letjen (Purn.) Prabowo Subianto. Kedua peti jenazah itu dibungkus bendera kuning, dan sedu-sedan mengiringi mereka ke liang lahat.
Putu dan Ketut adalah korban tewas dalam ingar-bingar bentrokan antara kader PDI Perjuangan dan kader Partai Golkar di Kota Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng, akhir dua pekan lalu.
Sebab-musababnya amat sepele. Ketika itu Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Buleleng menggelar lomba gerak jalan santai. Pesertanya sekitar 7.000 orang. Yang melepas bendera start adalah I Gusti Ngurah Sara, salah seorang Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai banteng itu. Menyusuri sejumlah ruas jalan utama di kota itu, gerak jalan ini berakhir di Gedung Kesenian Gde Manik, pusat kota.
Sesungguhnya acara itu berlangsung aman tenteram hingga ke titik final. Tapi, saat menunggu pengumuman para juara lomba ini, sebuah kabar buruk meluncur ke kerumunan massa: anggota Satuan Tugas (Satgas) PDI Perjuangan terkena lemparan batu ketika melintas di depan kantor Partai Golkar Buleleng. Sebuah mobil ikut disandera. Sontak ratusan kader banteng itu berang bukan kepalang. Beramai-ramai mereka menyatroni kantor Golkar, yang cuma 900 meter dari gedung kesenian itu. Padahal semua berita itu tak benar, hanya provokasi seseorang.
Dan perang batu langsung meletus. Tidak imbang, memang, karena massa partai banteng terus meluber. Polisi, yang jumlahnya cuma 30 orang, tak kuasa menahan laju para banteng muda itu. Massa beringin memilih kabur. Sebuah mobil dan satu sepeda motor yang diparkir di halaman kantor Golkar ludes dibakar. Kantor Golkar sendiri hancur berantakan. Aksi itu berakhir pukul 11.00 waktu setempat. Dan keadaan dapat dikendalikan aparat.
Tapi bentrokan sudah meluas hingga ke Desa Kalibukbuk, sekitar 7 kilometer arah barat Kota Singaraja. Juga antara kader PDI Perjuangan dan partai Golkar. Dan sebuah kabar horor lainnya datang dari Desa Petandakan, sekitar 8 kilometer arah tenggara Kota Singaraja. Di desa itu, dua kader Golkar tewas mengenaskan. Keduanya, ya, Putu Negara dan Ketut Agustana itu. TEMPO, yang meluncur ke Desa Petandakan, menyaksikan mayat kakak-beradik tersebut dalam kondisi mengenaskan. Dari kepala Putu mengalir darah segar. Keduanya tersungkur cuma sekitar 200 meter dari kediaman mereka.
Hingga kini polisi telah menetapkan 14 orang sebagai tersangka pembunuhan itu. Kini, semuanya meringkuk di bui kepolisian Singaraja. Mereka kader PDI Perjuangan, tapi aparat tak mau mengaitkan para tersangka itu dengan partai politik. "Saya tidak akan urus apa yang melatarbelakangi bentrokan itu. Tapi siapa berbuat apa, itu yang kami sidik," kata Ajun Komisaris Besar Polisi Mohamad Safei, Kepala Kepolisian Buleleng, kepada TEMPO.
Walau darah sudah tumpah, toh para petinggi kedua partai itu di Jakarta lebih sibuk melempar tudingan ke lawannya masing-masing ketimbang duduk semeja untuk membereskan urusan ini.
Slamet Effendi Yusuf, salah satu Ketua Partai Golkar, menuding bahwa bentrokan di Buleleng itu sudah direncanakan agar masyarakat Bali takut menusuk beringin pada Pemilu 2004 nanti. "Ada perencanaan agar masyarakat Bali takut memilih Golkar," katanya. Padahal, klaim Slamet, belakangan ini ada kecenderungan masyarakat Bali ingin kembali ke Golkar.
Tanggal 25 Oktober lalu, secara nasional Golkar memang menggelar hajatan ulang tahun ke-39 di Denpasar, Bali. Sekitar 20 ribu kader partai beringin itu tumpah-ruah di lapangan Kapten Japa, Sanur. Ratusan petinggi partai tersebut dari seluruh Indonesia ikut ke situ. "Dari sinilah kita merebut kembali kejayaan kita," pekik Akbar Tandjung, sang ketua umum.
Lapangan Kapten Japa seperti menyimpan heroisme tersendiri bagi Golkar dan juga PDI Perjuangan. Di situlah dulu, tahun 1999, ribuan kader dan simpatisan partai banteng tumpah-ruah dalam acara pembukaan kongres partai itu. Di situ juga, Megawati Soekarnoputri menyerukan agar para kadernya memenangkan partai dalam Pemilu 1999. Hasilnya memuaskan. Di Bali, partai itu menang telak dan secara nasional bertengger di nomor pertama. Golkar terperosok, padahal sejak pemilu tahun 1971 hingga 1997 Golkar hampir-hampir tak ada tandingannya.
Dalam riuh-rendah ulang tahun ke-39 dua pekan lalu itu, Golkar seperti ingin merebut kembali kejayaan masa lalunya. "Peringatan ini sengaja digelar di Bali karena, dalam bahasa Jawa, Bali itu berarti pulang atau kembali. Artinya, dari sinilah kita raih kejayaan kembali Golkar," kata Irsyad Sudiro, ketua panitia perhelatan, dalam pidato pembukaan.
Mungkin karena itu Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Sutjipto, menuding bahwa asal-usul bentrokan di Buleleng tersebut bermula dari hajatan ulang tahun Golkar itu. Saling tantang para kader kedua partai yang berujung pada perkelahian, kata Sutjipto, sudah meletus sejak massa Golkar berpawai keliling menghadiri upacara ulang tahun itu.
Itu sebabnya, dalam siaran pers yang digelar Selasa pekan lalu, PDI Perjuangan menolak meminta maaf atas tewasnya dua kader Golkar di Petandakan. "Kalau minta maaf, ya, Golkar dulu. Karena yang jadi korban lebih besar itu PDIP," kata Sutjipto, tanpa memerinci di mana PDIP jadi korban. Walau begitu, Sutjipto legowo jika anak buahnya yang terlibat pembunuhan itu diproses secara hukum.
Sejumlah kalangan di Bali menilai bahwa bentrokan itu adalah buah dari maraknya pengerahan massa di Pulau Dewata selama sebulan terakhir. Walau pemilihan umum masih jauh, Bali memang seperti sudah memasuki masa-masa kampanye. Pengerahan massa, pemasangan bendera, dan pendirian posko-posko ramai di mana-mana.
Di Denpasar, misalnya, bendera, umbul-umbul, dan baliho partai politik bertebaran, dari ruas utama hingga ke sudut-sudut kota. Yang paling dominan tentu saja bendera merah PDI Perjuangan dan bendera kuning Golkar. Bendera merah dan kuning itu bahkan saling tindih, rebutan tempat.
Para kader kedua partai juga sibuk mendirikan gardu posko. Posko-posko itu saling berlomba. Di beberapa jalan utama di Kota Denpasar, posko PDI Perjuangan cuma berjarak sekitar sepuluh meter dengan posko Partai Golkar. Bendera dan gardu posko seperti itu juga marak hingga ke kota-kota kabupaten, kecamatan, dan desa-desa. Kecuali beberapa desa tempat lembaga adatnya memutuskan lain, misalnya Desa Kuta. Di sini masyarakat adat sepakat bendera partai tidak boleh dipasang karena Kuta ingin mengembalikan citra kepariwisataannya setelah hancur oleh bom Bali.
Pemasangan bendera yang berlebihan, pendirian posko untuk mabuk-mabukan, dan aksi para kader yang tak terkendali, menurut Kapolda Bali, Inspektur Polisi Made Mangku Pastika, adalah sumber masalah dan konflik antar-kader partai. Berbagai posko itu juga, kata Pastika, sering disalahgunakan sebagai tempat judi. Judi dan mabuk itu kerap berlangsung di malam hari. Jika sudah begitu, perkelahian memang mudah terjadi.
Itu sebabnya, Made Pastika mendesak agar posko dibubarkan. Akhir pekan lalu, sejumlah ruas utama Kota Denpasar memang sudah sepi dari bendera dan umbul-umbul, walau tiang-tiangnya masih berdiri tegak. Yang masih meriah adalah posko-posko, karena kedua partai besar itu belum sepakat menertibkan poskonya. Para kader kedua partai juga masih sigap berjaga-jaga, dan kerusuhan mungkin akan meledak lagi kalau ada provokator baru, seperti yang terjadi di Singaraja. Mangku Pastika menyebutkan, provokasi dengan meniupkan berita tak benar itu dilakukan oleh para teroris lokal.
Pemilu masih jauh. Akankah teroris lokal dan elite partai di Jakarta tetap memanfaatkan situasi panas di Bali ini?
Wenseslaus Manggut, Rofiqi Hasan (Denpasar), Made Mustika (Buleleng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini