Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Sela-Sela Gudang Beras

Telah dibangun 320 gudang beras di 40 lokasi di Indonesia, biaya 30-45 milyar rupiah. Perlu dukungan lumbung-lumbung rakyat di desa. Politik stabilisasi harga beras belum meresap ke bawah. (nas)

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERISTIWA Budiadji menyebabkan Ka Bulog lebih berhati-hati. Telah dikeluarkan instruksi untuk memeriksa lebih teliti situasi keuangan seluruh Dolog di setiap propinsi. Tapi adakah kebobolan yang terjadi dalam tubuh Bulog di Kalimantan Timur itu, sekaligus akan membuat Ka Bulog melakukan pengawasan yang lebih ketat dalam hal pendirian gudang-gudang beras? Pembangunan 320 gudang beras di-40 lokasi di seluruh Indonesia, merupakan satu putusan penting yang diambil pemerintah setelah krisis pangan 1972. Maklumlah, pemerintah tidak mau lagi dikejutkan oleh krisis serupa yang suka berulang tiap 4--5 tahun sekali. Sehingga pembentukan sarana penyangga yang 100% di bawah Bulog, mendapat perhatian utama. Begitu pentingnya fasilitas Bulog ini, sehingga pemerintah berani mempertaruhkan sebagian modalnya di luar APBN, antara 3045 milyar rupiah. April 1977, diharapkan semuanya rampung. Maka daya tampungnya seluruhnya berjumlah 1,115 juta ton beras, sebab rata-rata tiap-tiap gudang kapasitasnya 3.500 ton. Berapa biayanya? Menurut Kabulog Bustanil Arifin, yang merupakan pimpinan proyek raksasa itu, standarnya rata-rata 100 dollar per ton. Jadi seluruhnya 111 juta dollar atau sekitar 45 milyar rupiah. Namun karena kalkulasi gudang tidak semuanya sama --umumnya ada 3 atau 4 gudang di satu lokasi - maka secara keseluruhan biayanya jatuh jauh lebih rendah. Yakni Rp 30 milyar saia. Atau "rata-rata Rp 100 juta tiap gudang", kata Bustanil. Dalam prakteknya, biaya Rp 100 juta per gudang itu selalu terlampaui. Menurut konsultan Bulog, PT Widya Pertiwi Engineering yang mermbuat disain standar gudang-gudang dengan gaya arsitektur joglo itu, rata-rata menelan Rp 110 juta. Sedang menurut Ir Maryani, asisten dari Kepala Biro Penelitian & Pengembangan Bulog, "banyak juga yang mencapai biaya Rp 150 juta". Sedang di kabupaten Kudus, Jawa Tengah, ada gudang beras yang mencapai harga Rp 180 juta. Macam-macam perbedaan itu, kabarnya disebabkan karena harga tanah yang tidak sama, serta kondisi tanah yang juga berbeda-beda. Tanah rawa misalnya, harus diuruk dulu untuk mampu menopang gudang beras yang beratnya ribuan ton itu. Berarti ada tambahan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi faktor-faktor lain. Misalnya gudang beras dekat Samarinda yang kabarnya biayanya Rp 500 juta. Karena salah lokasi--terlalu jauh dari pelabuhan - terpaksa dibikinkan pelahuhan khusus di luar rencana. Jadi untuk amannya, katakanlah rata-rata Rp 150 juta. Tapi itu pun, menurut kalangan swasta, "sudah mahal sekali". "Berilah kami Rp 55 juta maka kami sudah dapat membangun gudang yang serupa", kata seorang pengusaha di Bandung pada T~EM~PO. Sedang di Jakarta, seorang pengusaha pergudan~an swasta mengemukakan kalkulasi Rp 50 ribu/mÿFD. Kalau itu diterapkan pada gudang-gudang Bulog yang luasnya 30 x 48 meter itu - baik untuk yang berkapasitas 3.500 ton maupun yang 4.000 ton, maka harga ban~unannya saja hanya akan bernilai Rp 75 juta. Dengan kata lain, separo saja dari yang sekarang ini. Selisih harga itu, konon disebabkan Karena gudang Bulog ini dibikin semodern dan senyaman mungkin. Peralatannya lengkap: ada timbangan, ada pengukur kelembaban, alat pemadam kebakaran, termometer dan lain-lain. Lantas selain bangunan gudang, didalam batas pagar kompleks masih dibangun lagi satu kantor, rumah penjaga gudang, gardu jaga, gardu listrik dengan generator diseI sendiri lengkap dengan menara airnya sendiri. Dantidak lupa pula instalasi pengaman seperti penangkal petir, saluran air pembuangan dan pagar pengamannya sendiri agar sekuriti betul-betul terjamin. "Seperti gudang-gudang beras atau gandum di Kansas Amerika", komentar seorang spesialis pertanian pada TEMPO. Namun Kabulog menyangkal. "Gudang-gudang ini", katanya menjelaskan, "tidak seperti di lumbung pertanian Amerika itu. Di Kansas gudang-gudangnya jauh lebih mahal karena harus dilengkapi alat pemanas di musim dingin dan penyquk di musim kemarau. Sedang yang kita bangun tak semahal itu, tapi juga tak sederhana". Lantas, mengapa tidak menyewa gudang-gudang swasta saja? Atau pembangunan gudang-gudang beras modern ini diserahkan saja pada swasta, dengan bantuan kredit dari pemerintah? Sahut Bustanil Arifin, "gudang-gudang swasta yang kita sewa sampai saat ini kebanyakan sudah tua, dan tidak memenuhi syarat lagi. Malah ada yang bocor kalau hujan. Belum lagi pencurian-pencurian. Sedang fihak swasta, tidak tertarik untuk menanam modalnya dalam usaha pergudangan karena uangnya lambat kembali. Itu modal kira-kira 25-30 tahun baru kembali. Kecuali kalau sewanya dinaikkan. Adapun Bulog mau membangun gudang-gudang ini, karena ada penyertaan modal pemerintah (PMP). Jadi bukan kredit dari Bank Indonesia seperti dalam urusan pengadaan pangan. Nantinya, kalau gudang-gudang itu sudah rampung semua dan di pakai untuk menyimpan stok nasional ongkos pemeliharaannya - yang merupakan tanggungan Bulog - jauh lebih rendah dari pada ongkos sewa gudang-gudang swasta sekarang". Juga susutnya akan berkurang? "Saya sudah instruksikan, susut timbunnya harus nol", sahut Bustanil. Soal susutnya beras setelah lepas dari petani/BUUD ini, memang merupakan topik kesayangan ahli-ahli Bulog. Menurut Ir Chrisman Silitonga, seorang ahli Bulog lulusan IPB, selama tahun 1974/75 saja dari seluruh penjualan dalam negeri sebanyak 1,27 juta ton beras yang susut selama ditimbun, diangkut dan dibongkar-muat ada 4% atau 47 ribu ton. Jumlah beras sebanyak itu cukup untuk mengisi 313 ribu mulut penduduk yang makannya rata-rata 150 kilo beras setahun. Atau kalau dibandingkan dengan produksi petani yang rata-rata 1« ton beras per hektar, jumlah yang susut itu sama dengan produksi 32 ribu hektar sawah setahun yang sedikitnya bernilai Rp 47 milyar. Nah, dari jumlah susut sebanyak itu, andil susut selama disimpan di gudang-gudang swasta sekarang rata-rata 2,5% kerugian itulah yang mau ditekan dengan pendirian gudang-gudang beras Bulog sebanyak 320 buah itu. Bebicara soal lokasi penyebaran gudang-gudang itu, jelaslah sasaran yang ingin dicapai: sebanyak mungkin melindungi kepentingan konsumen. Khususnya di Jakarta sebagai ibukota republik ini kebagian dua kompleks pergudangan besar di Cakung dan Sunter dengan kapasitas total 240 ribu ton. Berkat dua kompleks pergudangan raksasa itu -- yang pertama dibangun akhir 1973 oleh PN Waskita Karya minimal 30 penduduk Jakarta Raya akan terjamin isi perutnya apabila Indonesia dilanda paceklik. Malah kabarnya gudang-gudang beras di Cakung sudah penuh terisi menghadapi paceklik awal tahun depan akibat kemarau panjang tahun ini. Sampai-sampai 4 gudang PT Bonded Warehouse Indonesia, tetangga gudang Bulog di Cakung (yang juga dibangun Bulog), juga ikut diisi beras. Tapi bagaimana penyebaran gudang-gudang beras lainnya? Di seluruh Jawa termasuk Jakarta - kapasitas gudang Bulog itu total 772 ribu ton. Dibandingkan dengan penduduk Jawa yang minimal 80 juta jiwa, maka itu hanya cukup untuk memberi makan 6%, dari penduduk Jawa yang ibarat kapal kelebihan penumpang ini. Namun isi gudang-gudang beras di Jakarta jangan terlalu diandalkan untuk operasi pemasaran beras murah di Jawa. Sebab fungsi gudang-gudang itu adalah juga untuk melayani kebutuhan Kalimantan Barat serta bagian timur dan selatan Sumatera. Termasuk pulau Bangka, Belitung dan Riau. Sedang penyebaran gudang beras di luar Jawa, lebih kecil lagi kapasitasnya memenuhi kebutuhan rakyat sana di musim paceklik. Sebab kapasitasnya hanya 343 ribu ton, yang berarti hanya cukup untuk 4% dari kebutuhan penduduknya. Tapi untunglah selain dibantu oleh operasi pemasaran dari Jakarta. juga dibantu dengan operasi pemasaran dari Jawa Timur. Khususuya daerah Indonesia Timur, yang belakangan ini sangat meningkat kebutuhan pangannya karena gempa di Irian dan Bali serta kesulitan pangan yang boleh dibilang merata di sepanjang kepulauan Nusa Tenggara. Penyebaran gudang-gudang beras yang lebih terarah untuk mendukung operasi pemasaran di kota-kota, dikhawatirkan tidak banyak manfaatnya bagi petani sendiri. Padahal petani, selain produsen sekaligus adalah konsumen terbesar. Malah ada kecemasan bahwa -proyek gudang raksasa ini akan makin memperkuat daya sedot Bulog terhadap seluruh produksi beras di daerah pedalaman, yang tak dengan sendirinya menguntungkan petani. SEPERTl dikemukakan drs Bambang Ismawan, sekjen Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada TEMPO: "sekarang saja, melalui mekanisme pembelian gabah via BUUD, Bulog dapat memperoleh beras dari petani sampai di bawah harga lantai. Padahal pola ekonomi petani di lawa, hanyalah pola dari hari ke hari. Sesungguhnya, dengan memiliki tanah yang rata-rata 0,2 hektar saja, untuk makan sekeluarga saja tak cukup. Toh hampir seluruh produksinya selalu mereka jual di waktu panen. Sebab mereka kan butuh uang untuk berbagai keperluan sehari-hari?" Nah, lanjut sekjen Perhepi itu, nanti kalau sudah kehabisan beras, mereka terpaksa beli lagi dengan harga yang mahal dari pedagang-pedagang di kota. Jadi apa yang dibilang marketable surplus (surplus yang dipasarkan, setelah produksi dikurangi keperluan untuk konsumsi sendiri & bibit), sebenarnya tidak jalan. Yang berlaku adalah pola gali-lubang-tutup-lubang, di mana si petani makin lama makin terjerat dalam kemiskinannya sendiri". Makanya menurut Bambang,"fasilitas pergudangan Bulog ini juga harus didukung oleh lumbung-lumbung rakyat di desa-desa, agar surplus beras tidak seluruhnya tersedot ke kota". Sebagai bekas pimpinan Ikatan Petani Pancasila (IPP) yang kini sudah lebur ke dalam HKTI -- dia condong untuk menggalakkan kembali "lumbung-lumbung paceklik" yang pernah dikembangkan oleh anak buahnya di Jawa dan Lampung. Lumbung-lumbung desa berkapasitas 5-10 ton beras dan palawija itu mula-mula dikembangkan oleh IPP di Jawa Tengah dalam menghadapi paceklik akibat hama tikus dan macam-macam. Antara lain di Wonogiri, Wonosari dan Baturetno. Tapi secara bertahap, dengan meningkatkan motivasi para anggota IPP. Lumbung paceklik itu bertumbuh menjadi semaacam "koperasi simpan pinjam in natura" Maksudnya: di musim paceklik para petani boleh meminjam sejumlah beras, jagung atau gaplek dari lumbung. Namun setelah panen dia harus membayar kembali dengan "bunga" berbentuk barang sebanyak 50% dari pokok yang dipinjam. Jangka waktunya 6 bulan. "Itu masih lebih rendah dari pada bunga 10% sebulan yang dikenakan para pelepas uang. Tapi tetap menjadi milik bersama anggota lumbung paceklik", tutur Bambang Ismawan. Dia puas melihat para bekas anggotanya yang ditransmigrasikan ke Lampung, kini juga giat mengembangkan lumbung-lumbung serupa di sana. Sedang di Jawa sendiri, banyak lumbung desa yang sudah ditinggalkan oleh anggotanya karena berbagai sebab. Antara lain karena proyek Padat Karya di Baturetno, di mana PBB ikut membantu dengan paket bulgur, sehingga anggota-anggota IPP jadi malas menabung beras di lumbung mereka. Begitu proyek Padat Karya selesai, lumbung sudah kosong dan para petani kecil itu kembali terjerat pengijon. Kata Bambang, "biaya untuk membangun lumbung-lumbung paceklik itu praktis nihil. Di Cigugur, 20-30 keluarga punya satu lumbung bilik a 3 x 3 meter. Sehingga di satu desa itu saja, bisa ada 30 lumbung. Lantainya cukup dilapis papan. Tapi meskipur murah sekali dan tidak modern seperti gudang-gudang Bulog, penyebaran stok pangan secara merata di desa-desa ini saya kira lebih memupuk ketahanan nasional". Kasus-kasus H.O. yang masih meletus di berbagai tempat di Jawa. menurut sekjen Perhepi itu menunjukkan bahwa politik stabilisasi harga beras belum betul-betul meresap ke bawah. Alasan Menteri Pertanian Toyib Hadiwijaya bahwa "beras cukup, tapi daya-beli yang lemah" memperkuat pendapatnya itu. "Kalau memang daya-beli lemah, tinggalkanlah bahan pangan itu secukupnya di desa-desa dalam batas jangkauan petani" katanya. Dengan kata lain, jangan sampai petani jadi tikus yang mati di lumbung sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus