PERISTIWA Budiadji menyebabkan Ka Bulog lebih berhati-hati.
Telah dikeluarkan instruksi untuk memeriksa lebih teliti situasi
keuangan seluruh Dolog di setiap propinsi. Tapi adakah kebobolan
yang terjadi dalam tubuh Bulog di Kalimantan Timur itu,
sekaligus akan membuat Ka Bulog melakukan pengawasan yang lebih
ketat dalam hal pendirian gudang-gudang beras?
Pembangunan 320 gudang beras di-40 lokasi di seluruh Indonesia,
merupakan satu putusan penting yang diambil pemerintah setelah
krisis pangan 1972. Maklumlah, pemerintah tidak mau lagi
dikejutkan oleh krisis serupa yang suka berulang tiap 4--5 tahun
sekali. Sehingga pembentukan sarana penyangga yang 100% di bawah
Bulog, mendapat perhatian utama. Begitu pentingnya fasilitas
Bulog ini, sehingga pemerintah berani mempertaruhkan sebagian
modalnya di luar APBN, antara 3045 milyar rupiah.
April 1977, diharapkan semuanya rampung. Maka daya tampungnya
seluruhnya berjumlah 1,115 juta ton beras, sebab rata-rata
tiap-tiap gudang kapasitasnya 3.500 ton. Berapa biayanya?
Menurut Kabulog Bustanil Arifin, yang merupakan pimpinan proyek
raksasa itu, standarnya rata-rata 100 dollar per ton. Jadi
seluruhnya 111 juta dollar atau sekitar 45 milyar rupiah. Namun
karena kalkulasi gudang tidak semuanya sama --umumnya ada 3 atau
4 gudang di satu lokasi - maka secara keseluruhan biayanya jatuh
jauh lebih rendah. Yakni Rp 30 milyar saia. Atau "rata-rata Rp
100 juta tiap gudang", kata Bustanil.
Dalam prakteknya, biaya Rp 100 juta per gudang itu selalu
terlampaui. Menurut konsultan Bulog, PT Widya Pertiwi
Engineering yang mermbuat disain standar gudang-gudang dengan
gaya arsitektur joglo itu, rata-rata menelan Rp 110 juta. Sedang
menurut Ir Maryani, asisten dari Kepala Biro Penelitian &
Pengembangan Bulog, "banyak juga yang mencapai biaya Rp 150
juta". Sedang di kabupaten Kudus, Jawa Tengah, ada gudang beras
yang mencapai harga Rp 180 juta. Macam-macam perbedaan itu,
kabarnya disebabkan karena harga tanah yang tidak sama, serta
kondisi tanah yang juga berbeda-beda.
Tanah rawa misalnya, harus diuruk dulu untuk mampu menopang
gudang beras yang beratnya ribuan ton itu. Berarti ada tambahan
biaya yang tidak sedikit. Belum lagi faktor-faktor lain.
Misalnya gudang beras dekat Samarinda yang kabarnya biayanya Rp
500 juta. Karena salah lokasi--terlalu jauh dari pelabuhan -
terpaksa dibikinkan pelahuhan khusus di luar rencana.
Jadi untuk amannya, katakanlah rata-rata Rp 150 juta. Tapi
itu pun, menurut kalangan swasta, "sudah mahal sekali".
"Berilah kami Rp 55 juta maka kami sudah dapat membangun gudang
yang serupa", kata seorang pengusaha di Bandung pada T~EM~PO.
Sedang di Jakarta, seorang pengusaha pergudan~an swasta
mengemukakan kalkulasi Rp 50 ribu/mÿFD. Kalau itu diterapkan
pada gudang-gudang Bulog yang luasnya 30 x 48 meter itu - baik
untuk yang berkapasitas 3.500 ton maupun yang 4.000 ton, maka
harga ban~unannya saja hanya akan bernilai Rp 75 juta. Dengan
kata lain, separo saja dari yang sekarang ini. Selisih harga
itu, konon disebabkan Karena gudang Bulog ini dibikin semodern
dan senyaman mungkin.
Peralatannya lengkap: ada timbangan, ada pengukur kelembaban,
alat pemadam kebakaran, termometer dan lain-lain. Lantas selain
bangunan gudang, didalam batas pagar kompleks masih dibangun
lagi satu kantor, rumah penjaga gudang, gardu jaga, gardu
listrik dengan generator diseI sendiri lengkap dengan menara
airnya sendiri. Dantidak lupa pula instalasi pengaman seperti
penangkal petir, saluran air pembuangan dan pagar pengamannya
sendiri agar sekuriti betul-betul terjamin.
"Seperti gudang-gudang beras atau gandum di Kansas Amerika",
komentar seorang spesialis pertanian pada TEMPO. Namun Kabulog
menyangkal. "Gudang-gudang ini", katanya menjelaskan, "tidak
seperti di lumbung pertanian Amerika itu. Di Kansas
gudang-gudangnya jauh lebih mahal karena harus dilengkapi alat
pemanas di musim dingin dan penyquk di musim kemarau. Sedang
yang kita bangun tak semahal itu, tapi juga tak sederhana".
Lantas, mengapa tidak menyewa gudang-gudang swasta saja? Atau
pembangunan gudang-gudang beras modern ini diserahkan saja pada
swasta, dengan bantuan kredit dari pemerintah? Sahut Bustanil
Arifin, "gudang-gudang swasta yang kita sewa sampai saat ini
kebanyakan sudah tua, dan tidak memenuhi syarat lagi. Malah ada
yang bocor kalau hujan. Belum lagi pencurian-pencurian. Sedang
fihak swasta, tidak tertarik untuk menanam modalnya dalam usaha
pergudangan karena uangnya lambat kembali. Itu modal kira-kira
25-30 tahun baru kembali. Kecuali kalau sewanya dinaikkan.
Adapun Bulog mau membangun gudang-gudang ini, karena ada
penyertaan modal pemerintah (PMP). Jadi bukan kredit dari Bank
Indonesia seperti dalam urusan pengadaan pangan. Nantinya, kalau
gudang-gudang itu sudah rampung semua dan di pakai untuk
menyimpan stok nasional ongkos pemeliharaannya - yang merupakan
tanggungan Bulog - jauh lebih rendah dari pada ongkos sewa
gudang-gudang swasta sekarang".
Juga susutnya akan berkurang? "Saya sudah instruksikan, susut
timbunnya harus nol", sahut Bustanil. Soal susutnya beras
setelah lepas dari petani/BUUD ini, memang merupakan topik
kesayangan ahli-ahli Bulog. Menurut Ir Chrisman Silitonga,
seorang ahli Bulog lulusan IPB, selama tahun 1974/75 saja dari
seluruh penjualan dalam negeri sebanyak 1,27 juta ton beras yang
susut selama ditimbun, diangkut dan dibongkar-muat ada 4% atau
47 ribu ton.
Jumlah beras sebanyak itu cukup untuk mengisi 313 ribu mulut
penduduk yang makannya rata-rata 150 kilo beras setahun. Atau
kalau dibandingkan dengan produksi petani yang rata-rata 1« ton
beras per hektar, jumlah yang susut itu sama dengan produksi 32
ribu hektar sawah setahun yang sedikitnya bernilai Rp 47 milyar.
Nah, dari jumlah susut sebanyak itu, andil susut selama disimpan
di gudang-gudang swasta sekarang rata-rata 2,5% kerugian itulah
yang mau ditekan dengan pendirian gudang-gudang beras Bulog
sebanyak 320 buah itu.
Bebicara soal lokasi penyebaran gudang-gudang itu, jelaslah
sasaran yang ingin dicapai: sebanyak mungkin melindungi
kepentingan konsumen. Khususnya di Jakarta sebagai ibukota
republik ini kebagian dua kompleks pergudangan besar di Cakung
dan Sunter dengan kapasitas total 240 ribu ton.
Berkat dua kompleks pergudangan raksasa itu -- yang pertama
dibangun akhir 1973 oleh PN Waskita Karya minimal 30 penduduk
Jakarta Raya akan terjamin isi perutnya apabila Indonesia
dilanda paceklik. Malah kabarnya gudang-gudang beras di Cakung
sudah penuh terisi menghadapi paceklik awal tahun depan akibat
kemarau panjang tahun ini. Sampai-sampai 4 gudang PT Bonded
Warehouse Indonesia, tetangga gudang Bulog di Cakung (yang juga
dibangun Bulog), juga ikut diisi beras.
Tapi bagaimana penyebaran gudang-gudang beras lainnya? Di
seluruh Jawa termasuk Jakarta - kapasitas gudang Bulog itu total
772 ribu ton. Dibandingkan dengan penduduk Jawa yang minimal 80
juta jiwa, maka itu hanya cukup untuk memberi makan 6%, dari
penduduk Jawa yang ibarat kapal kelebihan penumpang ini. Namun
isi gudang-gudang beras di Jakarta jangan terlalu diandalkan
untuk operasi pemasaran beras murah di Jawa. Sebab fungsi
gudang-gudang itu adalah juga untuk melayani kebutuhan
Kalimantan Barat serta bagian timur dan selatan Sumatera.
Termasuk pulau Bangka, Belitung dan Riau.
Sedang penyebaran gudang beras di luar Jawa, lebih kecil lagi
kapasitasnya memenuhi kebutuhan rakyat sana di musim paceklik.
Sebab kapasitasnya hanya 343 ribu ton, yang berarti hanya cukup
untuk 4% dari kebutuhan penduduknya. Tapi untunglah selain
dibantu oleh operasi pemasaran dari Jakarta. juga dibantu
dengan operasi pemasaran dari Jawa Timur. Khususuya daerah
Indonesia Timur, yang belakangan ini sangat meningkat kebutuhan
pangannya karena gempa di Irian dan Bali serta kesulitan pangan
yang boleh dibilang merata di sepanjang kepulauan Nusa Tenggara.
Penyebaran gudang-gudang beras yang lebih terarah untuk
mendukung operasi pemasaran di kota-kota, dikhawatirkan tidak
banyak manfaatnya bagi petani sendiri. Padahal petani, selain
produsen sekaligus adalah konsumen terbesar. Malah ada kecemasan
bahwa -proyek gudang raksasa ini akan makin memperkuat daya
sedot Bulog terhadap seluruh produksi beras di daerah pedalaman,
yang tak dengan sendirinya menguntungkan petani.
SEPERTl dikemukakan drs Bambang Ismawan, sekjen Perhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) pada TEMPO: "sekarang
saja, melalui mekanisme pembelian gabah via BUUD, Bulog dapat
memperoleh beras dari petani sampai di bawah harga lantai.
Padahal pola ekonomi petani di lawa, hanyalah pola dari hari ke
hari. Sesungguhnya, dengan memiliki tanah yang rata-rata 0,2
hektar saja, untuk makan sekeluarga saja tak cukup. Toh hampir
seluruh produksinya selalu mereka jual di waktu panen. Sebab
mereka kan butuh uang untuk berbagai keperluan sehari-hari?"
Nah, lanjut sekjen Perhepi itu, nanti kalau sudah kehabisan
beras, mereka terpaksa beli lagi dengan harga yang mahal dari
pedagang-pedagang di kota. Jadi apa yang dibilang marketable
surplus (surplus yang dipasarkan, setelah produksi dikurangi
keperluan untuk konsumsi sendiri & bibit), sebenarnya tidak
jalan. Yang berlaku adalah pola gali-lubang-tutup-lubang, di
mana si petani makin lama makin terjerat dalam kemiskinannya
sendiri".
Makanya menurut Bambang,"fasilitas pergudangan Bulog ini juga
harus didukung oleh lumbung-lumbung rakyat di desa-desa, agar
surplus beras tidak seluruhnya tersedot ke kota". Sebagai bekas
pimpinan Ikatan Petani Pancasila (IPP) yang kini sudah lebur
ke dalam HKTI -- dia condong untuk menggalakkan kembali
"lumbung-lumbung paceklik" yang pernah dikembangkan oleh anak
buahnya di Jawa dan Lampung.
Lumbung-lumbung desa berkapasitas 5-10 ton beras dan palawija
itu mula-mula dikembangkan oleh IPP di Jawa Tengah dalam
menghadapi paceklik akibat hama tikus dan macam-macam. Antara
lain di Wonogiri, Wonosari dan Baturetno. Tapi secara bertahap,
dengan meningkatkan motivasi para anggota IPP. Lumbung paceklik
itu bertumbuh menjadi semaacam "koperasi simpan pinjam in
natura"
Maksudnya: di musim paceklik para petani boleh meminjam sejumlah
beras, jagung atau gaplek dari lumbung. Namun setelah panen dia
harus membayar kembali dengan "bunga" berbentuk barang sebanyak
50% dari pokok yang dipinjam. Jangka waktunya 6 bulan. "Itu
masih lebih rendah dari pada bunga 10% sebulan yang dikenakan
para pelepas uang. Tapi tetap menjadi milik bersama anggota
lumbung paceklik", tutur Bambang Ismawan.
Dia puas melihat para bekas anggotanya yang ditransmigrasikan ke
Lampung, kini juga giat mengembangkan lumbung-lumbung serupa di
sana. Sedang di Jawa sendiri, banyak lumbung desa yang sudah
ditinggalkan oleh anggotanya karena berbagai sebab. Antara lain
karena proyek Padat Karya di Baturetno, di mana PBB ikut
membantu dengan paket bulgur, sehingga anggota-anggota IPP jadi
malas menabung beras di lumbung mereka. Begitu proyek Padat
Karya selesai, lumbung sudah kosong dan para petani kecil itu
kembali terjerat pengijon.
Kata Bambang, "biaya untuk membangun lumbung-lumbung paceklik
itu praktis nihil. Di Cigugur, 20-30 keluarga punya satu
lumbung bilik a 3 x 3 meter. Sehingga di satu desa itu saja,
bisa ada 30 lumbung. Lantainya cukup dilapis papan. Tapi
meskipur murah sekali dan tidak modern seperti gudang-gudang
Bulog, penyebaran stok pangan secara merata di desa-desa ini
saya kira lebih memupuk ketahanan nasional".
Kasus-kasus H.O. yang masih meletus di berbagai tempat di
Jawa. menurut sekjen Perhepi itu menunjukkan bahwa politik
stabilisasi harga beras belum betul-betul meresap ke bawah.
Alasan Menteri Pertanian Toyib Hadiwijaya bahwa "beras cukup,
tapi daya-beli yang lemah" memperkuat pendapatnya itu. "Kalau
memang daya-beli lemah, tinggalkanlah bahan pangan itu
secukupnya di desa-desa dalam batas jangkauan petani" katanya.
Dengan kata lain, jangan sampai petani jadi tikus yang mati di
lumbung sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini