Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Layanan ojek yang dimotori penyandang disabilitas, Difa Bike, mulai merambah berbagai kota. Bermula di Yogyakarta, kini Difa Bike memperluas layanan ke Sidoarjo, Jawa Timur dan Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendiri Difa Bike, Triyono menerima permintaan untuk menyediakan layanan serupa di dua kota tersebut. "Bisa dimulai dengan memodifikasi armada sesuai dengan kebutuhan pengemudi," kata Triyono kepada Tempo di markas Difa Bike, Jalan Srikaloka, Kampung Bugisan Patangpuluhan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Rabu 27 November 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, biaya memodifikasi armada sepeda motor sekitar Rp 15 sampai 20 juta, tergantung banyak sedikit perubahannya. Di Sidoarjo, Difa Bike mendapatkan pesanan membuat satu unit moda layananan berupa sepeda motor dengan side van (boncengan samping) dilengkapi pendukung ramah difabel.
Triyono, pendiri Difa Bike dan sejumlah armadanya yang dipakai untuk layanan antar dalam dan luar kota Yogyakarta. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Sedang di Banjarmasin, ada permintaan sebanyak 10 unit moda yang difasilitasi pemerintah daerah setempat. Modifikasi armada Difa Bike, Triyono melanjutkan, dilakukan dengan menggandeng bengkel las setempat dan pengaturan sesuai kebutuhan dan kondisi difabel yang mengendarai.
Beberapa perubahan yang dilakukan misalnya memindahkan pedal gas dan rem, menambah ruang untuk mengangkut kursi roda, tongkat, dan fasilitas lain. Triyono bersyukur layanan yang dikembangkannya mulai bisa memberdayakan penyandang disabilitas di usia produktif mereka. Hanya saja, dia mengkritisi belum ada regulasi yang memungkinkan kelompok difabel dapat mengembangkan usaha.
Triyono, pendiri Difa Bike dan sejumlah armadanya yang dipakai untuk layanan antar dalam dan luar kota Yogyakarta. TEMPO | Pribadi Wicaksono
Triyono yang berhasil memberdayakan 26 pengemudi difabel melalui Difa Bike, mengakui ruang gerak penyandang disabilitas masih terbatas. Sejauh ini, sebagian besar dari mereka hanya bisa berhimpun dalam organisasi berbentuk layanan sosial.
Triyono mengatakan, kelompok difabel seharusnya bisa bergerak ke ranah social enterprise. "Dilemanya, ketika difabel di Indonesia mengembangkan usaha, ada regulasi lain yang memberlakukannya sama seperti unit usaha pada umumnya. Misalnya dibebani pajak yang sama tinggi," ucap dia.