PINTU pagar Sekolah Pertanian Pembangunan (SPP) di Saree, Aceh
Besar pekan lalu masih tertutup. Empat polisi berjagajaga.
Setiap tamu diperiksa identitasnya. Mereka yang tidak mempunyai
kepentingan Jelas dipersilakan meninggalkan sekolah itu.
Dalam kompleks sekolah, tak ada kegiatan. Para siswa bersantai
saja di dalam kamar asrama. Ada pula yang hilir-mudik sepanjang
lorong sekolah. "Sudah berhari-hari kami tidak belajar," kata
seorang murid.
Pihak sekolah dan beberapa pemuka masyarakat di situ mengadakan
kenduri hari Kamis. Dua ekor sapi dikorbankan. Tapi, jangan
salah duga, ini bukan kenduri syukuran. Ini upacara adat di situ
untuk mendamaikan mereka yang bertikai.
Apa gerangan sebabnya? Sekolah yang terletak 80 km dari Banda
Aceh ini semula memecat sejumlah siswa, gara-gara peristiwa dua
bulan lalu. Kala itu, seorang murid perempuan terlambat masuk
sekolah--ia baru muncul beberapa hari setelah waktu izinnya
habis. Maka guru pengawas menghukumnya: ia harus menggali parit
sepanjang 1 km di sekitar sekolah.
Anak-anak lainnya mengganggap hukuman tersebut kurang adil.
Mohamad Gade, Ketua OSIS, mengadakan rapat yang memutuskan siswa
cewek itu harus dibantu.
Penar saja. Keesokan harinya (tamp ak) hampir semua siswa
bekerja bakti, membantu teman mereka yang dihukum, menggali
parit. Tapi akibatnya, tiga pengurus OSIS dipecat. Para siswa
pun memprotes. Bahkan mereka berniat melapor ke DPRD di Banda
Aceh.
Maksud itu buyar karena ada yang menakut-nakuti, bahwa mereka
akan ditangkap kalau pergi ke DPRD. Apalagi, Direktur SPP, Drh.
Imran Umar, berjanji untuk meninjau kembali masalah pemecatan
itu.
Tapi kemudian ternyata justru bertambah hukuman sekolah. Yaitu
enam murid yang dianggap memelopori gagasan melapor ke DPRD
dipecat. Maka timbul perkelahian (4 Maret) antara seorang siswa
yang dipecat dan guru pengawas, Vlawardi. Guru ini rupanya
dianggap sebagai biang semua pemecatan yang terjadi.
Menurut Anzib, bekas Kepala Desa Saree yang tinggal di depan
kompleks SPP, perkelahian macam itu biasa terjadi di sekolah
itu, biasanya segera dilupakan. Tapi sekali ini berbuntut
panjang. Malamnya, sehabis pembacaan daftar calon tetap anggota
DPR di TVRI, Anzib mendengar suara gaduh. Tiga rumah--termasuk
yang dihuni Mawardi-dan satu bangunan lagi dalam kompleks itu
porak poranda. Pintu, kaca jendela, perabotan rumah berantakan.
Itulah letusan emosional sekitar 500 siswa SPP. Korban jiwa tak
ada.
Malam itu juga kemudian, sebuah truk menderu masuk halaman
sekolah. Puluhan orang dari truk itu berteriak-teriak "Kami akan
menghajar kamu semua." Dan mereka menerobos pagar asrama, dengan
parang di tangan. Segera para siswa SPP itu berlarian
menyelamatkan diri ke hutan yang ada di pingir kompleks
sekolah.
Dinihari 5 Maret, huru-hara usai. Empat siswa luka parah kena
bacok. Puluhan lainnya luka ringan. Penyerbuan itu dilakukan
oleh orang-orang Seulimeum, desa sejauh 20 km dari SPP. Guru
Mawardi rupanya datang dari keluarga tcrpandang di desa itu.
Danres 101/Aceh Besar, Letkol (Pol) Sudarmaji, mencoba
mencarikan penyelesaian bagi semua pihak. Antara lain dia
mengungsikan 200 siswa penghuni asrama SPP ke suatu asrama
Dodiklat Kepolisian Aceh di Lamteumen. Yang tinggal di asrama
sekolah hanya siswa kelas satu dan siswa putri saja.
Direktur SPP pun mengambil kebijaksanaan berdamai dengan
penduduk. Mereka sama-sama bersila dalam kenduri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini