CARA bersumpah menurut Islam di pengadilan, masih seperti
teka-teki. Majelis Hakim Pengadilan negeri Bandung, Senin
pekan lalu terpaksa memerintahkan menahan saksi Mohamad alias
Eddy Ruhendi. Mohamad tidak bersedia disumpah--dalam perkara
penyerangan pos polisi Cicendo dengan tertuduh Salman Hafidz.
Salman sendiri juga menolak disumpah dengan Quran--ketika
dihadapkan sebagai saksi dalam perkara Imran, dua bulan lalu di
Jakarta. Alasan Salman cara sumpah dengan Kitab Suci tidak
terdapat dalam agama seperti dianut jamaahnya. Sebab itu ia
hanya bersedia bersumpah dengan ucapan. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat kemudian membenarkan cara itu.
Dalam perkara Fahmi Basya dahulu, beberapa saksi juga menolak
disumpah. Hakim lantas menyuruh menyandera dua orang dari
mereka. Saksi Budiantoro bertanya "Apakah Bapak Hakim mau
menanggung dosanya, jika saya disumpah dalam pengadilan yang
tidak berdasar hukum Tuhan?"
Sumpah Pocong
Rekan Budiantoro, Rudiastuti, malah minta disumpah dengan KUHP,
bahkan dengan Quran. "Karena Fahmi diadili dengan KUHP, bukan
dengan hukum Allah," katanya. Majelis, yang diketuai Hakim Hasan
Machmud, lantas berang dan memerintahkan Rudiastuti disandra dua
minggu. Pada sidang berikutnya ia baru bersedia disumpah dengan
kitab Quran. "Setelah saya pelajari kembali, ternyata sumpah di
bawah Quran itu tidak bertentangan dengan agama," ujarnya
setelah dibebaskan kembali.
Di antara saksi yang membuat pusing Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, hanya Muhasril yang memberi alasan masuk
akal. Katanya: "Setahu saya di zaman Nabi tidak ada penyumpahan
memakai Quran, sebab kitab suci itu belum dijilid waktu itu." Ia
lantas meminta Hakim mengundang ulama untuk didengar fatwanya
sekitar penyumpahan yang benar dalam Islam (TEMPO, April 1978).
Hakim menolak--walau dalam HIR, hukum acara yang berlaku waktu
itu maupun KUHAP yang berlaku sekarang, tidak diatur secara
jelas tata cara sumpah seorang saksi. Jaksa Zamzam, yang membawa
Fahmi ke pengadilan, ketika itu hanya mengatakan "Bagi penganut
Islam sumpah itu harus di bawah kitab suci Quran." Tapi
betulkah?
Terlihat, sebenarnya ada dua masalal di situ. Yang pertama cara
bersumpah menurut agama. Yang lain, lebih gawat, soal sekitar
"pengadilan Islam". Bahkan, seperti dikatakan H. Zaini Ahmad
Noeh, ahli hukum Islam yang menjadi staf ahli Menteri Agama, ada
pula masalah kedudukan sumpah dalam pengadilan seperti
dipraktekkan dalam sejarah Islam.
Menurut Zaini, sumpah dalam yurisprudensi Islam sebenarnya
hanya pelengkap. Yang menarik, seperti juga ada disebut dalam
satu hadis, sumpah itu bukan harus dilakukan oleh saksi,
melainkan terdakwa. Itu pun bila terdakwa memungkiri bukti-bukti
dan kesaksian yang ada. Keputusan hakim kemudian akan dijatuhkan
setelah mempertimbangkan dua hal tersebut.
Saksi sendiri memang boleh bersumpah, tapi itu hanya dihukumi
sebagai sunnah (terpuji, menurut agama). Kecuali bila hakim
misalnya memandan orang ini kelihatannya perlu disumpah.
Toh sebegitu jauh tidak ada petunjuk yang jelas - dalam Quran
dan Hadis mengenai cara bersumpah. Kecuali memgenai "Wallahi,
Tallahi atau Billahi". Semuanya berarti 'demi Allah',
Tapi cara-cara seperti bersumpah dibawah kitab Quran, juga sudah
dipraktekkan lama sekali. Itu kadang memang diperlukan sebagai
penguat--istilahnya taghlizhul yamin. Dalam kitab-kitab
seperti Fat-hul Mu'in dan Fat-hul Wahhah, dua literatur
klasik di pesantren, penguat sumpah itu bisa dilakukan dengan
berbagai cara dari yang paling rendah sampai yang tertinggi.
Penguat yang rendah misalnya mengucapkan Wallahi
berulang-ulang, sampai hakim menganggap cukup. Jika masih kurang
mantap, boieh mengambil tempat yang suci seperti ulasjid buat
melaksanakan sumpah. Cara menggunakan Quran merupakan penguat
yang tinggi.
Bahkan Zaini, yang antara lain telah menerjemahkan buku Dan Lev
Islamic Courts in Indonesia, menyebut jenis sumpah yang selama
ini dianggap tertinggi di negeri kita. Dikenal dengan sumpah
pocong. Orang dibungkus kain kafan, seperti mayat, disuruh
bersumpah. "Itu tidak dilarang agama. Hanya gejala mistik, yang
tidak mempengaruhi keabsahan sumpah."
Tapi dalam Islam juga dikenal sumpah bai'at, seperti sumpah
jabatan atau sumpah kesetiaan. Ini pertama kali dilakukan di
zaman Nabi, ketik Muhammad s.a.w. menguji kesetiaan para
pengikut dalam satu penandatanganan perjanjian gencatan senjata
yang dianggap para pengikut "merugikan Islam". Dalam hal
jabatan, sumpah bai'at dilakukan pertama kali untuk penobatan
Abubakar sebagai khalifah -- oleh para pemimpin yang mewakili
kelompok masing-masing.
Yang penting, sumpah seperti itu sama sekali tidak punya efek
pada masalah iman-tidaknya seseorang. Mereka yang tidak
berbai'at masuk satu kelompok atau mendukung pemimpinnya, tidak
bisa disebut "kafir". Ini memang berbeda dari keyakinan sempit
berbagai gerakan sempalan sebangsa kelompok Imran, yang karena
hanya punya pemahaman agama secara "pas foto" lantas gampang
dibikin fanatik. Para "muslim pas foto" itu pula yang suka
tergoda mempertanyakan keabsahan lembaga peradilan yang "tidak
Islam."
Dalam bab pengantarnya untuk terjemahan buku Dan Lev yang telah
disebut, yang ditulis atas permintaan pengarangnya, Haji Zaini
menyebut berbagai bentuk upaya kaum muslimin dalam ber-tahkim
alias membentuk lembaga hukum.
Dikutip dari kitab klasik Fat-hul Mu' in, bentuk-bentuk itu
mengisyaratkan kelonggaran, penyesuaian dengan kebutuhan dan
keadaan dan bukan sekedar "merk" atau formalisme buta. Lagi pula
ada faktor perubahan zaman, yang misalnya memasukkan fungsi
seorang pembela di pengadilan modern, yang di zaman para sahabat
Nabi (abad ke-7) dirasa belum diperlukan. Bahkan salah satu
kesimpulan kutipan itu menyatakan: walaupun seorang hakim
diangkat olell seorang penguasa yang paling zhalim sekalipun,
agama mewajibkan umat untuk mematuhi keputusannya--demi teeak
nya hukum.
Tak heran (atau sungguh sah, menurut Islam) bila para hakim
majelis, dalam peradilan di Indonesia, mengambil tindakan
terhadap mereka yang menolak bersumpah sepanjang diwajibkan
dalam hukum acara yang berlaku.
Tapi dalam kenyataan, juga terdapat hakim-hakim pengadilan
negeri yang kurang mendalami cara-cara sumpah menurut agama di
Indonesia. Ada misalnya yang menyandera saksi yang tidak mau
disumpah pakai kitab Quran. Sebaliknya ada pula hakim yang
begitu "lapang dada", mau menerima saksi tanpa sumpah. Misalnya
dalam perkara Periswa Lima Belas Januari, saksi Bambang
Sulistomo hanya bersedia mengucapkan janji -- dalam perkara
Hariman Siregar. Sedang Hariman (waktu itu masih seorang
Kristen) juga hanya berjanji dalam perkara Syahrir.
Pernah pula seorang hakim bingunK, ketika ada saksi yang mengaku
beragama Hindu Bali. Hakim Sukendro Asmoro dari Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat itu menanyai bagaimana cara bersumpah
menurut agamanya. Si saksi ternyata tidak paham. Hakim kemudian
minta pendapat hadirin--tidak ada pula yang tahu.
Akhirnya ia mengambil jalan unik. Saksi disuruhnya meneguk
segelas air putih, mengheningkan cipta sejenak, kemudian
melafalkan sumpah yang biasa digunakan untuk pemeluk Kristen.
Bedanya: orang Kristen dengan mengangkat dua jari ke atas, saksi
ini tidak. Hadirin pun tertawa. Hakim juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini