Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sumpah qur'an atau sumpah apa

Masalah sumpah islam di pengadilan dan kasus beberapa saksi yang menolak disumpah dengan quran sampai pada pengadilan salman di bandung, masalah sumpah model islam sering bikin ribut. (ag)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CARA bersumpah menurut Islam di pengadilan, masih seperti teka-teki. Majelis Hakim Pengadilan negeri Bandung, Senin pekan lalu terpaksa memerintahkan menahan saksi Mohamad alias Eddy Ruhendi. Mohamad tidak bersedia disumpah--dalam perkara penyerangan pos polisi Cicendo dengan tertuduh Salman Hafidz. Salman sendiri juga menolak disumpah dengan Quran--ketika dihadapkan sebagai saksi dalam perkara Imran, dua bulan lalu di Jakarta. Alasan Salman cara sumpah dengan Kitab Suci tidak terdapat dalam agama seperti dianut jamaahnya. Sebab itu ia hanya bersedia bersumpah dengan ucapan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian membenarkan cara itu. Dalam perkara Fahmi Basya dahulu, beberapa saksi juga menolak disumpah. Hakim lantas menyuruh menyandera dua orang dari mereka. Saksi Budiantoro bertanya "Apakah Bapak Hakim mau menanggung dosanya, jika saya disumpah dalam pengadilan yang tidak berdasar hukum Tuhan?" Sumpah Pocong Rekan Budiantoro, Rudiastuti, malah minta disumpah dengan KUHP, bahkan dengan Quran. "Karena Fahmi diadili dengan KUHP, bukan dengan hukum Allah," katanya. Majelis, yang diketuai Hakim Hasan Machmud, lantas berang dan memerintahkan Rudiastuti disandra dua minggu. Pada sidang berikutnya ia baru bersedia disumpah dengan kitab Quran. "Setelah saya pelajari kembali, ternyata sumpah di bawah Quran itu tidak bertentangan dengan agama," ujarnya setelah dibebaskan kembali. Di antara saksi yang membuat pusing Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hanya Muhasril yang memberi alasan masuk akal. Katanya: "Setahu saya di zaman Nabi tidak ada penyumpahan memakai Quran, sebab kitab suci itu belum dijilid waktu itu." Ia lantas meminta Hakim mengundang ulama untuk didengar fatwanya sekitar penyumpahan yang benar dalam Islam (TEMPO, April 1978). Hakim menolak--walau dalam HIR, hukum acara yang berlaku waktu itu maupun KUHAP yang berlaku sekarang, tidak diatur secara jelas tata cara sumpah seorang saksi. Jaksa Zamzam, yang membawa Fahmi ke pengadilan, ketika itu hanya mengatakan "Bagi penganut Islam sumpah itu harus di bawah kitab suci Quran." Tapi betulkah? Terlihat, sebenarnya ada dua masalal di situ. Yang pertama cara bersumpah menurut agama. Yang lain, lebih gawat, soal sekitar "pengadilan Islam". Bahkan, seperti dikatakan H. Zaini Ahmad Noeh, ahli hukum Islam yang menjadi staf ahli Menteri Agama, ada pula masalah kedudukan sumpah dalam pengadilan seperti dipraktekkan dalam sejarah Islam. Menurut Zaini, sumpah dalam yurisprudensi Islam sebenarnya hanya pelengkap. Yang menarik, seperti juga ada disebut dalam satu hadis, sumpah itu bukan harus dilakukan oleh saksi, melainkan terdakwa. Itu pun bila terdakwa memungkiri bukti-bukti dan kesaksian yang ada. Keputusan hakim kemudian akan dijatuhkan setelah mempertimbangkan dua hal tersebut. Saksi sendiri memang boleh bersumpah, tapi itu hanya dihukumi sebagai sunnah (terpuji, menurut agama). Kecuali bila hakim misalnya memandan orang ini kelihatannya perlu disumpah. Toh sebegitu jauh tidak ada petunjuk yang jelas - dalam Quran dan Hadis mengenai cara bersumpah. Kecuali memgenai "Wallahi, Tallahi atau Billahi". Semuanya berarti 'demi Allah', Tapi cara-cara seperti bersumpah dibawah kitab Quran, juga sudah dipraktekkan lama sekali. Itu kadang memang diperlukan sebagai penguat--istilahnya taghlizhul yamin. Dalam kitab-kitab seperti Fat-hul Mu'in dan Fat-hul Wahhah, dua literatur klasik di pesantren, penguat sumpah itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dari yang paling rendah sampai yang tertinggi. Penguat yang rendah misalnya mengucapkan Wallahi berulang-ulang, sampai hakim menganggap cukup. Jika masih kurang mantap, boieh mengambil tempat yang suci seperti ulasjid buat melaksanakan sumpah. Cara menggunakan Quran merupakan penguat yang tinggi. Bahkan Zaini, yang antara lain telah menerjemahkan buku Dan Lev Islamic Courts in Indonesia, menyebut jenis sumpah yang selama ini dianggap tertinggi di negeri kita. Dikenal dengan sumpah pocong. Orang dibungkus kain kafan, seperti mayat, disuruh bersumpah. "Itu tidak dilarang agama. Hanya gejala mistik, yang tidak mempengaruhi keabsahan sumpah." Tapi dalam Islam juga dikenal sumpah bai'at, seperti sumpah jabatan atau sumpah kesetiaan. Ini pertama kali dilakukan di zaman Nabi, ketik Muhammad s.a.w. menguji kesetiaan para pengikut dalam satu penandatanganan perjanjian gencatan senjata yang dianggap para pengikut "merugikan Islam". Dalam hal jabatan, sumpah bai'at dilakukan pertama kali untuk penobatan Abubakar sebagai khalifah -- oleh para pemimpin yang mewakili kelompok masing-masing. Yang penting, sumpah seperti itu sama sekali tidak punya efek pada masalah iman-tidaknya seseorang. Mereka yang tidak berbai'at masuk satu kelompok atau mendukung pemimpinnya, tidak bisa disebut "kafir". Ini memang berbeda dari keyakinan sempit berbagai gerakan sempalan sebangsa kelompok Imran, yang karena hanya punya pemahaman agama secara "pas foto" lantas gampang dibikin fanatik. Para "muslim pas foto" itu pula yang suka tergoda mempertanyakan keabsahan lembaga peradilan yang "tidak Islam." Dalam bab pengantarnya untuk terjemahan buku Dan Lev yang telah disebut, yang ditulis atas permintaan pengarangnya, Haji Zaini menyebut berbagai bentuk upaya kaum muslimin dalam ber-tahkim alias membentuk lembaga hukum. Dikutip dari kitab klasik Fat-hul Mu' in, bentuk-bentuk itu mengisyaratkan kelonggaran, penyesuaian dengan kebutuhan dan keadaan dan bukan sekedar "merk" atau formalisme buta. Lagi pula ada faktor perubahan zaman, yang misalnya memasukkan fungsi seorang pembela di pengadilan modern, yang di zaman para sahabat Nabi (abad ke-7) dirasa belum diperlukan. Bahkan salah satu kesimpulan kutipan itu menyatakan: walaupun seorang hakim diangkat olell seorang penguasa yang paling zhalim sekalipun, agama mewajibkan umat untuk mematuhi keputusannya--demi teeak nya hukum. Tak heran (atau sungguh sah, menurut Islam) bila para hakim majelis, dalam peradilan di Indonesia, mengambil tindakan terhadap mereka yang menolak bersumpah sepanjang diwajibkan dalam hukum acara yang berlaku. Tapi dalam kenyataan, juga terdapat hakim-hakim pengadilan negeri yang kurang mendalami cara-cara sumpah menurut agama di Indonesia. Ada misalnya yang menyandera saksi yang tidak mau disumpah pakai kitab Quran. Sebaliknya ada pula hakim yang begitu "lapang dada", mau menerima saksi tanpa sumpah. Misalnya dalam perkara Periswa Lima Belas Januari, saksi Bambang Sulistomo hanya bersedia mengucapkan janji -- dalam perkara Hariman Siregar. Sedang Hariman (waktu itu masih seorang Kristen) juga hanya berjanji dalam perkara Syahrir. Pernah pula seorang hakim bingunK, ketika ada saksi yang mengaku beragama Hindu Bali. Hakim Sukendro Asmoro dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu menanyai bagaimana cara bersumpah menurut agamanya. Si saksi ternyata tidak paham. Hakim kemudian minta pendapat hadirin--tidak ada pula yang tahu. Akhirnya ia mengambil jalan unik. Saksi disuruhnya meneguk segelas air putih, mengheningkan cipta sejenak, kemudian melafalkan sumpah yang biasa digunakan untuk pemeluk Kristen. Bedanya: orang Kristen dengan mengangkat dua jari ke atas, saksi ini tidak. Hadirin pun tertawa. Hakim juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus