Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus dugaan penyelewengan dana donasi masyarakat oleh Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) diharapkan menjadi momentum bagi pemerintah dan lembaga legislatif untuk memperbaiki regulasi yang mengatur lembaga filantropi. Usul Pembentukan Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelengaaraan Sumbangan pun bergulir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Hamid Abidin menilai kasus dugaan penyelewengan dana donasi yang diduga dilakukan oleh ACT, salah satunya akibat belum adanya regulasi yang jelas mengenai pengaturan lembaga filantropi. "Kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki regulasi," ujar Hamid kepada Tempo, Selasa, 5 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hamid menjelaskan, selama ini pengumpulan dana umat hanya diatur lewat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dua regulasi lawas itu hanya mengatur sistem birokrasi perizinan. Belum ada aturan soal akuntabilitas dan sanksi jika terjadi kecurangan dalam penggunaan dana sumbangan masyarakat.
Hamid dkk sejak 2018 silam sudah mengusulkan pembentukan RUU Penyelenggaraan Sumbangan untuk menggantikan aturan lawas tersebut. RUU yang diusulkan tersebut sempat masuk Program Legislasi Nasional pada 2019, namun tidak berhasil masuk Prolegnas Prioritas.
"Padahal kami sudah menyampaikan, banyak undang-undang yang baru diterbitkan 4-5 tahun sudah direvisi kembali, sementara UU pengumpulan dana itu sudah dari tahun '61 belum ada revisi," ujar dia.
Undang-undang sudah tidak memadai
Hamid menilai UU Nomor 9/61 tersebut sudah tidak lagi memadai untuk mengatur lembaga filantropi yang berkembang sangat pesat sekarang. Kegiatan fundraising saat ini muncul hampir setiap hari dan sekarang sudah merambah lewat digital yang tak lagi mengenal batas-batas wilayah
"Dalam regulasi lama itu, perizinannya memang dibuat ketat, tetapi pengawasan dan sanksinya longgar sekali," ujar dia.
Pasal 8 UU Nomor 9/1961 misalnya, hanya mengatur sanksi pidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000 bagi siapa yang menyelenggarakan kegiatan pengumpulan uang tanpa izin atau tidak sesuai syarat perizinan. Adapun soal akuntabilitas sama sekali tidak diatur.
"Jadi memang aturan yang ada selama ini tidak memadai. Ini adalah tanggung jawab bersama, termasuk DPR, karena regulasinya sudah lama dan DPR tidak melihat ini sebagai prioritas," ujarnya.
Zaskia Adya Mecca, Hanung Bramantyo dan Tantri Namira saat beraudiensi dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun atas tragedi yang terjadi di Palestina di Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, Rabu 19 Mei 2021. Dalam audiensi tersebut Aksi Cepat Tanggap (ACT) bersama Zaskia Adya Mecca, Hanung Bramantyo dan Tantri Namira memberikan bantuan dan dukungan terhadap rakyat Palestina. Tempo/Nurdiansah
Lewat RUU anyar tersebut, Hamid bersama tim perumus lainnya ingin perizinan lembaga filantropi dipermudah, namun dari sisi pengawasan dan sanksi diperketat.
"Jadi kami ingin tekankan, regulasi baru dibuat bukan untuk membatasi kegiatan filantropi, justru mendorong dan memfasilitasi filantropi yang sekarang sedang berkembang. Namun kita perketat pengawasan dan perberat sanksinya. Jadi bukan berarti pemerintah harus menjadi represif, karena kasus ini kan oknum, bukan semua lembaga melakukan (penyelewengan) itu," tuturnya.
Dalam draf RUU Penggalangan Sumbangan yang diterima Tempo, Pasal 4 merinci ruang lingkup UU Penyelenggaraan Sumbangan meliputi pengaturan: sistem pengumpulan, pengelolaan, pendayagunaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan penyelenggaraan sumbangan; mekanisme perizinan, jangka waktu, perpanjangan izin, persyaratan perizinan, dan sanksi administratif; badan penyelenggara sumbangan beserta tugas dan fungsinya; dan akuntabilitas antara lain pengumpulan, pengelolaan, pendayagunaan, dan pengawasan.
Pasal 51 juga mengatur kelembagaan penyelenggaran sumbangan. Dalam rangka pengawasan penyelenggaraan aumbangan yang akuntabel, maka dengan undang-undang tersebut akan dibentuk Komisi Penyelenggara Sumbangan disingkat KPS atau sebagai lembaga non struktural yang bersifat independen.
Hamid menyebut, draf RUU sebanyak 32 halaman dan 75 pasal itu disusun oleh kelompok kerja yang terdiri dari Filantropi Indonesia, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, YLKI, Kementerian Sosial dan juga dibantu oleh tim ahli Komisi VIII DPR RI.
Anggota DPR dukung perlunya aturan jelas lembaga filantropi
Ketua Komisi VIII Yandri Susanto sepakat diperlukan pengaturan khusus soal mekanisme pengumpulan dan akuntabilitas penyelenggaran bagi lembaga-lembaga filantropi untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan dana.
"Sangat perlu ada aturan jelas pertanggungjawaban publik karena mereka menghimpun dana masyarakat, perlu ada standar audit dan lain-lain, sehingga tidak disalahgunakan," ujar Yandri saat dihubungi, Senin, 4 Juli 2022.
Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq setuju kasus ACT mesti menjadi momentum perbaikan regulasi. Ia mengatakan DPR akan mengusulkan pembentukan RUU baru yang diharapkan bakal jadi payung hukum untuk melakukan pengawasan ketat terhadap lembaga-lembaga bantuan sosial agar lebih transparan dan akuntabel.
"Ini sebuah kezaliman yang nyata dan saya rasa DPR nanti akan membuat mengusulkan UU Charity Art seperti yang di Inggris," kata Maman kepada wartawan, kemarin.
Belum diketahui apakah RUU yang akan diusulkan DPR tersebut akan mengakomodir draf yang telah disusun Hamid dkk.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad merespons positif usul pembentukan RUU Penyelengaraan Sumbangan tersebut. "Nanti diusulkan saja sebagai usulan Inisiatif DPR. Nanti kami lihat naskah akademiknya, kemudian kami akan ajukan sesuai mekanisme yang ada di DPR," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 5 Juli 2022.