Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dulu haram, kini putih

Setelah jadi soal politik & kriminal di malaysia para pendatang gelap asal indonesia di malaysia akan dilegalkan. kedua negara setuju memutihkan dokumen keimigrasian para pendatang haram tersebut.

16 Juli 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"HARAM" tak berarti suci. Di Malaysia, kata itu dilekatkan buat orang Indonesia yang datang ke negeri itu tanpa dokumen keimigrasian yang lengkap. Mereka umumnya bekerja di perkebunan. Tapi terkadang, karena kepepet, ada yang nekat melakukan tindak pidana. Beberapa bulan yang lalu polisi menembak rnati seoranY neramDok asal Indonesia di Kuala Lumpur. Tapi problem bagi Malaysia bukanlah kriminalitas, melainkan politik. Masuknya orang pribumi Indonesia ke sana dinilai berbahaya bagi warga Malaysia keturunan Cina, yang selama ini merupakan 37% dari penduduk negeri di bagian Semenanjung dan 25% di Malaysia Timur. Kecaman tentang "pendatang haram" itu terutama datang dari DAP, Partai Aksi Demokratis, yang anggotanya kebanyakan keturunan Cina yang beroposisi terhadap orang-orang Melayu yang berkumpul dalam UMNO dan memerintah. Ada dakwaan bahwa pemerintah sengaja membiarkan mereka datang untuk mengubah perbandingan penduduk ke arah yangmenguntungkan orang Melayu. Benar atau tidak, angka pun jadi soal penting. Namun, jumlah imigran gelap itu juga gelap. Pihak DAP memperkirakan mereka ada sampai sekitar sejuta. Tapi, menurut beberapa organisasi buruh, jumlah yang benar cuma sekitar 400.000. KBRI di Kuala Lumpur tak yakin. Namanya saja pendatang gelap. "Tentu saja, sebab mereka tidak pernah melapor," ujar Kepala Bidang Konsuler KBRI, Otto Sidharto. Dengan adanya kerepotan itulah kedua negara kini setuju memutihkan dokumen keimigrasian para "haram" itu. Menteri Dalam Negeri Malaysia, Datuk Megat Junid, menjelaskan, "Caranya, pertama mereka harus melapor ke KBRI, lalu balik ke Indonesia untuk mendapat paspor. Kelak untuk kembali ke Malaysia mereka harus mencari sponsor." Untuk urusan itulah Cosmas Batubara, Menteri Tenaga Kerja dari Indonesia, berkunjung ke sana. Selama tiga hari sejak 13 Juni lalu, ia ke Sabah dan Sarawak. Ia sempat meninjau empat perkebunan yang mempekerjakan para pekerja asal Indonesia. Ia bertemu dengan East Malaysian Planters Association (EMPA), persatuan perkebunan di Malaysia Timur. Kedua negara sepakat memutihkan surat-surat para imigran gelap itu, dan EMPA menyatakan dukungannya. Kata Cosmas kemudian, "Kini mereka disebut pekerja pendatang saja." Bukan sekadar lebih sopan. Di pihak Malaysia, Datuk Megat melihat adanya kemajuan "Setidaknya pemerintah di Kuala Lumpur kini memberi.peluang kerja kepada para pendatang gelap itu, yang statusnya telah dilegalkan oleh pemerintah. Indonesia," katanya. Usaha melegalkan itu memang merupakan rencana Indonesia -- pertama kalinya sejak soal ini timbul dalam hubungan antara tetangga ini. "Selanjutnya pengiriman tenaga kerja ke Malaysia harus melalui penyalur tenaga kerja yang resmi," kata Cosmas. Sepulang Cosmas dari Malaysia, langkah itu sudah dimulai. Kamis 7 Juli lalu, ia memberangkatkan 100 tenaga kerja dari halaman Depnaker. Sebagian besar berasal dari Jawa Tengah, berusia antara 22 dan 30 tahun, rata-rata tamatan STMA. Mereka akan bekerja di perusahaan plywood di Sarawak. Mereka dilengkapi dengan kontrak kerja selama satu tahun. Mereka mendapat upah tujuh ringgit atau Rp 4.500 per hari, mendapat makan, fasilitas kesehatan, dan perumahan. Tentang yang sudah telanjur "haram", Cosmas memberikan janji yang baik. Selama ini, pekerja dengan status gelap bekerja tanpa kontrak kerja yang jelas. Bila mereka dipanggil polisi -- karena ada laporan bahwa mereka itu imigran gelap -- upahnya tidak blsa dibayar. Dengan demikian, mereka bisa dipermainkan. Hal itu, kata Cosmas, harus diselesaikan. Maka, kedua negara setuju mengadakan pemutihan atau pengampunan. Diharapkan para pekeria pendatang itu segera mengurus kelengkapan surat mereka. Yang berada di Semenanjung bisa mengurus di Kantor Imigrasi di Dumai, Riau, yang bekerja di Sabah dan Sarawak dipersilakan mengurus di Kantor Imigrasi di Nunukan, Kalimantan Timur. "Mereka dijamin bisa kembali bekerja di perusahaan semula," kata Cosmas. "Sebab, tenaga mereka memang dibutuhkan, dan dikenal sebagai pekerja yang baik." Keluar-masuk Malaysia tak akan dipersulit. Dokumen akan diselesaikan dalam enam hari. Biayanya juga tidak mahal. Jumlah semuanya, termasuk ongkos jalan, sekitar 250 ringgit. Dan perusahaan tempat mereka bekerja pun sudah setuju membantu meringankan biaya itu. Yang harus dilengkapi itu terutama paspor. Kelak mereka akan dapat paspor khusus untuk datang ke satu negara saja, misalnya ke Malaysia. "Seperti paspor haji," kata Cosmas. Pemutihan ini direncanakan selesai enam bulan terhitung sejak Juli ini. Untuk memudahkan dan memperlancar pengurusan paspor, kml sedang diusahakan agar persyaratan untuk mereka dipermudah, misalnya cukup dengan surat keterangan dan lurah saja. Pelaksanaan teknisnya begini: perusahaan yang mempekerjakan orang-orang Indonesia itu, pertama-tama, mendaftar mereka. Daftar itu kemudian diserahkan ke Konsul Jenderal KBRI di Kinabalu. Dengan data itu, pihak imigrasi Malaysia pun mengetahui jumlah mereka. Nantinya, imigran pekerja asal Indonesia itu akan keluar dari Malaysia melalui pelabuhan terbuka dan resmi. Yang di Sabah melalui pelabuhan Tawao menuju Nunukan. Cosmas mengharapkan, dengan memiliki dokumen resmi, para pekerja Indonesia itu terlindungi, gaji mereka juga bisa lebih baik. Keuntungan lain bagi kedua negeri yang berbatasan ini, menurut Menteri Tenaga Kerja Indonesia: lalu lintas orang antara kedua negara bisa diawasi. Yang gelap pun jadi nampak. Tapi tak semua pihak setuju. Fung Ket Wing, seorang tokoh DAP dari Sabah dan kini jadi wakil rakyat dari Sandakan, menolak amnesti dan "kompromi" serta "sikap lembut" kepada para pendatang ilegal Indonesia itu. Ia tak setuju bila mereka bisa masuk lagi ke Malaysia dengan paspor. "Kami mau mereka didaftarhitamkan saja," kata Fung, "karna telah melanggar UU Keimigrasian Malaysia." Galak memang. Untung, bagi Indonesia, Fung belum berkuasa. Budiman S. Hartoyo (Jakarta), Budiono Darsono (Jakarta), Ekram Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus