SERSAN Dua Gumul Kaban, 46 tahun, terbujur kaku. Anggota Koramil 09 Lau Baleng, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu masih berseragam loreng ketika ditemukan tergeletak di bawah pohon akasia. Tangannya mencengkeram kuat akar pohon itu. Bapak beranak empat ini bersimbah darah dengan benda tajam menembus lambungnya. Kematian Gumul di mulut Desa Parsaoran, 9 Juni lalu itu, nyaris tak diketahui. Malam itu penduduk di daerah pegunungan perbatasan antara Sumatera Utara dan Aceh Tengah sudah terlelap. Untunglah, Sabar Sianturi, 45 tahun, malam itu terlambat pulang, hingga melihat mayat itu. Warga desa itu langsung membangunkan J. Togatorop, Kepala Desa Parsaoran. Dengan sigap kepala desa yang berusia 57 tahun itu mengontak pos polisi terdekat. Berita itu pun diteruskan ke Koramil Lau Baleng -- sekitar 35 km dari tempat kejadian. Beberapa warga desa yang sempat terbangun malam itu langsung bergerombol menunggui mayat Gumul. Sekitar pukul 04.00 pagi, rombongan Koramil datang. Dua anggota mereka, masing-masing Koptu. Mahadi dan Koptu. Pasaribu, rupanya tak kuat menahan emosi ketika melihat kondisi mayat temannya. Dengan gigi gemeretak mereka kalap. Penduduk yang masih terlelap pun mereka obrak-abrik. Pintu rumah penduduk digedor. Yang menjadi sasaran pertama rumah D. Silaban dan M. Sihombing. Kedua tentara itu memaksa mereka keluar rumah. Belum sempat ba-bi-bu mereka langsung dihajar. Keributan menjelang fajar itu membuat Junus Pakpahan, 22 tahun, keluar rumah. Belum sempat ia sadar dari bangunnya, dua anggota Koramil itu menyorotkan lampu senternya. "Kau lagi, ya," bentaknya, dan langsung menghajar. "Pokoknya, siapa saja yang kelihatan malam itu pasti kena hajar," cerita D. Silaban. Subuh itu para anggota Koramil tersebut menjaring sembilan warga desa. Tak tahu apa salahnya, mereka dijejalkan ke atas mobil pikap. Setiba mereka di kantor Koramil Lau Baleng, penyiksaan masih berlanjut. Mereka disuruh berbaris di depan kantor. Menurut W. Nababan, 50 tahun, dengan hanya bercelana kolor mereka disuruh mengangkat sebelah kaki sambil kedua tangan ke atas dan mulut menganga. Lalu anggota Koramil itu mengambil tanah dan menjejalkannya ke mulut. "Tanah itu terpaksa kami telan, meskipun terasa sakit di kerongkongan," kata W. Nababan mengenang. Ucapan senada itu juga meluncur dari M. Sihombing, D. Silaban, dan Junus Pakpahan, orang-orang yang kena siksa. Malah, ketika mereka mengeluh lapar, kedua anggota Koramil itu menyuapinya dengan rumput dari lapangan. "Kalau tak ditelan maka popor melayang ke wajah," kata Junus. Tak pelak lagi, belum sehari keadaan fisik ke-9 warga desa itu memprihatinkan. Misalnya, dua tulang rusuk kiri W. Nababan patah. Bagian rusuk kiri M. Sihombing retak. "Sampai sekarang punggung saya terasa sakit kalau bernapas," kata D. Silaban. Siang itu juga, Komandan Koramil, Letda. J. Saragih, langsung membawa warga desa itu ke puskesmas. Memang tak sampai sembuh. Cukup mendapat perawatan seperlunya. Lalu mereka sore itu juga dikembalikan ke desanya. "Mereka tak terbukti terlibat dalam pembunuhan," kata Saraih. Siapa pembunuh Gumul? Mereka adalah Horas Nababan dan Poltak Naibaho. "Kedua pembunuh ini akhir Juni lalu sudah tertangkap dan konon sudah dikirim ke Laksusda Medan," kata J. Togatorop. Masalahnya sepele. Ketika itu Gumul sedang sibuk meneliti kasus perkosaan yang menimpa keluarga Ompu Lombang Silaban. Di tengah kesibukan itu Horas dan Poltak bicara tak keruan, hingga menyinggung perasaan anggota koramil itu. Gumul menampar kedua pemuda itu. Memang, ketika itu tak terjadi keributan. Tapi ternyata berbuntut. Beberapa hari setelah peristiwa itu Gumul ditemukan sudah tak bernyawa. Kasus itulah yang menyeret sembilan warga desa menerima getahnya. Sebuah sumber di Koramil mengungkapkan, kekalapan kedua rekannya bisa dimaklumi. Sebab, di tempat yang terpencil itu para anggota koramil merasa senasib. Ekor kasus ini, akhir bulan lalu, W. Nababan, sambil mengobati tulang rusuknya yang patah di RSU Medan, mengadukan nasibnya ke LBH. Pekan-pekan ini LBH Medan sedang memproses pengaduan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini