Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Fatwa nikah buat si hamil

Fatwa mui jabar tentang nikah hamil dan anak di luar perkawinan. (ag)

11 Februari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA saja yang menikahi wanita hamil, baiklah mengulangi perkawinannya. Sedang anak yang dikandung si wanita, sebagai hasil perbuatannya, dalam kasus zina, tak punya hubungan pewarisan ataupun perwalian dengan dirinya. Itu salah satu konsekuensi keputusan Komisi Fatwa Majelis Ulama Jawa Barat, lewat Musyawarah Daerah-nya di Bandung, 30 Januari - 1 Februari. Sejak sebelum dimulai, persidangan yang tiga hari itu yang juga membahas soal-soal kerudung, KB, dan masalah kemasjidan - sudah ditebak bakal jadi paling menarik pada pembicaraan sekitar nikah-hamil itu. Yang terjadi, malahan, ke-30 ulama terkemuka Ja-Bar itu tidak berhasil mencapai kesepakatan setelah empat jam berunding - pukul 20.00-24.00. Dilanjutkan esok paginya, sampai tengah hari, barulah jerih payah bisa diakhiri dengan rumusan. Bunyinya: "Bahwa menikahkan wanita hamil hasil hubungan di luar nikah (zina) tidak dapat dibenarkan sebelum (si wanita - Red.) melahirkan." Tentang status anak, ketentuannya hanya disangkutkan saja pada kalimat yang menganjurkan dijaganya keselamatan dan kelangsungan hidup si anak. Yakmi: "walaupun secara hukum tidak ada hubungan keturunan (nasab) dengan pria yang bersangkutan." Itu tentunya di luar pandangan terhadap anak itu sendiri, yang menurut agama Islam sama sucinya dengan anak mana pun yang dilahirkan di dunia ini. Fatwa itu agak di luar dugaan. Sebab, seperti kenyataan yang didapat dari K.H.M. Salmon, ketua I MU Ja-Bar dan ketua komisi fatwanya, kasus nikah-hamil itu, yang diteguhkan oleh pihak KUA (Kantor Urusan Aama) sendiri, "lumayan juga banyaknya" - meski "dalam laporan bulanan atau kuartalan, tidak ada". Kiai Salmon adalah pensiunan kepala Kepenghuluan dan Kemasjidan KUA Ja-Bar. Dan kalimat di atas itu bukan milik dia, melainkan dari pihak KUA Pandeglang, dalam sebuah surat yang mengajukan masalah itu pada tahun 1960. Dengan kata lain, KUA sendiri terlibat - di mana-mana. Menurut sang kiai sendiri, berbeda dengan yang akhirnya diputuskan sidang, nikah hamil itu dlbolehkan. Tapi ada catatan dalam hal janda, dan itu menyangkut soal jarak waktu antara permikahan itu dan perceraian sebelumnya. Ini didasarkan pada kitab-kitab fiqh Syafi'i, mazhab yang dianut secara luas di Indonesia. Dan boleh pula dicek kepada, misalnya, Prof. Ibrahim Rosen, L.M.L. Ketua Komisi Fatwa MUI ini membenarkan, wanita yang hamil di luar nikah boleh dinikahi - baik oleh si pezina maupun orang lain. Begitu pula menurut ketua umum MUI sendiri, K.H. Syukri Ghozali. Dan jangan lupa pendapat yang sama dari K.H. Anwar Musaddad, salah satu sesepuh NU, yang hadir di Musda dalam sidang pleno. Bahkan itu juga keyakinan pihak Persis (Persatuan Islam), kelompok yang tidak mengikatkan diri pada mazhab fiqh, dalam sidang. Memang, yang berkeyakinan sebaliknya bukan tak ada. K.H.E.Z. Muttaqien sendiri, ketua MUI yang dalam Musda ini terpilih kembali sebagai ketua umum MU Ja-Bar, merupakan salah satunya. Tokoh ini yakin bahwa wanita hamil-zina tak beda dengan wanita nonzina - dalam hal hanya boleh kawin setelah masa idahnya selesai, yakni melahirkan. Itu berbeda dengan kalangan Syafii atau ulama NU yang menganggap hamil zina sebagai, katakanlah "bukan hamil". Berbeda pula dengan kalangan Persis, seperti yang dituturkan kepada TEMPO oleh Deddy Rachman, guru pesantren Persis di Bandung dan pemimpin redaksi majalah Risaiah. Orang Persis melihat tindakan Umar bin Khattab, yang setelah mencambuk muda-mudi yang berzina dan menyebabkan kehamilan kemudian menyuruh keduanya langsung menikah walaupun si pemuda menolak. Tetapi, mengapa keyakinan seperti yang dimiliki Muttaqien itu yang "menang" dalam sidang? Soalnya, dl kalangan Syafiiyah juga berkembang pendapat bahwa walaupun nikah-hamil sah adanya, lebih baik bila laki-perempuan itu tak dinikahkan dulu - agar tak terjadi kemungkinan kekisruhan dalam status si anak. Dan boleh diingat bahwa fiqh Syafiiyah tampak dianut oleh mayoritas ulama yang hadir. Lalu mereka ini digerakkan oleh keprihatinan yang menyangkut soal-soal sekitar pergaulan bebas yang dirasakan makin meningkat, sampai ke tingkat dilakukannya zima dan penghamilan untuk tujuan perkawinan: memaksa orangtua, misalnya, atau juga menjebak si pemuda. Muttaqien, kepada TEMPO, mengesankan adanya pergeseran nilai yang nyata, antara lain akibat ketidaktahuan akan hukum agama. Karena itu, rupanya dianggap perlu memberlkan ajaran yang tegas. Dan mayoritas sidang pun sependapat. Juga dalam hal keputusan yang menyangkut anak. Hanya saja, bahwa anak hasll zima tidak mendapat waris maupun perwalian dalam perkawinan, tidak hanya keyakinan para ulama Syafiiyah. Tapi juga kalangan Muhammadiyah yang, seperti juga Persis, tak mengikatkan diri pada mazhab. Mereka itu sepakat: seorang laki-laki hanya bisa dlkatakan punya anak lewat perkawiman. Tanpa itu, si anak bukan anaknya - dan hanya anak si ibu, yang melahirkannya dan yang berhak mewariskan harta kepadanya. Maka, ketika keputusan sidang-sidang komisi dibacakan dalam pleno, tak ada dari hadirin yang menolak atau mengajukan usul yang berarti. Kecuali Usman Solehuddin, dari Persis. Ustad ini pun hanya bergumam, "Tak mungkin ada anak tanpa ayah." Soalnya, Persis memang lain. Seperti diterangkan Ustad A.E. Abdullah kepada TEMPO, baik anak yang lahir lewat "cara terpuji", yakni pernikahan, maupun "cara terkutuk" alias zina, mendapat perwalian maupun waris. Sebab, hubungan nasab itu berdasarkan darah. Deddy Rahman juga menerangkan, sejak zaman Nabi belum pernah ada hubungan nasab yang berkait dengan ibu. Sahabat Nabi yang bernama Al-Walid bin 'Uqbah, misalnya, adalah orang yang dilahirkan dari perkawinan secara berhala, yang tidak sah menurut Islam, alias sama dengan perzinaan, seperti kata Dcddy. Tetapi Nabi tetap memanggilnya bin 'Uqbah, bukan? Maka, kalau saja 'Uqbah orang Islam, tentu saja antara dia dan anaknya itu berlaku hukum pewarisan dan perwalian. Ada satu cara memandang soal yang lain lagi. Yakni: apa sebenarnya nikah itu. Ini dikemukakan oleh Kamal Muchtar, 50, dosen fiqh perbandingan mazhab dari IAIN Yogya. Mazhab Syafii, katanya, memandang nikah sebagai akad, perjanjian. Tapi Mazhab Hanafi lain: arti terpenting nikah adalah persetubuhan. Sedang persetubuhan itu sendiri, walau di luar nikah, menimbulkan hurmatul mushaharah, kehormatan hubungan kekerabatan. Konsekuensinya, misalnya: seorang anak tak akan mungkin (layak saja pun tidak) kawin dengan wanita yang sudah tidur dengan ayahnya, meski andai kata "tidur" itu di luar nikah. Atau, seperti dicontohkan Kamal Muchtar sendiri, antara seorang anak nonnikah dan anak ayahnya yang lewat nikah tak boleh ada hubungan perkawinan, menurut Hanafi. Status anak itu pun sama dengan status anak hasil nikah juga dalam masalah perwalian dan waris. "Dan dalam hal ini saya setuju," kata Pak Kamal. Persis dengan Persis. Di segi lain, fatwa MU Ja-Bar itu bisa menimbulkan efek pemojokan bagi si wamita saja - apa boleh buat. Dan itu dibenarkan Deddy. "Yang memikul beban akhirnya hanya si wanita" - yang tak boleh dinikahi di waktu hamil, sementara si laki-laki bahkan tak harus mewariskan harta. Juga keguncangan, bagi yang "telanjur" menikah waktu si wanita hamil, "secara psikologis bakal lahir". Ah, "keguncangan itu tak perlu," kata Kiai Salmon, "asal keduanya benar-benar bertobat." "Asal benar-benar bertobat, Allah itu Maha Pengampun," kata Kiai Musaddad pula. Tapi masalahnya haruskah perkawinan diulangi? "Sebaiknya diulangi," kata Muttaqien. "Memang baik diulangi, kalau merasa tidak tenteram. Tapi sebenarnya perkawinan mereka itu sah," kata Musaddad. Sedang soal waris, toh itu bisa diganti dengan hibah semasa hidup, ataupun wasiat - testamen - asal tidak melebihi 1/3 jumlah harta waris. Soal perwalian dalam perkawinan pun bisa diserahkan kepada KUA. Betapa pun, "tujuan hukum Islam, jangan sampai segala sesuatu menjadi bertambah kabur," kata Kamal Muchtar. Mudah-mudahan, memang, segala sesuatu tidak malah bertambah kabur dengan fatwa ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus