KOPO, di Cisarua, Bogor, yang sejuk, tempat PDI mengadakan Rapat Pimpinan (Rapim) 25-26 Maret lalu, agaknya terlalu dingin bagi partai banteng itu. Maka, Soerjadi dan Nico Daryanto lalu memanaskannya dengan memecat 8 tokoh partai dan membekukan Pengurus DPD PDI Tawa Barat. Sabtu Dekan lalu. Yang tergusur adalah tokoh kawakan Marhaen, seperti Dudy Singadilaga, Marsoesi, Kemas Fachruddin, F.C. Palaunsuka, Thaib Ali, M. Darwis, Yusuf Merukh, dan Suparman. Dosanya, menurut Ketua Umum PDI Soerjadi, "selama ini sudah banyak tindakan mereka yang bertentangan dengan disiplin partai." Tindakannya itu, katanya, dilakukan atas desakan DPD-DPD PDI. Menteri Dalam Negeri Rudini, yang kebagian "peer" dari kasus ini, hanya berkomentar pendek. "Kita mengamati, itu saja." Rudini mengaku, pemberitahuan tindakan PDI itu telah sampai di tangannya. Bila Presiden menyetujui, keanggotaan DPR delapan pemberontak tadi bisa diganti. Kericuhan dalam PDI memang cerita lama. Yang terakhir ini, benihnya mulai tampak sehabis pemilu lalu, ketika para calon anggota DPR terpilih mulai menduduki kursi masing-masing. Ketika itu DPP PDI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 59 yang melarang Ketua DPD PDI merangkap menjadi anggota DPR, agar mereka bisa memusatkan diri pada pembinaan organisasi. Sejumlah tokoh PDI terkena peraturan ini. Dudy Singadilaga, Thaib Ali, dan Marsoesi, misalnya, terpaksa melepaskan jabatan Ketua DPD dan memilih menjadi anggota . Beberapa tokoh lain juga harus menanggalkan keanggotaannya di DPR. Yakni Palaunsuka, Achmad Subagyo, dan Kemas Fachruddin. Soalnya, SK itu juga membatasi keanggotaan warga PDI di DPR paling banyak hanya dua masa jabatan. Ketiganya menentang, lalu tercapai kompromi: mereka boleh duduk di DPR hanya sampai Sidang Umum MPR. Masih ada beberapa lagi penyebab lain. Pengangkatan Fatimah Achmad dari SumUt, yang relatif orang baru dan tak dikenal menjadi ketua fraksi di DPR juga memperkeruh suasana. Dudy Singadilaga, yang berhasil melipatgandakan perolehan suara PDI di Ja-Bar dalam dua pemilu terakhir, gusar atas penunjukan itu. Kabarnya, ia mengincar jabatan tersebut. Menjelang Sidang Umum MPR lalu, sewaktu penyusunan GBHN, pertentangan antara tokoh tua dan pucuk pimpinan PDI semakin tampak. Usul Sekjen DPP PDI Nico Daryanto, dalam suatu makalahnya agar pendidikan agama dilepas dari kurikulum TK sampai perguruan tinggi, ditentang Dudy dkk. Desember lalu, sejumlah tokoh PDI yang menamakan diri "Kelompok 17" membuat protes keras terhadap pendapat Nico lewat surat terbuka yang ditujukan pimpinan dan anggota Fraksi PDI di MPR, dan dibagikan pula pada pers. "Ini hanya koreksi atas pemikiran yang sempat muncul, bukan gugatan. Tapi koreksi kami harus diketahui rakyat," kata Teuku Thaib Ali. Soerjadi sudah berusaha mengatasi masalah. "Sudahlah, ini soal intern partai. Akan kami selesaikan secara kekeluargaan," ujarnya saat itu. Ia lalu mengundang 17 orang tadi untuk menjernihkan persoalan. Namun, tak kunjung jernih juga. Dalam Sidang Umum MPR, ketika PDI tak segera menentukan calon wakil presiden pilihannya, "Kelompok 17" mendahului menyatakan mendukung Sudharmono. DPP PDI akhirnya memang memperkuat pencalonan Sudharmono, namun banyak anggota PDI yang tak puas dan menilai Soerjadi Nico "menunggu angin". Di Bandung dan Yogyakarta kemudian muncul pamflet-pamflet menentang kepemimpinan Soerjadi-Nico. Perselisihan ternyata dibawa-bawa hingga di Kopo. Indikasi bahwa para penentang Soeriadi akan dltendang sebetulnya sudah terlihat ketika Mendagri dan Pangab dalam sambutannya menyarankan agar pertikaian dalam PDI diselesaikan sendiri secara intern. Tapi Dudy dkk. rupanya tidak sabar lagi, dan melakukan apa yang disebut Soerjadi sebagai "kudeta". "Mereka merongrong kewenangan dan kewibawaan DPP PDI, dengan menyusun dan mengumumkan apa yang mereka namakan risafel DPP PDI," begitu bunyi SK pemecatan yang ditandatangani Soerjadi. Di Kopo itu, juru bicara DPD PDI Jawa Barat Suparman Adiwidjaja mestinya hanya menanggapi kiprah fraksinya di Sidang Umum MPR yang lalu. Tapi Suparman bicara leblh. Ia menyatakan mosi tidak percaya DPD-nya pada kepemimpinan Soerjadi, sekaligus mengumumkan risafel. Dudy Singadilaga disebutnya menjadi "ketua umum". Yusuf Merukh dan Marsoesi disebut sebagai "wakil ketua umum" dan "sekjen". Susunan "pengurus baru" itu ditandatangani 7 orang, termasuk Tjokorda Bagus Sayogya Ketua DPD PDI Bali. Dudy, yang hendak bicara, dicegah oleh B.N. Marbun, yang menjadi pimpinan sidang. Marsoesi, yang naik ke mimbar, diinterupsi Wakil Sekretaris DPD JawaTimur, yang mengatakan bahwa omongan Marsoesi itu atas nama pribadi, bukan pendapat DPD Jawa Timur. Malam harinya dibikinlah SK Nomor 121, yang memecat penandatangan risafel, kecuali Tjokorda. Lho, mengapa Tjokorda tidak? Pada TEMPO, Tjokorda mengaku mencabut tanda tangannya. Ketika Dudy menyodorkan selembar kertas. karena "percaya sama Dudy" langsung saja ia menandatangani tanpa dibaca. "Bagaimana saya bisa baca saya tak pakai kaca mata," kata Tjokorda yang mengaku tahu sudah ada tanda tangan Thaib Ali di kertas itu. Soerjadi menolak anggapan pihaknya jauh-jauh hari merancang pemecatan itu dengan mengundang DPC-DPC se-Jawa Barat ke Jakarta. Mereka datang ke Jakarta, menurut Soerjadi, minta agar diadakan Konperda. "Sudah 7 tahun Jawa Barat tak mengadakan Konperda, permintaan untuk itu tak ditanggapi DPD." Tentang perselisihannya itu, Soerjadi berkata, "Saya ini selalu ngalah. Bahkan semua orang sudah mendesak saya, tapi saya selalu berpikir panjang. Biar kalau perlu saya berkorban, dikentutin pun tak apa-apa. Tapi 'kan ada batasnya." Rapim sendiri akhirnya mengeluarkan pernyataan menyetujui sikap yang diambil DPP PDI selama SU MPR. Selain itu, juga menyetujui dibentuknya segera Majelis Pertimbangan Partai. Zaim Uchroi, Yopie Hidayat, Budiono Darsono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini