Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Islam, Salman Rushdie & beda ... dan heboh itu terus berlanjut

Vonis mati buat Salman Rushdie makin banyak pendukungnya. sensor buku dilakukan ulama & penguasa. beda pendapat di islam bukan hal baru. intisari kisah kisah gibreel farishta dan saladin chamcha.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMUR Salman Rushdie tinggal sepekan. Yakni jika janji penelepon yang mengatasnamakan Kekuatan Islam Revolusioner dua pekan lalu ditepati: melaksanakan hukuman mati terhadap novelis yang menghebohkan itu dengan batas waktu 15 Maret pekan depan. Kecaman terhadap pengarang berumur 42 tahun itu, sejak ia dijatuhi hukuman mati in absentia oleh Ayatullah Rohullah Khomeini, tiga pekan lalu, memang semakin gencar dan keras. Bukan cuma di Inggris, India, dan Pakistan -- tiga negara pertama yang memunculkan protes dan demonstrasi mengecam Rushdie dan The Satanic Verses-nya. Tapi di Mesir, Arab Saudi, Maroko, Muangthai, Malaysia, Bangladesh, Jerman Barat, Italia, Amerika Serikat, Libanon, Turki, dan banyak negeri lain, muncul pula umat Islam yang menilai karya Rushdie menghina Islam secara keterlaluan. Lalu meledaklah bom, misalnya di Pakistan dan Inggris. Seseorang mencoba membakar kantor penerbit yang hendak mengeluarkan edisi terjemahan, misalnya di Italia. Masih di negeri ini juga, Wali Kota Ravena meminta polisi menjaga kuburan pujangga besar Dante Alighieri, sebab ia mendengar ancaman bahha kuburan itu akan dirusakkan. Pasalnya, dalam karya Dante, Divina Commedia, disebut-sebut Nabi Muhammad berada di tempat yang dicadangkan buat seorang pengkhianat, dekat di dasar neraka, dalam keadaan loyo. Juga di Indonesia. Muhammadiyah dua kali mengeluarkan pernyataan pers, diteken oleh Lukman Harun, Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Organisasi ini bulan lalu telah mengimbau pemerintah Indonesia agar melarang beredarnya Ayat-Ayat Setan. "Jelas buku itu menghina dengan berat terhadap Quran, Nabi, para istri Nabi, dan para sahabat Nabi," kata Lukman, 55 tahun, yang mengaku telah membaca habis novel tersebut. Pekan lalu sekali lagi Muhammadiyah menyebarkan pernyataan pers. Isinya, menyesalkan "sikap kaku pemerintah Inggris" yang tetap melindungi Rushdie dan beredarnya Ayat-Ayat Setan." Bagi Lukman Harun, sikap Inggris itu munafik. "Di satu pihak, Inggris bilang buku Spycatcher dilarang beredar di Inggris karena bisa mengganggu stabilitas nasional, tapi membiarkan The Satanic Verses," kata Lukman kepada TEMPO. Spycatcher, itulah buku yang membongkar pengkhianatan beberapa intelijen Inggris yang lari ke pihak Soviet, yang mencerminkan kebobrokan jaringan ini. Kemudian Majelis Ulama Indonesia, yang memang ditugasi meneliti novel keempat Rushdie itu, Rabu pekan lalu mengeluarkan pernyataan. MUI menganggap buku itu "sangat melukai perasaan hati umat Islam di seluruh dunia". Kepada TEMPO, K.H. Hasan Basri, Ketua Umum MUI, mengakui bahwa pernyataan tersebut tak didasarkan atas penelitian yang detail, karena di MUI, "yang membaca buku itu baru beberapa orang." Pernyataan itu lebih merupakan "solidaritas kepada para ulama di negeri lain". Sebuah pernyataan yang bertanggung jawab. Dan heboh ini ternyata punya gaung begitu jauh, hingga keluar dari lingkaran masyarakat muslim. Selasa pekan lalu seorang penyanyi Prancis bernama Veronique Sanson membatalkan sebuah lagu yang mestinya ia bawakan dalam acara panggung di Paris. Esoknya kepada pers ia bilang, itu gara-gara ancaman telepon yang diterimanya. Lagu yang batal itu berjudul Allah, yang liriknya antara lain berbunyi: Oh, Allah, begitu besarkah nama-Mu Mengapa begitu banyak musibah dan penderitaan... -- menurut si penyanyi, itu merupakan doa kepada Tuhan. Sebenarnya, lagu itu sudah terbit dalam album Sanson ke-9, tiga bulan lalu, dan tak ada reaksi apa pun. Jelas, Sanson adalah korban gaung heboh Ayat-Ayat Setan. Heboh novel ini juga mengusik panitia hadiah Nobel di Swedia. Pekan lalu terjadi diskusi di antara panitia, bisakah mereka melanggar tradisi untuk tak mengeluarkan pernyataan politik. Sebagian panitia mendesak agar mereka memberikan tanggapan terhadap ancaman Khomeini terhadap Salman Rushdie. Masih di pekan lalu, rocker ternama, Madonna, tampil dalam sebuah siaran iklan dua menit di MTV, saluran televisi untuk musim rock di AS. Di situ Madonna menari bersama seorang anggota koor gereja, dan menyanyi di sebuah lapangan dengan latar belakang salib-salib terbakar, guna mempromosikan film video yang dibintanginya, Like a Prayer. Bila kemudian direktur perusahaan yang membuat film ini menarik iklan tersebut, karena ia khawatir ini akan mengundang protes dari kalangan Katolik. Dalam film itu Madonna selain menari dan menyanyi juga mengelus-elus seorang pastor, sementara kedua telapak tangan Madonna ada noda merah mirip luka di tangan Yesus karena salib. Diduga, kebijaksanaan ini menambil Pelajaran dari heboh Ayat-Ayat Setan. Sementara itu, sumber heboh, ya si Salman Rushdie sendiri, tetap berada di persembunyiannya di Inggris. Ia dan istrinya mendapat penjagaan dari pihak Scotland Yard. Tapi tampaknya Rushdie terus mengikuti perkembangan. Pernyataan Menteri Luar Negeri Inggris Sir Geoffrey Howe -- bahwa buku Rushdie tak cuma menghina umat Islam, tapi juga masyarakat Inggris dan Perdana Menteri Thatcher -- ditanggapinya sebagai sikap Inggris yang berubah, yang sedikit mengabaikan nasibnya. Padahal, baik Howe maupun Margaret Thatcher tetap menyatakan Rushdie, orang India kelahiran Bombay, sebagai warga negara Inggris lewat naturalisasi, akan dilindungi oleh pemerintah. Dalam nada yang sama, itulah juga jawaban Vatikan atas imbauan Ayatullah Khomeini. Akhir pekan lalu Paus Yohanes Paulus II, lewat juru bicaranya, menyatakan novel Ayat-Ayat Setan sungguh "menyinggung dan melukai" umat beragama, bukan cuma Islam. Tapi pernyataan itu juga mengimbau agar si pengarangnya tak perlu dihukum mati. Adalah nada bicara Ahmed Jibril, pemimpin Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina -- sebuah faksi gerakan Paletina yang menentang PLO dan Yasser Arafat -- yang benar-benar segaris dengan seruan Khomeini. Jibril, salah seorang yang dituduh memasang bom di pesawat Pan Am yang meledak di Skandinavia, melihat Rushdie sebagai komplotan baru yang berusaha mengecilkan umat Islam. Ia dan front-nya siap menghabisi Rushdie di mana pun pengarang itu berada. Bisa disimpulkan, tanggapan yang menentang Rushdie terbagai dalam tiga garis besar. Pertama, mereka yang langsung memvonis Rushdie dengan hukuman mati. Yakni Khomeini dan para pendukungnya. Termasuk dalam blok ini pemimpin Libya Muammar Qadhafi, yang Sabtu pekan lalu mendukung keputusan Khomeini. "Orang kelahiran India itu sudah murtad, dan ia melakukan kesalahan yang tak termaafkan," katanya. Eloknya, seorang ulama Libya mengecam Khomeini telah menyimpang dari garis Islam. Kedua, mereka yang menyatakan Ayat-Ayat Setan menghujat Islam, tapi tak tergesa-gesa memvonis pengarangnya. Termasuk kelompok ini antara lain ulama besar Mesir Syekh Muhammad Sayyid Tantawi, yang menyarankan hukuman buat Rushdie sesuai dengan jiwa Islam. Yakni, Rushdie harus diadili oleh pengadilan Islam yang bertanggung jawab. Tertuduh diminta pula hertohat dalam waktu 3 hari. Bila memang ia tak berubah, barulah hakim pengadilan menjatuhkan hukuman sesuai dengan berat-ringannya kesalahan. Termasuk dalam kelompok kedua adalah umat Islam di AS. Mereka yang menyatakan novel Rushdie menyingung Islam dan merencanakan menuntut pengarang itu di depan pengadilan. Tapi, sebelum tuntutan diajukan, kelompok ini memperioritaskan ditariknya novel yang menghebohkan itu dari peredaran, kata Ahmad Zaki Hammad, Ketua Umum Masyarakat Islam Amerika Utara. Adalah Zaki Badawi, Ketua Dewah Masjid-Masjid di London yang sangat prihatin mendengar ancaman Khomeini terhadap Rushdie, bisa digolongkan kelompok ketiga. Ia menawarkan perlindungan buat Rushdie, yakni di rumahnya sendiri. Ulama kelahiran Mesir itu melihat karya Rushdie "lebih melukai hati seorang muslim daripada ia memperkosa anak gadisnya." Tapi, meski Rushdie seorang murtad, tak berarti jalan pengampunan tertutup baginya. "Langsung menghukum seorang yang murtad bukanlah tindakan berdasarkan Quran melainkan tradisi," kata Badawi. Kesempatan bagi si murtad agar kembali ke rel, katanya, bisa tiga hari, tiga tahun, atau malah seumur hidup. Ulama berusia 66 tahun ini optimistis, Rushdie akan "kembali ke pangkuan Islam, sebab memang itulah jalan satu-satunya yang ia kenal." Tapi mungkinkah ketegangan internasional, terutama antara Iran dan Inggris, akibat heboh ini reda? Sulit ditebak. Ada yang mengatakan, apa pun yang akan terjadi pada diri Rushdie, tak akan menyebabkan Iran dan Inggris rujuk kembali. Bila Inggris tak membreidel buku Rushdie, hubungan diplomatik kedua negeri tetap akan putus. Bila Rushdie terbunuh, umpamanya, Inggris mestinya makin antipati terhadap Iran. Yang menarik sebenarnya kenyataan di toko-toko buku Amerika. Bukan cuma karya Rushdie lalu dicari orang, tapi juga Quran dan buku tentang Islam. Bukankah ini merupakan jalan penyebaran Islam lebih luas lagi? Bukan soal bertambahnya umat, tapi lebih penting daripada itu, bertambahnya pemahaman terhadap Islam.Bambang Bujono (Jakarta), P. Nasution (Washington), Djafar Bushiri (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum