Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Referendum Dibalas Syariat Islam

Pemerintah membicarakan kemungkinan penerapan syariat Islam di Aceh. Upaya Jakarta mengalihkan perhatian?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT-tempat mesum akan dibabat. Pelanggaran susila, tak usah bertele-tele, cukup diselesaikan di tingkat desa. Lembaga adat seperti tuha peut—pelaksana hukum adat di tingkat desa—akan dihidupkan kembali. Singkatnya, Aceh akan dikembalikan kepada suasana di zaman Teuku Cik Di Tiro dulu: sebuah kawasan yang memang pantas berjulukan Serambi Mekah. Syariat Islam segera diberlakukan? Belum tentu, memang. Tapi naga-naganya sudah menjurus serius. Inilah sebuah opsi yang diluncurkan Jakarta untuk meredam konflik berkepanjangan di sana. Jika rencana ini mulus, masyarakat adat Aceh akan leluasa menerapkan ajaran Islam. Menteri Agama Malik Fadjar sudah memberikan lampu hijau. Ketuk palu tinggal ditunggu dari DPR dan Presiden Habibie. Adalah Ketua Tim Penasihat Presiden untuk Masalah Aceh, Usman Hasan, yang getol memperjuangkan opsi itu. Di mata bekas pengurus Golkar ini, penerapan syariat Islam adalah pilihan strategis untuk menyelesaikan kasus Aceh yang telah memakan korban ribuan nyawa itu. Sasarannya adalah menghidupkan lagi peran ulama, yang selama ini melempem akibat terlalu lama dikangkangi kekuasaan pemerintah. Padahal, menurut Usman, ulama inilah yang bisa menjadi pembeda Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan masyarakat. Lemparan ide Usman ini rupanya bersambut. Di Gedung DPR, Senayan, kini sedang digodok Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Aceh yang akan memberikan peluang penerapan syariat Islam tersebut. Kawasan khusus itu akan punya keleluasaan dalam tiga hal: agama, adat, dan pendidikan. Usul inisiatif DPR itu sedang dibahas di tingkat Program Legislatif Nasional dan akan segera meluncur ke pembahasan fraksi. "Empat fraksi DPR sudah menyetujui usul inisiatif ini," kata Muhammad Kaoy Syah, juru bicara Pengusul Inisiatif RUU Keistimewaan Aceh. Dilihat dari sejarahnya, ini bukan merupakan gagasan baru. Pada 1962, melalui keputusan Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda, yang ketika itu dipegang Kolonel Infanteri M. Jasin, pernah diterapkan syariat Islam di Aceh sebagai jawaban terhadap pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dilakukan Daud Beureueh. Tapi, faktanya, penerapan hukum Islam ini pun ternyata tidak bergigi. Pada 1974, Soeharto menyeragamkan bentuk pemerintahan dan hukum di semua provinsi. Lalu, kebijakan Jasin itu rontok begitu saja. Tapi benarkah penerapan syariat Islam merupakan jawaban terhadap kemelut Aceh yang berkepanjangan? Tidak semua pihak setuju, tampaknya. Abdul Rahman Yakob, aktivis Koalisi LSM HAM Aceh, malah curiga, usul tersebut hanya taktik Jakarta untuk mengalihkan perhatian rakyat Aceh dan dunia internasional dari persoalan pokok di ranah Tjut Nyak Dien itu. Dengan mengetengahkan isu syariat Islam, persoalan tindak kekerasan aparat dan hak asasi manusia akan melorot. Padahal, inilah inti persoalan Aceh yang sebenarnya. Selain itu, bekas direktur LBH Aceh itu beranggapan, kalau isu agama yang dipakai, apalagi jika kemudian disambut publik, perhatian internasional yang saat ini sedang diupayakan direbut akan surut. "Dunia internasional biasanya tidak sensitif terhadap isu agama," kata Abdul Rahman. Padahal, menarik perhatian komunitas global itulah yang sedang giat-giatnya dilakukan aktivis HAM Aceh. Pekan ini, misalnya, Koalisi LSM HAM Aceh terbang ke Jenewa, Swiss. Mereka akan memberikan kesaksian di hadapan Komisi HAM PBB tentang tindak kekerasan aparat selama daerah operasi militer (DOM) diberlakukan di provinsi itu—sejak 1989. Mereka membawa serta seorang ibu dan seorang anak muda sebagai saksi hidup atas "kekejaman massal yang dilakukan militer." Persoalan lain agaknya menyangkut perkara teknis. Soalnya, bagaimanapun, RUU Keistimewaan akan tetap berpegang pada prinsip Indonesia sebagai negara kesatuan. Artinya, tetap ada hukum nasional yang harus dipegang sebagai payungnya. Itulah sebabnya Departemen Dalam Negeri kelihatannya belum mau buru-buru membuka pintu. "Harus jelas dulu rinciannya," kata Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid. Ryaas mengaku belum diajak berbicara oleh DPR untuk membahas masalah ini. Soal rincian itulah yang belum begitu jelas, misalnya pada bidang-bidang apa syariat Islam akan diterapkan, lalu siapa yang akan menjadi obyek hukumnya: semua warga Aceh atau semua orang yang berada di Aceh—sehingga pendatang dari luar Aceh pun bisa dijaring dengan hukum Islam ini. Dengan kata lain, problem teknis masih berenceng menunggu klarifikasi. Yang juga belum klir: betulkah sebenarnya rakyat Aceh menghendaki syariat Islam itu? Sebab, seperti ditanyakan seorang sumber TEMPO, jangan-jangan isu ini hanyalah agenda Jakarta untuk memadamkan gejolak, dan sama sekali tak ada kaitannya dengan tuntutan umumnya rakyat Aceh. Hampir setiap tua-muda fasih meneriakkan "referendum" untuk memisahkan diri dari Republik, di setiap sudut kota dan desa—meski mereka mungkin tak paham betul maknanya. Arif Zulkifli, Ardi Bramantyo, Mustafa Ismail, dan koresponden Aceh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus