Dadanya bolong. Bekas luka tembak itu menganga lebar. Lehernya hampir putus dan sekujur tubuhnya biru lebam. Mayat Supriadi, wartawan harian Medan Pos, itu ditemukan di dalam gundukan tanah, ketika orang-orang sekampungnya menyisir desa. Kerumunan tetangganya mengenali ciri fisiknya: kecil, kurus, kehitaman, dan kaki yang pincang sebelah.
Ajal mulai menapak pada suatu malam yang panas, akhir Juli silam. Di rumahnya yang mungil di lokasi transmigran Tualangtueh, Lhoksukon, Aceh Utara, Supriadi sedang asyik mengobrol bersama Supriono, rekannya. Tiba-tiba datang dua orang tak dikenal. Jarum jam menunjuk angka sepuluh. Dua orang tamu ini kemudian mengajak Supriono dan Supriadi pergi, entah ke mana.
Poniyem, istri Supriadi, tak curiga. Ia mulai waswas ketika esok paginya Supriadi tak kunjung pulang, sampai lebih tiga hari. Poniyem melaporkan suaminya yang hilang itu kepada perangkat desa. Warga desa tetangga ikut sibuk mencari. Setelah menyisir desa, secara kebetulan ditemukan gundukan tanah. Tampaknya masih "hangat". Saat digali itulah, mereka mendapati tubuh Supriadi bertumpuk dengan Supriono. Mengenaskan.
Tak jelas motif pembunuhan itu. Supriadi adalah wartawan kedua yang meninggal di Serambi Mekah akibat pembunuhan sepanjang tahun ini. April silam, Mukmin, wartawan koran mingguan Panji Demokrasi terbitan Medan, juga ditemukan tewas terbunuh. Di tubuhnya terdapat luka menganga, diduga bekas tembakan. Sejauh ini tak ada titik terang siapa pelakunya.
Memang ada yang sedikit lebih "beruntung" karena selamat dari maut, contohnya yang dialami Omar H.N. dan Ali Rabani, koresponden dan kamerawan RCTI di Aceh. Tentara memberondongkan peluru ke dekat kaki mereka ketika pertempuran Matangkuli meletus. Kartu pers Bustami Saleh, koresponden harian Waspada, dirampas saat ia mengabadikan peristiwa kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Lhokseumawe.
Selasa pekan lalu, giliran wartawan harian Serambi Indonesia, Syamsul Kahar, yang menerima kiriman teror. Rumahnya di Kampung Mulia, Banda Aceh, dilempari bom molotov. Mobilnya yang sedang terparkir di garasi terbakar. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut. Sebelum aksi pelemparan bom, Ketua PWI Aceh ini mengaku sudah sering mendapat teror lewat telepon.
Perkara ancaman agaknya sudah menjadi menu rutin bagi jurnalis setempat. Rusli, dari harian Waspada yang berdomisili di Meureudu, mengaku pernah dibawa oleh orang-orang tak dikenal ke suatu tempat. Setengah badannya ditanam ke tanah. Lalu sepucuk senjata ditodongkan ke dekat kepalanya. "Sekarang mentalnya terguncang," kisah Syamsul, rekan Rusli. Setelah itu, telepon gelap berdering. Si penerima telepon diancam menjadi sasaran berikutnya.
Aksi teror membuat nyali sejumlah wartawan yang bertugas di Lhokseumawe dan sekitarnya kecut juga. Banyak di antara mereka yang akhirnya memutuskan angkat kaki dari Ranah Rencong. Menurut Mansyursyah, wartawan Waspada di Banda Aceh, saking takutnya, dalam beberapa pekan terakhir ini hampir tak ada pasokan berita dari wartawan di daerah rawan seperti Uleeglee dan Meureudu, Kabupaten Pidie. Kantor Antara di Lhokseumawe hampir sebulan terakhir ini menutup pintu. Wartawan yang ditempatkan di sana, Syahruddin Hamzah, sudah ditarik ke Banda Aceh dan tidak ada penggantinya.
Siapa biang teror bagi para jurnalis itu? Tak ada jawaban pasti. "Bisa preman, bisa Gerakan Aceh Merdeka, bisa provokator," kata Syamsul. Kisah ini sekaligus menggenapkan serentetan teror di Republik, yang memang susah diungkap.
Wicaksono, Mustafa Ismail (Jakarta), Bambang Sudjiartono (Medan), Zainal Bakri (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini