Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga menjadi penggugat terhadap uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Keempatnya adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka mempunyai hubungan tidak langsung dengan Gibran Rakabuming Raka, saat ini Wakil Presiden periode 2024-2029.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tsalis Khoirul Fatna menceritakan hubungan tidak langsung tersebut. Ia mengatakan, mereka menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai salah satu pertimbangan dalam mengajukan uji materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Almas menguji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu yang mengatur batas usia pencalonan presiden minimal berusia 40 tahun. Dalam uji materi pasal ini, legal standing Almas adalah pemilih di pemilu.
Mahkamah Konstitusi mengabulkanya. Putusan tersebut yang memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto di pemilihan presiden 2024.
Pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menerima legal standing Almas tersebut menjadi dasar Tsalis Khoirul Fatna dan ketiga rekannya dalam mengajukan uji materi Pasal 122 Undang-Undang Pemilu. Pasal ini mengatur ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
“Putusan perkara nomor 90 yang diajukan Almas yang diperbolehkan menguji Undang-Undang Pemilu dengan status sebagai pemilih itu kami jadikan dasar legal standing,” kata Nana, panggilan Tsalis Khoirul Fatna, kepada Tempo, Jumat, 3 Januari 2024. “Jika putusan nomor 90 ini diterima dengan legal standing para pemilih, maka tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi menolak legal standing kami,” kata dia.
Menurut Nana, Mahkamah Konstitusi sudah tidak melihat masyarakat sebatas objek demokrasi. Ia mengatakan masyarakat sebagai pemilih dalam konteks pemilu pada dasarnya merupakan subjek dalam demokrasi. “Jika pemilih tidak diberikan ruang, tidak diberikan kesempatan untuk kemudian menyampaikan aspirasi, sama saja memandang bahwa pemilih adalah objek dari demokrasi, bukan subjek demokrasi,” katanya.
Dua hari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh keempat mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga tersebut.
Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 menyatakan mengabulkan permohonan pemohon. Adapun pemohon menguji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur urusan presidential threshold.
Dalam pertimbangannya, pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, menyatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dominasi partai politik menyebabkan terbatasnya pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, pemilih turut mengalami keterbatasan dalam memilih. Keempat, mengenai adanya sanksi bagi partai politik yang tidak mengusulkan pencalonan presiden dan wakil presiden. Sanksi tersebut berupa pelarangan partai politik untuk mengikuti pemilu periode berikutnya. Kelima, perumusan terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melibatkan berbagai pihak terkait, termasuk partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Pilihan Editor : Evaluasi Masyarakat Sipil Terhadap Pemilu 2024