TANTANGAN terhadap kepemimpinan Dr. H.J. Naro mulai terbuka -- bahkan di depan hidungnya sendiri. Akhir bulan lalu, misalnya, ketika Naro hadir pada peringatan hari jadi PPP ke-16 di Gedung Bhakti, Ponorogo, Jawa Timur, yang diselenggarakan pengurus PPP eks Karesidenan Madiun, tanpa diduga ketua panitia, Ibnu Haryadi, mengucapkan kata-kata yang bisa dinilai sebagai cerminan adanya kelompok anti-Ketua Umum PPP terehut. Katanya, antara lain, "yang hadir malam ini tidak saja yang pro-Pak Naro, tapi juga yang anti-Pak Naro." Suasana malam itu berubah tegang dan riuh ketika Ibnu, Ketua Departemen Kaderisasi PPP Ponorogo, juga menyatakan bahwa di Madiun PPP merupakan partai gurem. Ketua DPC PPP Ponotoo, Amru Al-Mu'tasim, segera tampil ke mimbar dan minta maaf atas kelancangan ketua panitia tersebut. Setelah itu menyusul Ketua I DPW PPP Jawa Timur? Soelaiman Fadeli. Barangkali ia ingin menyatakan, mereka yang tadinya masih bertanya-tanya mau dibawa ke mana partai ini oleh Pak Naro se karang sudah sadar. Dan, malam ini mreka hadir pula di sini." Naro, yang malam itu cuma memberikan sambutan singkat, menjawab "keterustrangan" Ibnu dengan menyatakan "telah membuka kembali pintu partai bagi saudara-saudara yang selama ini terombang-ambing dalam pemilu yang lalu." Mengenai PPP yang disebut sebagai partai gurem, Naro mengambil tamsil pepatah, "Hujan emas di rumah orang, lebih baik hujan batu di rumah sendiri." Hujan batu agaknya memang bakal menggeruduk rumah PPP yang selama 10 tahun dijaga Naro. Sejak sekarang pun, lawan-lawannya (atau kawan-kawannya yang kini berbalik menjadi lawannya) mulai mengintip kelemahan-kelemahannya. Naro, misalnya, mereka nilai terlalu otoriter. "Tapi hal itu sebenarnya karena Pak Naro selalu bersikap tegas dan konsekuen. Kalau sudah memutuskan, ia tidak mau mengubahnya lagi," kata sebuah sumber di DPP PPP. Jaelani Naro oleh beberapa rekannya juga dinilai "masih berjiwa jaksa". Menurut sumber tadi, Naro, yang memang bekas jaksa itu, bisa memuji atau memarahi orang di depan khalayak ramai, hingga yang bersangkutan tersinggung. Beberapa orang yang pernah didamprat "Pak Jaksa'' itu antara lain Sudardji (almarhum), Ridwan Saidi, Husnie Thamrin -- ketiganya pimpinan teras DPP. "Tapi kalau dia senang, langsung memuji. Pak Naro spontan," tambah sumber itu. Kelemahan Naro yang lain, masih menurut sumber yang sama, dulu dia seolah-olah dikelilingi oleh para birokrat. "Dulu orang tidak bisa ketemu, karena orang-orang di sekelilingnya seakan-akan menghalangi. Kalau misalnya orang MI atau NU mau jumpa, ya harus melalui stafnya yang orang MI atau NU dulu," katanya. Tapi sekarang orang bisa jumpa langsung." Tak heran bila menjelang Muktamar PPP ke-2, yang direncanakan Agustus depan, sudah terdengar santer keinginan untuk mengganti Naro sebagai ketua umum partai. Tapi Naro tidak berpangku tangan. Ia pasang kuda-kuda sejak jauhjauh hari. Buktinya: dalam Sidang Dewan Partai di Jakarta, 15 dan 16 Januari 1988, semua ketua DPW meminta kesediaan Naro kembali sebagai ketua umum. Sidang Dewan Partai, lembaga di bawah Muktamar, yang dihadiri semua ketua dan sekretaris DPW ini memang bukan instansi yang berhak memilih pengurus. Tapi, menurut Soelaiman Fadeli, lembaga tersebut bisa memberi rekomendasi. "Semua ketua DPW hadir dan membubuhkan tanda tangan." katanya. Kini kesepakatan DPW itu jadi benjol. Awal bulan lalu, misalnya? dukungan buat Naro itu dipersoalkan oleh Wakil Ketua PPP Jawa Tengah Cholil Baedhowi. Dalam suratnya kepada DPP 5 Maret lalu. Cholil antara lain mengungkapkan adanya upaya DPP untuk menekan DPC-DPC melalui beberapa anggota DPP yang disebar ke daerah-daerah. Ia juga menungkapkan adanya surat DPP tertanggal 21 Januari 1988 kepada semua DPC agar memasyarakatkan hasil sidang dewan partai tersebut. Cara itu jelas untuk mengegolkan Naro sebagai calon tunggal Ketua Umum PPP, yang dalam Muktamar kelak diharapkan bisa didukung secara aklamasi. Bahkan, menurut bekas salah seorang pimpinan FPP Djamaluddin Tarigan, DPP juga berusaha mengerahkan dukungan berupa "ebulatan tekad" dari DPC-DPC. Sejak Oktober tahun lalu, Sekjen PPP Mardinsyah memang sudah melakukan pendekatan ke daerah-daerah. Hasilnya, DPW Jawa Barat, Lampung, Jawa Timur, dan Kalimantan menyatakan "kebulatan tekad" mendukung Naro. Tapi di Jawa Tengah "kebulatan tekad" yang telah digolkan Mardinsyah itu dinilai Ketua DPW Karmani, S.H. sebagai "cara main-main" dan "tidak sehat". Ia juga mengkritik upaya mendapatkan dukungan bagi Naro melalui sidang Dewan Partai. Ketika itu, katanya, semua ketua DPW diundang ke Jakarta dalam rangka Sidang Umum MPR. "Kami tidak dipersiapkan berbicara mengenai calon ketua umum. Saya membubuhkan tanda tangan tergesa-gesa," kata Karmani. Meskipun Mahdi Tjokroaminoto (salah seorang ketua) dan Mardinsyah telah melakukan pendekatan jauh-jauh hari agar DPW Jawa Tengah mendukung Naro, toh itu tak mengoyahkan "iman" Karmani, 55 tahun, yang pada 194 duduk sebagai Wakil Ketua NU Jawa Tengah. "Kami sudah memutuskan tidak akan mendukung seseorang sebelum muktamar dimulai. Sebab, dukung-mendukung atau tekenmeneken cara yang tidak sehat," ujarnya. Itu sebabnya dalam salah satu sikap politik yang diputuskan dalam Konperensi Kerja PPP, 5 April lalu, tercantum usulan kriteria personalia Pengurus Pusat PPP. Isinya, pengurus partai antara lain, "jauh dari sikap otoriter monolit sentralistik, dan nepotisme." Sifat-sifat itu selama ini dinilai menjadi ciri kepemimpinan Naro dan sudah jadi rahasia umum di kalangan kelompok anti-Naro dalam PPP. Agaknya tak cuma itu yang diinginkan warga PPP. Karmani, yang agaknya mengambil pelajaran dari Muktamar I di Ancol, Jakarta, 1984, menginginkan Muktamar I sebagai muktamar yang sehat dengan hasil yang sehat pula. Pada Muktamar I, konon yang tidak mendukung Naro diancam tidak akan diundang. "Baru sekian bulan muktamar selesai, sudah ribut. Selama muktamar, dan sampai sekarang, ramai melulu. Ini kan tidak sehat," kata Karmani. Ia mengungkapkan pula bahwa selama kepemimpinan Naro sudah berkali-kali terjadi cara-cara yang tidak sehat seperti itu. "Bahkan tahu-tahu muncul edaran yang setengah memaksa. Isinya, ya pokoknya pernyataan setia kepada ketua umum. Dan itu berkali-kali terjadi. Misalnya dalam kasus Sudardji, Syarifuddin Harahap, Ridwan Saidi," ujar Karmani. Ia menambahkan, "Kalau sekarang saya tidak mau mendukung Naro lantas dinilai mengkritik pimpinan atau mengkritik Naro atau ada pihak yang merasa terkena ya silakan. Saya tidak setuju dengan cara dukung-mendukung seperti itu. Yang memilih ketua umum adalah muktamar, bukan sidang dewan partai. Lantas apa gunanya muktamar kalau ketua umum sudah ditentukan dewan partai?" Adakah sikap itu terpengaruh oleh penilaian Pak Harto, yang dalam otobiografinya menyebut Naro lebih mementingkan hak dari kewajihan? Karmani membantah. "Saya belum membaca buku itu," katanya. Tapi bagi pengurus DPW lain, otobiografi Pak Harto itu rupanya menjadi bahan referensi. Setidaknya bagi DPW Sulawesi Utara dan NTB, yang semula mendukung Naro belakangan menarik dukungan. Meski tak suka Naro, Karmani tak bersedia mengungkapkan penilaiannya tentang kepemimpinan ketua umum sekarang. "Itu tidak etis. Saya akan menilai dalam muktamar nanti," katanya. Tapi ia menghendaki perlunya penyempurnaan AD/ART, yang dinilainya, "terlalu memberat pada DPP, kurang memberi porsi pada daerah dan cabang." Penyempurnaan itu, menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang pernah jadi dekan FH Undip Semarang tersebut, di antaranya menyangkut kaderisasi dan rekrutmen." "Kalau rekrutmen tidak diatur secara tegas, maka penyakit nepotisme akan menjalar. Bisa-bisa saya mengabaikan kader yang sudah lama berbakti, tapi malah mengangkat anak atau istri saya. Bagaimanapun juga, nepotisnne harus dihindarkan," tambah Karmani. Kekhawatiran mengenai nepotisme ini jelas ditembakannya ke arah Naro. Karena tiga orang anggota keluarga Naro telah diangkat sebagai anggota DPR: Jalinar, adik Naro, mewakili daerah pemilihan Sumatera Barat, juga sebagai Ketua Departemen Wanita DPP PPP di Wibowo, adiknya yang lain, dari daerah pemilihan Jakarta dan Husein Naro, anaknya, dari daerah pemilihan Jawa Barat, merangkap Ketua Departemen ubungan Luar Negeri. Pengangkatan anggota keluarga sendiri untuk menduduki jabatan tertentu sebenarnya merupakan soal biasa. Apalagi bila yang bersangkutan memang mampu. Tapi soal ini agaknya akan ditunjukkan penentang Naro sebagai salah satu kelemahan Ketua Umum PPP itu. Siapakah orang-orang yang akan memanfaatkan kelemahan Naro untuk menduduki kursi Ketua Umum PPP? Karmani disebut-sebut sebagai salah seorang pesaing. Nama lain yang juga gencar terdengar berminat menggantikan kedudukan Naro ialah dr. H.M. Djufrie S.K.M. Dalam siaran pers pada 3 April lalu, Ketua DPW Jakarta ini bahkan menyatakan tidak lagi mendukung Naro. Sikap Djufrie didukung lima DPC Jakarta. Djufrie 50 tahun, lulusan FK UGM yang sejak 1975 tidak lagi berpraktek ini juga siap menembakkan peluru lain ke arah Naro. Dengan tandas Djufrie me nuding Naro, "lalai menjabarkan asas tunggal Pancasila dalam AD, ART PPP." Sebab, katanya, dalam Muktamar I janji untuk menjabarkan asas Pancasila merupakan dasar dukungan DPW-DPW terhadap Naro. Dan batas akhir janji itu 31 Maret 1899, yaitu berakhirnya Pelita I. Dalam Muktamar I itu DPW Jakarta memang mendukung Naro. Ketika itu mereka yakin Naro akan dapat menyelesaikan masalah partai dengan baik "Tapi akhir-akhir ini ternyata nilai obyektif yang diperolehnya seperti yang diutarakan Pak Harto dalam otobiografinya. Penilaian Presiden itu sebagai petunjuk adanya kekurangan dalam kepemimpinan Pak Naro," kata Djufrie, yang masih aktif mengurus Yayasan Rumah Sakit Islam Surakarta. Singkat kata, menurut Djufrie, yang mula-mula duduk sebagai Sekretaris pp Muhammadiyah dan anggota Majelis Pembinaan Kesejahteraan Umat (PKU) Muhammadiyah. "Pak Naro gagal menjalankan fungsinya sebagai ketua umum, teknis maupun ideologis. Saya menekankan segi ideologinya, yaitu kegagalan menerapkan asas tunggal Pancasila." Di PPP, Djufrie memulai karier politiknya pada 1973 sebagai Bendahara DPC Jakarta Timur. Usaha Naro menjabarkan asas tunggal itu, kata Djufrie, bukan tidak ada. Bahkan sudah dua kali ia berusaha menyempurnakannya. "Tapi belum disampaikan lewat forum resmi. Untuk itu mestinya DPP mengambil inisiatif menyelenggarakan muktamar luar biasa." tambahnya. Sampai akhir pekan lalu DPW Jakarta, kata Djufrie, tidak punya unggulan nama untuk dicalonkan sebagai ketua umum. Tapi, menurut Ketua DPW Jakarta itu sang calon hendaknya memenuhi kriteria sebagai figur yang benar-benar mampu memimpin partai di atas jalur konstitusi. Djufrie, yang terpilih sebagai Ketua DPW PPP Jakarta periode 1984-1989 ini tampaknya kukuh dalam pendiriannya Orang yang mengaku "banyak ketidakcocokan dengan Pak Naro" ini rupanya siap tempur. Apa katanya? "Kalau kelak Pak Naro masih mendapat dukungan dalam muktamar, konsekuensinya ya saya pasti dicopot." Agaknya Naro memang harus mempersiapkan tameng cukup tebal dan kuat, terutama menghadapi pesaing-pesaing, bahkan dari kalangan DPP sendiri. Seseorang yang semula menjadi rekan dekatnya, Jusuf Syakir, 54 tahun, disebut-sebut bakal muncul menandinginya. Sarjana sastra UGM yang berpenampilan kalem dan mengesankan sebagai pribadi yang tenang ini pernah jadi Sekjen PB HMI. Ketika Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) terbentuk, ia terjun ke dalamnya. Dan ketika terjadi fusi dalam PPP, ia duduk sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai. Jabatan itu disandangnya sejak 1982 hingga kini. Di FPP, ia menduduki kursi wakil ketua. Di DPR, sejak 1978, ia menjadi anggota Komisi VTT. Jusuf tertawa terbahak-bahak ketika ditanya kemungkinannya dicalonkan sebagai pengganti Naro. "Saya tidak mau komentar apa-apa," katanya. Tapi adalah Jusuf pula yang berani terang-terangan menyatakan di depan Naro bahwa hak setiap anggota partai untuk diajukan sebagai calon, sesuai dengan AD/ART, asal ada wilayah yang mencalonkan. Adalah Jusuf pula yang berani minta Naro mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai Wapres. Itu terjadi dalam rapat sampai dinihari di Hotel Sahid, Jakarta, 9 Maret 1988, ketika ramai-ramainya pencalonan Naro sebagai Wapres. Nama lain yang muncul dalam " bursa" calon Ketua Umum PPP adalah Hartono Mardjono, 51 tahun, yang kini menjabat salah satu wakil ketua DPA. Orang Tegal ini memang lahir dari keluarga pergerakan. Ayahnya pendiri Muhammadiyah cabang Tegal, sementara ibunya aktivis Aisyiyah, organisasi wanita Muhammadiyah. Sarjana hukum tamatan UI ini sejak remaja sudah aktif dalam Pelajar Islam Indonesia (PII). Bahkan sempat jadi Sekjen PB PII periode 1960-1962. Sebagaimana istrinya dulu giat di Nasyiatul Aisyiah, organisasi pemudi Muhammadiyah, ia juga giat di Pemuda Muhammadiyah. Bahkan sejak usia 5 tahun ia sudah menjadi anggota Hizbul Wathan, pandunya Muhammadiyah. Dan ketika masih kuliah, ia juga aktivis HMI, dan kemudian ikut mendirikan Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia). Kariernya di Muhammadiyah terus menanjak hingga ia sempat duduk sebagai anggota Majelis Perguruan Tinggi PP Muhammadiyah. Sementara itu, karier politiknya melejit sejak ia terpilih sebagai Ketua MI Jakarta, kemudian Ketua DPW PPP Jakarta pada 1974. Di DPP PPP, kini ia duduk sebagai Wakil Ketua MPP. Pada 1982 terpilih sebagai anggota DPR, dua tahun kemudian pemerintah mengangkat Mas Ton demikian kawan-kawan akrabnya memanggil Hartono -- sebagai anggota DPA. Mengenai kemungkinan pencalonannya sebagai Ketua Umum PPP, "Itu tergantung muktamar nanti," katanya. "Sebab, muktamar yang secara konstitusional akan memberi kesempatan kepada wilayah mengajukan calon-calon mereka." Bagi Hartono, muktamar kali ini bisa menjadi ajang perjuangan antara yang konstitusional dan yang inkonstitusional. "Dan saya menyukai cara konstitusional," katanya lagi. Adalah Hartono pula yang menjadi juru bicara ketika FPP menghadap Presiden Soeharto sebelum acara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun lalu. Dalam hal pencalonan Naro sebagai Wapres, Hartono menyatakan kepada Pak Harto, "Demi kesetiaan saya kepada negara dan bangsa, saya rela melepaskan kesetiaan saya kepada partai." Artinya, ia akan mengusahakan agar Naro mundur. "Itu saya ucapkan dalam bahasa Jawa halus. Orang mengira saya ini dari Solo atau Yogya, padahal saya dari Tegal," katanya tertawa. Tapi memang ada orang asal Solo yang harus diperhitungkan Naro. Dia adalah Chalid Mawardi, 53 tahun, terakhir duta besar di Damaskus. Tamatan School of Journalism di University of Minesota, AS, ini termasuk yang sudah berpengalaman sebagai anggota DPR. Ia duduk di sana seiak 1960 sampai 1984. Kembali dari Dmaskus, 1988, ia aktif di BP7. Pengalaman organisasinya juga segudang. Pernah jadi ketua umum GP Anshor (1980-1986), ia juga pendiri Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia bersama Zamroni dan Mahbub Djunaidi. Di DPP PPP, Chalid pernah menjadi wakil sekjen selama 11 tahun sejak partai-partai Islam berfusi pada 1973. Mengenai pencalonannya sebagai Ketua Umum PPP, Chalid menjawab pendek, "Terserah bagaimana orang memperlakukan saya. Saya tidak punya ambisi atau target untuk muktamar yang akan datang. Tapi sebagai orang partai, saya harus siap menerima keputusan partai." Secara resmi NU memang tidak mencalonkannya. Tapi menurut sumber TEMPO beberapa tokoh yang sangat berpengaruh dalam NU mendukung Chalid Mawardi. Dan agaknya dialah satu-satunya calon dari kelompok NU. Pesaing lainnya, juga asal Solo, adalah Soelastomo, yang pernah menjadi sekjen PPP di masa kepemimpinan Mintaredja, S.H. Jabatan terpenting dalam partai itu ia duduki justru di saat-saat paling menentukan. Ketika itu Naro "membajak" kepemimpinan PPP dari tangan Djarnawi Hadikusumo, dan belakangan berhasil mendapat restu pemerintah. Naro hanya jadi salah seorang ketua, sementara Soelastomo tampil sebagai sekjen. Kandidat lain yang juga disebut-sebut sebagai pesaing Naro ialah Ismael Hasan Metareum, 60 tahun, dekan FH Universitas Tarumanegara, Jakarta. Bekas Ketua Umum HMI (1957-1960) ini mengaku hanya anggota PPP biasa. Tapi di kalangan DPP ia biasa dipanggil "Abu Hasan" atau "Buya Hasan", panggilan tokoh yang karisma keagamaannya kuat. Mengenai kemungkinan dia dicalonkan sebagai ketua umum, Ismail, yang lahir di Kampung Metareum, Aceh, dengan rendah hati menyatakan tidak tahu kalau ada yang mendukung atau mencalonkannya. "Saya sendiri belum berpikir untuk mencalonkan diri atau tidak. Tapi prinsip saya, muktamar nanti harus demokratis, siapa pun nanti yang terpilih," katanya. Ismail, yang bersama Chalid Mawardi, Nuddin Lubis, Soelastomo, dan Wartomo, mempersiapkan anggaran dasar dan program perjuangan PPP pada 1972, setelah partai itu terbentuk, ditugasi merumuskan struktur organisasi dan personalia pengurusnya. Dua kali Ismail berperan dalam Lajnah Pemilihan Umat Islam, pada 1982 dan 1987, yang bertugas menyusun calon-calon PPP untuk DPR/MPR. Dan menghadapi SU MPR 1988 yang lalu, ia tampil sebagai Ketua Tim Pengumpul Bahan. Konsep-konsep yang digodoknya bersama 40 anggota tim lainnya itulah yang kemudian diperjuangkan FPP dalam SU MPR yang lalu. Agaknya, dia pekerja yang lebih sering berperan di belakang layar, hingga sosoknya kurang tampak. Tapi justru tak pernah muncul di permukaan itulah ia harus diperhitungkan.Budiman S. Hartoyo dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini