Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa harus ngotot-ngototan

Fotokopi buku otobiografi presiden soeharto beredar di berbagai cabang PPP di ja-tim & ja-teng. kutipan ucapan presiden tentang pencalonan j. naro sebagai wapres dalam sidang MPR 1988.

15 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Muktamar PPP Agustus mendatang, di berbagai cabang PPP di Jawa Tengah dan Ja-Tim banyak beredar -- entah dari mana asalnya -- fotokopi Bab 100 buku otobiografi Presiden Soeharto yang berjudul Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Bab ini memang menyangkut pencalonan J. Naro sebagai Wapres dalam Sidang Umum MPR 1988. Berikut kutipan dari bab tersebut: ADA sesuatu yang jadi pembicaraan ramai sewaktu berjalannya Sidang Umum MPR 1988 itu, yakni mengenai pencalonan Wakil Presiden. Siapa yang akan diangkat jadi Wakil Presiden RI masa bakti 1988-1993? Saya tegaskan pada semuanya bahwa wewenang untuk memilih dan mengangkat Wakil Presiden ada pada MPR. Saya tidak punya hak untuk memilih apalagi mengangkatnya. Saya tidak menyebut nama menjawab pertanyaan itu. Saya lontarkan kriteria untuk menjadi Wapres. Calon Wapres harus memenuhi lima Kriteria, yakni: bersikap mental dan beridologi Pancasila dan UUD '45, mempunyai integritas pribadi, cakap atau capable, mempunyai prestasi yang dibuktikan dengan karya, dan diterima atau acceptable oleh semua lapisan masyarakat yang dinyatakan dengan dukungan kekuatan sosial politik yang besar dan dominan. Saya memang mendabakan agar Wapres dipilih dengan suara bulat, dengan cara menghindari voting (pemungutan suara), bukan karena tidak setuju voting, karena pemungutan suara memang dibenarkan oleh UUD'45. Tetapi pemilihan Wakil Presiden melalui pemungutan suara membuktikan kurang mampunya menciptakan mufakat, lewat musyawarah dalam mempertemukan perbedaan-perbedaan lewat proses Demokrasi Pancasila, di mana semua dituntut melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa, sanggup mengorbankan kepentingan diri dan golongan untuk memenuhi kepentingan yang lebih besar, terutama kepentingan Negara dan Bangsa. Namun, masalh muncul setelah ternyata ada dua nama diajukan untuk jadi calon Wakil Presiden, yakni Sudharmono, S.H., dan H.J. Naro, S.H. Sudharmono dicalonkan oleh FKP (Fraksi Karya Pembangunan) dan FUD (Fraksi Utusan Daerah) serta didukung oleh FABRI (Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan FPDI (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia). J. Naro dicalonkan oleh FPP (Fraksi Persatuan Indonesia). Dari 1.000 anggota MPR itu, FKP mempunyai 548 anggota, FUD 147, FABRI 151, sedang FPP 93, dan FPDI 61 orang. Dengan itu kelihatan pertimbangannya. Melihat perkembangannya dari mulai Naro secara resmi dicalonkan sampai dengan saya dilantik kembali jadi Presiden, pada 11 Maret '88 pagi, jelas, baik FPP maupun Naro sendiri hanya menggunakan haknya saja tetapi tidak memenuhi kewajibannya. Haknya memang ada untuk mengajukan calon. Tetapi kalau sudah tahu bahwa mungkin ada dua atau tiga calon, hendaknya fraksi memenuhi kewajibannya. Dengan adanya dua calon Wapres, berarti ada perbedaan. Perbedaan calon itu memang dibenarkan. Melalui musyawarah perbedaan itu harus dihilangkan. Setelah adu argumentasi dalam musyawarah, pihak yang memperoleh dukungan kecil harus rela dan segera melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa. Rupanya mereka tetap berpikir secara demokrasi Barat, berarti masih mau hitung-hitungan suara walaupun sudah diperhitungkan akan kalah. Tanggal 10 Maret malam hari datang pimpinan Fraksi PP pada saya, menjelaskan sikapnya seperti apa yang dijelaskan sebelumnya oleh Naro kepada saya. Saya jelaskan kepada mereka apa yang sudah saya jelaskan kepada Naro. Saya katakan, "Saudara-saudara benar tidak salah menanggapi masalh itu. Tetapi saudara-saudara kurang tepat kalau hanya berpegang kepada hak saudara-saudara saja tanpa melaksanakan kewajiban saudara-saudara. Kewajiban kita dalam bermusyawarah, kalau musyawarah kita itu berpegang pada P4, kita harus melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa." "Dengan cara Ngotot-ngototan itu, apa keuntungannya? Dengan cara ngotot begitu FPP masih tetap akan kalah. Kerugiannya FPP yang sudah mengikuti P4 akan nampak, pernah menerima Eka Prasetya Pancakarsa tetapi tidak mampu mempraktekkannya. FPP mempunyai kekuatan yang kecil tapi tidak menghargai pendapat pihak yang besar. Itu bisa berarti pula tidak menghargai kepentingan Negara dan Bangsa." Itulah satu pendapat tentang kejadian ini. Dan malahan ada penilaian, apa benar PPP menerima Pncasila sebagai satu-satunya asa dan menerima Eka Prasetya Pancakarsa, atau hanya satu permaian saja? Dengan demikian, maka berarti PPP itu membuka dirinya untuk selamanya dicurigai, untuk dicurigai terus. Pada tahun 1978 PPP melakukan walk out karena soal P4. Tahun 1983 ia menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang harus dikerjakannya. Nah, disinilah kerugian PPP, PPP menerima diperlakukan sama sebagai kekuatan sospol, tetapi nyatanya membuka pintu untuk tidak mungkin diperlakukan sama. Jadi, bisalah timbul pikiran bahwa PPP itu hanya dalam kertas saja, pura-pura menerima Pancasila secara bulat, tetapi sebenarnya masig dilatarbelakangi idologi lain. Kalau demikian halnya, itu membahayakan PPP sendiri. Fraksi PP hanya terdiri atas 93 orang. Kalau dilakukan voting, bisa saja terjadi ada yang tidak disiplin, menyeleweng dari fraksinya dan mendukung atau berpihak pada yang besar sebagai menunjukan bukti ingin melaksanakan Eka Prasetya Pancakarsa. Kalau sampai itu yang terjadi, FPP akan malu sendiri. Tetapi sebaliknya juga bisa terjadi, yakni FPP bisa menarik suara lain. Kalau ini yang terjadi, ini bisa diartikan membuat goyah fraksi-fraksi lain. Dan kalau itu yang terjadi, bisa timbul curiga-mencurigai di tengah fraksi. Dan kalau sudah curiga-mencurigai, maka bisa-bisa itu menyebabkan pertentangan sampai di dalam masalah politik. Itu bisa berarti mengancam persatuan dan kesatuan kita. Padahal Pancasila itu menghendaki persatuan Indonesia. Dus bisa-bisa dituduh ingin memecahkan persatuan kita. Dan dokrin demikian itu hanya dimiliki oleh komunis. Apakah mereka komunis? Kan tentunya bukan! Itu cuma tambah dicurigai saja, bahwa mereka mempergunakan cara-cara komunis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus