Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUKIRAN terjaga dari tidur lelapnya ketika suara gemuruh itu menderu. Belum sempat dia berpikir, bebatuan keburu menimpa atap rumahnya di Desa Puncu, lereng Gunung Kelud, Kediri, Jawa Timur, Kamis malam dua pekan lalu. Air hujan menggelontor deras dari lubang menganga di atap.
Petir yang menyambar serta gemuruh dari mulut Kelud belum juga membuat pria 90 tahun itu menyadari bahaya. Bersama Poirah, istrinya, ia baru beranjak setelah tetangga-tetangganya berlarian mencari selamat dari letusan Kelud yang susul-menyusul. Pada Jumat dinihari dua pekan lalu itu, di luar rumah, Sukiran kaget melihat bebatuan memenuhi halaman.
Bukannya bergegas mengungsi, Sukiran bertahan di rumahnya yang mungil, berukuran 3 x 4 meter, bersama tiga kambing kesayangannya. "Kalau mau mati, ya, saya mati di sini," katanya dalam bahasa Jawa kepada Tempo di rumahnya, Selasa pekan lalu.
Sukiran menuturkan, istrinya bersama penduduk Puncu lainnya mengungsi ke posko Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, sekitar delapan kilometer dari desanya. Menurut dia, istrinya yang sakit-sakitan dan pikun itu lebih pantas diselamatkan dibandingkan dengan dirinya, yang tak mampu berjalan jauh karena renta.
Puncu memang masuk wilayah gawat. Jaraknya sekitar delapan kilometer dari Kelud. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi melarang penduduk tinggal dalam radius kurang dari 10 kilometer dari gunung yang sedang bergejolak ini. Dalam sehari, gunung setinggi 1.731 meter di atas permukaan laut itu tiga kali meletus. Abunya menyebar hingga wilayah Jawa Barat.
Letusan Kelud kali ini lebih dahsyat ketimbang kejadian 24 tahun silam, tepatnya pada 10 Februari 1990. Padahal kala itu Kelud meletus selama 45 hari terus-menerus. Menurut Sukiran, wilayah Kecamatan Puncu ketika itu hanya terkena hujan abu. Kecamatan Plemahan, berjarak lebih dari 10 kilometer dari Kelud, tempat tinggal Sukiran waktu itu, juga hanya dihujani batu-batu kecil dan hujan abu.
Walau begitu, korban akibat letusan kali ini jauh lebih sedikit. Pada letusan 1990, 33 orang tewas dan 43 terluka. Dua pekan lalu, Kelud membuat tujuh orang meninggal, umumnya karena kecelakaan ketika mereka memperbaiki rumah masing-masing.
Korban jiwa memang nihil, tapi Kelud memporakporandakan Kecamatan Puncu. Rumah penduduk berantakan dan ratusan hektare perkebunan hancur tergilas batu-batu gunung. Walhasil, tanaman kopi, cengkeh, tomat, serta cabai di Desa Mangli mengalami gagal panen. "Letusan Gunung Kelud kali ini yang terparah," ujar Wagirun, 60 tahun, membandingkannya dengan letusan pada 1951, 1966, dan 1990.
Wagirun sedang berjaga di pabrik kopi di Mangli ketika Kelud memuntahkan lahar pertama kali. Tak ada tanda alam yang mencurigakan meski pemerintah telah menetapkan status gunung itu menjadi "awas". Ia sedang sendirian ketika tiba-tiba sebongkah batu mengenai tubuhnya. "Saya mengira ada orang melempar batu." Tak lama berselang, terdengar suara gemuruh dari langit ditingkahi petir menyambar. Puncak Kelud berwarna merah membara.
Hanya beberapa menit berselang, terjadilah hujan batu dan debu gunung. Atap seng pabrik ambruk. Rumah Wagirun di Dusun Margomulyo tertimbun batu disertai pasir setebal 40 sentimeter.
Penduduk di sekitar Kelud seperti tak takut maut. Penghuni Dusun Sumberpetung, Desa Sepawon, Kecamatan Plosoklaten, beraktivitas seperti biasanya, padahal peringatan bahwa Kelud bakal meletus sudah didengungkan. "Hampir setiap hari siaran radionya soal Kelud," kata Widodo, penduduk Sumberpetung, sambil menyulut rokok kretek di rumahnya, Rabu dua pekan lalu. Sekitar 1.500 penduduk menggantungkan pendapatan dari upah menggarap perkebunan swasta di sekitar desa mereka.
Dari siaran radio tadi, Widodo tahu bahwa penduduk Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, dilatih mengungsi untuk berjaga-jaga jika mendadak Kelud meletus. Lewat simulasi, mereka diajari mengantisipasi bencana, termasuk teknik naik mobil penolong. Baik Sepawon maupun Sugihwaras masuk radius berbahaya karena jaraknya 10 kilometer kurang dari puncak Kelud.
Pelatihan penyelamatan dari bencana tak dilakukan di Sepawon. "Tidak ada yang memberi tahu kami," ujar Ketua Rukun Tetangga Dusun Sumberpetung, Suwarno. Sepawon memang terpencil di balik kawasan perkebunan kopi dan kakao milik perusahaan swasta PT Sumber Sari Petung. Selain desa itu jauh dari jalan raya, akses menuju ke sana masih berupa jalan tanah berbatu.
Satu-satunya sumber informasi penduduk adalah seperangkat alat komunikasi Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang dipasang perkumpulan pemuda karang taruna di kantor Desa Sepawon. Sinyal radio milik desa itu terhubung dengan Pos Pemantauan Kelud di Dusun Margomulyo, Desa Sugihwaras.
Melalui radio komunitas, penduduk Sepawon mendapatkan informasi tentang tata cara evakuasi dan mengenali tanda-tanda bahaya. Mereka mesti berlatih sekaligus mempersiapkan sendiri langkah evakuasi. Truk dan mobil bak terbuka milik penduduk disiapkan di pinggir jalan utama desa yang mengarah ke kaki gunung. Tujuannya agar mereka bisa meninggalkan desa lebih cepat kalau Kelud meletus.
Benar juga. Ketika status Kelud dinaikkan menjadi "awas", penduduk cepat bergegas meninggalkan lokasi. Tanpa membawa perlengkapan dan barang-barang, mereka menaikkan anak-anak, perempuan, dan orang lanjut usia ke mobil. Sebagian pemuda masih bertahan di jalanan sambil memeriksa apakah ada yang belum dievakuasi.
Menurut Suwarno, penduduk tak begitu takut menghadapi letusan Kelud karena sudah biasa mengalaminya. Ia mencontohkan, ketika letusan terjadi pada 1990, penduduk Sepawon tak beranjak dari desa. Widodo bahkan menuturkan, ketika gunung meletus dua pekan lalu, "Saya merekam letusan dengan ponsel bersama anggota karang taruna."
Maria Hasugian, Agita, Hari T.W.
Kota-kota Hantu
SEPERTI salju di musim dingin, abu vulkanis Gunung Kelud memutihkan kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Jutaan ton material dimuntahkan gunung yang terletak di Kediri, Jawa Timur, itu pada Kamis malam dua pekan lalu.
Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta-berjarak 200 kilometer lebih dari Kelud-terbungkus rapat dalam abu setebal lima sentimeter. Di kampung-kampung sekitar, semburan melesak ke dalam rumah. Genting-genting ambrol ditimpa hujan pasir-batu selama tiga jam.
Tergopoh-gopoh orang berlari ke pengungsian. Hampir 109 ribu manusia memadati tenda-tenda darurat yang terhampar di Kediri, Tulungagung, Blitar, dan Malang di Jawa Timur....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo