Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keringat bercucuran dari tubuh Untung. Seakan-akan tak kenal lelah, pria 64 tahun itu berulang kali mengayunkan cangkul untuk menggemburkan lahan miliknya. Sendirian, bapak tiga anak dan dua cucu itu mengolah lahan yang terbilang lumayan luas, sekitar 800 meter persegi. Warga Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, ini berencana menanami lahan yang dibelinya 10 tahun lalu itu dengan cabai merah. Kalau beberapa bulan lagi kemarau datang dan tanaman cabainya butuh air, Untung tak risau.
"Di sini airnya bagus, tak pernah kering. Semoga nanti harga cabainya juga bagus waktu panen," kata Untung saat ditemui Tempo, Senin pekan lalu.
Untuk lahan seluas itu, ia menyiapkan sekitar seribu bibit cabai. Bibit-bibit yang baru berdaun tiga itu disimpan di rumahnya. Lantaran lahannya belum siap, saluran irigasi yang mengarah ke lahannya masih ditutup. Jika semua sudah siap, tinggal membuka saluran air dari lahan yang berada di atas tanah miliknya, air pun akan mengalir deras. "Air di sini bersumber dari atas sana, dari hutan bambu. Namanya mata air Sumberdeling," ujar Untung.
Menurut pegiat konservasi dari Sumbermujur, Herry Gunawan, hutan bambu yang berada di lereng sebelah timur Gunung Semeru itu luasnya 14 hektare. Diperkirakan ada sekitar 1.400 rumpun bambu yang tumbuh merimbun di situ. Setiap rumpun bisa berisi 400-500 batang bambu. Satu rumpun bambu diameternya bisa mencapai 2,5 meter.
Tanaman bambu yang kerap disebut sebagai ilalang raksasa itu selama ini dikenal sebagai tanaman yang piawai menyerap air hujan. Jika ditanam dengan berderet di lereng gunung akan membentuk formasi laiknya sabuk. Itu sebabnya ada yang menyebut tanaman bambu sebagai sabuk gunung. Akarnya saling kait dan sangat kuat mengikat tanah. Walhasil, jika di suatu lokasi ada sekian ribu rumpun bambu, seperti di Sumbermujur, bisa dibayangkan betapa mujurnya warga setempat: tanahnya antilongsor plus sumber mata air akan mengocor.
"Keberadaan hutan bambu benar-benar bermanfaat bagi warga di lereng Semeru ini," kata Herry. Tak hanya dipakai untuk mengairi sawah, air sungai dari mata air Sumberdeling juga dimanfaatkan warga Sumbermujur yang berjumlah 6.750 jiwa untuk mencuci dan mandi. "Area hutan bambu seluas 14 hektare itu merupakan lahan milik Desa Sumbermujur," ujar peraih predikat Kader Konservasi Alam Peringkat Terbaik II dari Kementerian Kehutanan pada 2013 ini.
Aslinya, hutan bambu ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Saat itu luasnya hanya 9 hektare. Lalu, pada 2000, dilakukan perluasan lahan sehingga menjadi 14 hektare. Perluasan bisa dilakukan setelah ada pembebasan lahan dengan campur tangan pemerintah Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Lumajang.
Di atas lahan perluasan kini ditanami bambu campuran, yang sebagian besar jenis jajang (Gigantochloa hasskarliana) dan bambu apus (Gigantochloa apus). Sedangkan di hutan bambu yang lama seluas 9 hektare terdapat 20 jenis, termasuk bambu petung (Dendrocalamus asper), baik petung hitam maupun petung hijau. Namun jenis bambu petung terbilang masih sedikit. Jenis bambu ini ditanam belakangan untuk menambal area yang berlubang-lubang. Diameter petung bisa lebih dari 20 sentimeter dengan tinggi bisa mencapai 25 meter. Walhasil, jika dikembangkan, potensi bambu ini menahan tanah dan menyimpan air akan lebih yahud. "Saat ini baru ada dua rumpun bambu petung," kata Herry. "Bibitnya bantuan dari Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Lumajang."
Kondisi hutan bambu di lereng Semeru yang sekarang begitu rimbun tak tercipta dengan sendirinya. Pada 1970-an, kondisi hutan bambu tersebut rusak. Maklum, warga yang belum tahu manfaat konservasi hutan bambu main tebang dan asal potong untuk keperluan membangun rumah dan sebagainya. Saat itu dalam satu rumpun hanya ada 50-150 batang bambu.
Kesadaran muncul setelah debit air di mata air Sumberdeling menyusut. Buntutnya, lahan-lahan sawah mereka kekurangan air. Setelah diteliti, debit air saat itu hanya 300-500 liter per detik. Dari situlah muncul ide untuk memperbaiki hutan bambu agar bisa kembali seperti semula. Sosialisasi kepada warga pun gencar dilakukan. Pada 1990-an, kesadaran warga ihwal pentingnya hutan bambu kian meningkat.
Agar perusakan hutan bambu tak semakin menjadi, lahirlah peraturan desa pada 2000. Isinya larangan bagi semua orang untuk menebang bambu tanpa izin pemerintah desa dan kelompok pelestari sumber daya alam. Pelanggaran terhadap peraturan ini akan dikenai sanksi Rp 50 ribu.
Herry, yang aktif di Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam Kalijambe sejak 1994, bersama 25 anggota tak lelah bergiat melestarikan hutan bambu itu. Setelah kondisi hutan bambu membaik, debit mata air Sumberdeling pun pelan-pelan meningkat. Saat ini rata-rata bisa mengucur 600-800 liter per detik. Selain membuat debit air meningkat, hutan bambu yang rimbun menjadi habitat sejumlah fauna, seperti kera, kalong, dan beragam jenis burung.
"Kera di hutan bambu berjumlah sekitar 100 ekor. Hutan bambu merupakan habitat kera ekor panjang," ucap Herry. Jumlah populasi itu meningkat pesat dibanding pada 2000. Saat itu jumlahnya tak lebih dari 15 ekor. Jumlah kera terus berkurang karena warga gemar memburunya. Setelah warga diberi penyadaran dan perburuan dihentikan, kera-kera itu pun beranak-pinak. Sedangkan untuk kalong, jumlahnya ada ribuan.
Di Kabupaten Lumajang, upaya menghijaukan gunung dengan tanaman bambu juga dilakukan oleh kelompok yang menyebut dirinya Laskar Hijau. Mereka membudidayakan bambu di lereng Gunung Lemongan, Lumajang. Salah satu tokoh penggerak Laskar Hijau, Abdullah Kudus, menyatakan selama setahun terakhir mereka telah menanam 3.000 bibit bambu petung hitam di area itu. Ribuan bibit ditanam di lahan seluas 5 hektare. "Untuk sabuk gunung," kata Abdullah kepada Tempo, Selasa pekan lalu. "Kami berencana menanam lagi 10 ribu bibit petung hitam ini."
Bambu petung hitam, menurut Abdullah, merupakan jenis bambu yang cukup langka. Keberadaannya hanya di empat lokasi, yakni lereng Gunung Semeru, Manggarai di Nusa Tenggara Timur, Afrika, dan hutan Amazon. Bambu petung hitam dinilai memiliki kemampuan konservasi paling baik untuk lingkungan, yakni bisa menyimpan air di dalam batangnya sampai 0,8 meter kubik. Dalam lima tahun ke depan diharapkan bambu petung hitam di Gunung Lemongan sudah membuahkan hasil. "Artinya, bisa muncul mata air," kata Abdullah.
Masih berkaitan dengan kehebatan bambu untuk konservasi, Kepala Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Lumajang Imam Suryadi menyatakan pemerintah Lumajang pun berencana membuat hutan bambu di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, yang juga berada di lereng Gunung Semeru. Di sana ada lahan sekitar 10 hektare yang akan ditanami bambu. Tahun ini 4-5 hektare akan mulai ditanami, sisanya diharapkan tuntas pada 2015. Bibit bambu yang ditanam adalah bambu petung hitam. "Hutan bambu di Sumbermujur, yang bisa menjaga keberadaan mata air, adalah fakta tak terbantahkan tentang manfaat hutan bambu," ujarnya.
Ketua Dewan Bambu Jawa Timur Agung Setiawan mengiyakan ihwal kelebihan bambu. Menurut dia, bambu adalah satu-satunya tanaman yang bisa berfungsi sebagai tandon air. Tanaman ini punya lubang di batang yang akan terisi air ketika musim hujan. Satu batang bambu setinggi 20-24 meter dengan keliling 20 sentimeter bisa menyimpan air hingga 0,56 meter kubik. Jika satu rumpun berisi 70 batang bambu, jumlah air yang terkandung mencapai 39,2 meter kubik. Itu baru yang disimpan dalam batang, belum yang disimpan di bawah akar serabutnya di dalam tanah.
Dengan manfaat bejibun seperti itu, masuk akal jika Agung, Herry, dan Abdullah berharap ada gerakan massal menanam bambu.
Dwi Wiyana, David Priyasidharta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo