DI bawah tatapan mata hakim dan jaksa, Slamet Suradio, 49 tahun, tampak gentar. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Suaranya parau-tersendat. Sesekali, dia memberanikan diri menatap para penegak hukum itu, lalu cepat-cepat merunduk kembali Pegawai PJKA itu, Selasa pekan lalu, dihadapkan sebagai terdakwa pada peristiwa tabrakan kereta api di Bintaro, Jakarta Selatan, 19 Oktober tahun silam. Pada persidangan pertama itu, Slamet urung didampingi pengacara dari LBH Jakarta. Sebagai gantinya, muncul pembela dari Biro Hukum PJKA sendiri. "Dulunya saya minta LBH, tapi saya disuruh mencabutnya karena mau dibela oleh PJKA sendiri," ujar Slamet. Hari itu Slamet tampil sebagai terdakwa bersama tiga kawan sejawatnya, Jamhari, Umriyadi, dan Adung Safei, di dua ruang sidang PN Jakarta Selatan. Berdasarkan berita acara dari kepolisian, jaksa menuduh keempat pegawai PJKA itu dengan pasal-pasal keras. Dakwaan primer memberikan ancaman hukuman seumur hidup, dan dakwaan sekundernya mengancam kurungan lima tahun. "Karena perblatan itu minimbulkan risiko besar, yakni tabrakan kereta," ujar Ismoedjoko, Kepala Kejaksaan Jakarta Selatan. Dalam peristiwa tabrakan kereta api yang terburuk di Indonesia itu, 139 orang tewas. Kerugian materi diperkirakan sekitar Rp 1,9 milyar. Keempat terdakwa itu ditahan polisi, sehari setelah musibah terjadi. Pada kecelakaan itu, Slamet, masinis KA-225 yang melaju dari stasiun Sudimara ke Kebayoran Lama, tulang kakinya patah dan engsel pinggulnya lepas, hingga harus dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Sewaktu dalam tahanan polisi, Slamet disarankan oleh "sejawatnya" di sel agar minta bantuan ke LBH. Slamet setuju. Akhir November lalu, melalui Kasni, istrinya, Slamet memberikan kuasa hukum kepada LBH. Tanggapannya positif. Selama dalam tahanan, di Polres maupun di LP Cipinang, Tim LBH yang diketuai Furqon W. Authon mengunjungi Slamet sampai 12 kali. Namun, sepekan menjelang persidangan pertama, Slamet mencabut surat kuasanya. Pencabutan itu dilakukan setelah Kasni dua kali dipanggil oleh Koensabdono dari Inspeksi Kepala Traksi Stasiun Kota, Jakarta. "Kalau tidak dicabut, taruhannya keluargamu," kata Furqon, menirukan ucapan pejabat PJKA seperti dituturkan Kasni. Beberapa famili dekatnya memang bekerja di PJKA. Bahkan kini Kasni membantu adiknya berjualan nasi di stasiun Tanah Abang. Kasni sendiri menolak menceritakan soal "ancaman" itu. "Saya bisa dimarahi kalau bilang saya ditekan," ujarnya, memelas. Tampaknya, dia dihantui kekhawatiran bahwa nasibnya akan lebih buruk kalau dia banyak "bernyanyi". Tanpa menunggu vonis pengadilan pun, gaji suaminya yang Rp 115 ribu telah terpangkas 50%. Alasannya, menurut PJKA, "Slamet tidak bekerja." Ihwal pemotongan itu telah pula ditanyakan Kasni ke pimpinan PJKA. Tapi jawaban yang dia terima: "Masih untung dapat 50 persen," tutur Kasni mengutip jawaban PJKA. Ibu satu anak ini hanya bisa bersikap pasrah. "Saya orang kecil nggak tahu hukum," ujarnya sambil menyeka air mata. Lain dengan keluarga Jamhari. Kalau bisa leluasa memilih, mereka lebih suka meminta bantuan hukum dari pihak luar, LBH misalnya. Nawawi, kakak kandung Jamhari, memang khawatir, pembela dari PJKA itu tak berdiri di tengah. "Kalau mereka mau merinankan, saya salut. Tapi saya sangsi, jangan-jangan malah memberatkan," ujarnya. Nawawi waswas, hadirnya pembela dari dalam itu hanyalah sebuah uktik. "Agar atasannya terbebas dari kasus ini," tambahnya. Sayang, pihak PJKA tutup mulut dalam soal ini. Namun, terdengar kabar, PJKA tak menghendaki pembela luar, antara lain karena menganggap pihak luar tak mudah memahami soal reglement perkeretaapian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini