Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tikar digelar, dan bongkar ...

Sekitar 50 wanita demonstrasi di kampus universitas sumatera utara (usu), Medan. jalan utama kampung susuk ditembok. para pengunjuk rasa dihalau dengan gas air mata. kegiatan belajar mengajar terganggu.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEMONSTRASI terjadi di kampus Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Tapi, sungguh, ini bukan demonstrasi mahasiswa seperti di kampus-kampus yang lain. Pengunjuk rasa yang harus menghadapi bom gas air mata dan "buldozer" mobil petugas keamanan, Kamis pekan lalu, itu adalah para ibu rumah tangga. Sekitar 50 wanita melancarkan protes atas penutupan pintu -- untuk ketiga kalinya -- Jalan Abdul Hakim yang membelah kampus USU. Kebetulan, jalan itu menjadi pintu utama bagi warga Kampung Susuk, Kelurahan Padang Bulan Selayang I, di balik tembok USU, tempat tinggal wanita demonstran, tadi. Kalau USU membuntu lubang tembok itu, maka warga Kampung Susuk mesti memutar empat kali lebih jauh ke jalan utama. Maka ketika para buruh bangunan bersiap-siap menutup lubang tembok "gerbang" kampung -- yang dihuni 110 kepala keluarga -- para ibu itu marah. Mereka membawa tikar ke luar rumah dan menggelarnya di sekitar pintu. Lantas unjuk rasa pun mulai mereka lancarkan, dengan duduk-duduk dan sebagian berdiri. Mereka meneriakkan yel-yel, "Jangan tutup pintu kami ini, Kawan !" Aksi diikuti pula corat-coret di sekitar lubang tembok. Para ibu itu seolah tak gentar menghadapi sedikitnya 30 petugas yang menjaganya -- bersenjata lengkap dari empat kesatuan. Dengan pelan-pelan, dua mobil diluncurkan ke arah ibu-ibu yang lesehan di tikar. Namun mereka tetap tak bergeming. Ibu-ibu serempak bangkit dan ramai-ramai mendorong balik mobil itu. "Lebih baik kami mati di sini daripada kalian tutup pintu masuk kami ini," teriak wanita-wanita itu. Tanda-tanda keberingasan massa mulai nampak, sampai akhirnya aparat keamanan, melemparkan tiga bom gas air mata. Demonstran bisa dihalau. Namun, ternyata ibu-ibu itu pantang menyerah. Pengunjuk rasa lantas mengubah sasaran yaitu Rektor USU, Prot.Dr. M. Jusuf Hanafiah. Di depan Biro Rektor, sekitar 50 ibu tadi duduk, dan bahkan ada yang tiduran di emperan pintu masuk Biro Rektor. Tuntutan mereka kukuh, yaitu agar lubang tembok jangan ditutup. Mereka baru bubar setelah ditemui Pembantu Rektor II Syamsul Bachri. Namun para ibu -- sepulang pertemuan -- sangat kaget. Gerbang Kampung Susuk sudah dibeton setinggi satu meter. "Bongkar itu," teriak mereka, setengah histeris. Dengan serentak ibu-ibu itu merobohkan tembok yang masih basah. Menurut kisah warga Susuk, sejak 1949 mereka bermukim dan mencari nafkah di wilayah Kampung Susuk. Delapan tahun kemudian, atas anjuran Panglima Teritorium Letkol. Jamin Ginting, masyarakat menyerahkan tanahnya untuk kampus USU. Tetapi, kata Nande Arisan beru Ginting, 52 tahun, salah seorang warga. Jalan Adul Hakim yang bikin heboh itu masih tetap jadi milik warga kampung. "Hanya itu satu-satunya jalan ke luar sejak 1950, dan tak pernah kami jual," ujar Nande. November tahun lalu ada kesepakatan: jalan itu diperkecil sehingga hanya cukup untuk becak. "Kesepakatan itu ditandatangani di atas segel, antara pihak USU dan masyarakat Susuk," ujar Alamsyah Sinurat, juru bicara mereka. Pihak USU juga berjanji akan mengalihkan jalan umum itu ke luar kampus yang memang lebih jauh. Apa alasan USU menutup tembok? Menurut Rektor Jusuf, jalan ditutup demi keamanan. Di kampus yang dibelah jalan pintas untuk umum itu tersimpan peralatan yang mahal. "Jadi, penutupan jalan itu sudah mendesak, untuk pengamanan alat-alat berharga milyaran itu," kata Jusuf. Juga, katanya, adanya jalan umum itu bisa mengganggu ketenangan mahasiswa yang belajar. "Kampus, jangan sampai bising akibat lalu lintas umum," kata Jusuf kepada TEMPO.Bunga Surawijaya (Jakarta) dan Sarluhut Napitupulu (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum