Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH lama sepak terjangnya tak terdengar, Fuad Bawazier tiba-tiba berada di sebuah pesantren di Bangkalan, Madura, Jumat dua pekan lalu. Di sana anggota MPR dari Partai Amanat Nasional itu bertemu dengan K.H. Fuad Amin Imron, yang memimpin pesantren itu. Ini tak biasa. Kalangan santri dan kiai di Bangkalan jelas bukan simpatisan partainya. Mereka umumnya pendukung Partai Kebangkitan Bangsa.
Ada apa? Bekas Menteri Keuangan itu tak mau berterus terang. Ia cuma mengatakan ia mengadakan lawatan ke Bangkalan untuk berziarah ke makam Kiai Cholil, kakek Fuad Amin. "Tak ada maksud lain," katanya. Lagi pula, "Saya datang karena diundang."
Kebetulan, Fuad Amin memang punya acara di pesantrennya yang bernama Seikhona Cholil. Ia sedang menyelenggarakan haul keenam ibunya, almarhumah Nyai Aminah Binti Abdul Halim. Dalam perhelatan ini pula, Fuad Bawazier bisa bertemu dengan kiai-kiai penting lainnya di Madura seperti K.H. Amin Cholil, K.H. Yusuf Nasir, K.H. Imron Abdul Fattah, K.H. Imam Bukhoiri, dan K.H. Abdul Anam.
Hanya, lawatan Bawazier itu tetap menyedot perhatian para politisi di Jakarta. Maklum, selama ini ia dikenal sebagai politisi yang lincah dan lihai. Aktor politik yang cukup dekat dengan Ketua Umum PAN Amien Rais ini menjadi salah satu aktor di balik tampilnya Abdurrahman Wahid menjadi presiden tiga tahun silam. Tapi, ia pula yang kemudian ikut mendongkel Abdurrahman dua tahun kemudian.
Adalah kalangan NU sendiri yang mencium misi di balik kunjungan. Mereka mengaitkannya dengan persiapan politik untuk pemilihan presiden langsung pada 2004. Kebetulan PAN telah menyiapkan Amien Rais sebagai calonnya. Mendekati para santri dan kiai, kata sumber TEMPO di kalangan NU, sangat penting untuk mengeruk suara di Madura. "Jadi, mungkin saja Bawazier sengaja diutus Amien ke sana," ujarnya.
Fuad Bawazier mengelak tafsiran tersebut. "Itu terlalu jauh," katanya. Tapi lelaki bersuara renyah ini mengakui, soal pemilihan presiden secara langsung sempat dibicarkan dalam pertemuan dengan para kiai. "Saya katakan, tahun 2004 adalah pertama kali pemilihan langsung. Maka, rakyat harus memilih pemimpin nasional yang bagus, yang bisa memberikan harapan lebih dari pemimpin yang sekarang ini," tuturnya kepada TEMPO.
Kunjungan Bawazier, menurut sumber TEMPO, juga sebagai upaya untuk menyembuhkan luka setahun lalu, saat Abdurrahman Wahid dihajar dengan skandal dana Bulog I. Kasus inilah, bersama dengan skandal dana bantuan Sultan Brunei, yang membuat Presiden Abdurrahman Wahid akhirnya jatuh. Bukan main marahnya kalangan NU dan PKB. Ini membuat hubungan Muhammadiyah dengan NU pun retak. Koalisi antara PAN dan PKB pun rontok.
Kemarahan orang NU cukup masuk akal. Soalnya, seusai Pemilu 1999 lalu, Fuad Bawazier dan orang-orang PAN-lah yang membujuk para kiai agar merelakan Abdurrahman Wahid tampil menjadi presiden. Saat itu sejumlah kiai, termasuk Kiai Abdullah Faqih dari Tuban, semula kurang setuju Gus Dur maju, kendati akhirnya merestuinya.
Kini politik telah berubah banyak. Sebetulanya sudah lama ada upaya untuk memulihkan hubungan antara kalangan NU dan Muhammadiyah. Beberapa bulan silam juga sempat terdengar rencana pertemuan antara Abdurrahman Wahid dan Amien Rais, walau sampai sekarang tidak sampai terwujud. Rupanya, orang-orang Amien memilih bergerilya langsung ke kantong NU.
Menurut sumber TEMPO di Muhammadiyah, sekarang pihaknya lebih banyak berhubungan dengan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi. Soalnya, Abdurrahman sudah tidak punya posisi penting lagi di organisasi kaum nahdliyin ini. Bahkan, kata sumber ini, bukan tidak mungkin Amien dan Hasyim akan diduetkan se-bagai calon presiden dan wakilnya.
Cuma, menurut Kiai Fuad Amin, Hasyim Muzadi tidak tahu-menahu ihwal kunjungan Bawazier itu, apalagi skenario di balik gerilya politik di Bangkalan tersebut. "Pesantren itu kan mandiri. Untuk menerima tamu, saya tidak perlu meminta restu Pak Hasyim," katanya.
Kalangan PAN juga mengelak adanya misi dan skenario politik di balik pertemuan di Bangkalan. Menurut Alvin Lie, tokoh partai ini, langkah Fuad Bawazier lebih bersifat silaturahmi pribadi. "Kalau ada tujuan politik, ya, sebatas me-rukunkan lagi antara kalangan Muhammadiyah dan NU," ujarnya.
Mungkin makna langkah Fuad Bawazier baru akan jelas pada 2004 nanti. Siapa tahu, gerilya di Bangkalan itu merupakan isyarat awal dari pergeseran politik di kemudian hari.
M. Taufiqurohman, Adi Prasetya, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo