Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Saat ini penyusunan PPHN sudah masuk tahap perampungan dan perampingan draf naskah PPHN.
Penyusunan substansi PPHN ditargetkan selesai pada April mendatang.
Dasar hukum PPHN lewat ketetapan MPR ataupun undang-undang tetap membutuhkan amendemen UUD 1945.
JAKARTA – Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah menuntaskan kajian Pokok-pokok Haluan Negara atau PPHN dan penataan lembaga MPR. Kajian PPHN itu mengarah pada rencana amendemen UUD 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Badan Pengkajian MPR, Hendrawan Supratikno, mengatakan saat ini penyusunan PPHN sudah masuk tahap perampungan dan perampingan draf naskah PPHN. Ia mengatakan draf PPHN tersebut akan segera diteruskan ke tim perumus yang akan dibentuk Badan Pengkajian MPR. Proses ini diagendakan bisa segera rampung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini berdalih, penyusunan PPHN tersebut tak perlu dikaitkan dengan amendemen UUD 1945. Sebab, sejak awal Badan Pengkajian tidak berpijak pada asumsi perlunya amendemen konstitusi.
"Yang terjadi, tugas-tugas Badan Pengkajian MPR yang dimulai pada 2022 justru lebih bertolak dari asumsi dan persepsi bahwa tidak akan ada amendemen konstitusi," kata Hendrawan, Selasa, 15 Maret 2022.
Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan penyusunan substansi PPHN itu ditargetkan selesai pada April mendatang. Ia mengatakan ada tiga pilihan yang diajukan Badan Pengkajian sebagai landasan PPHN, yaitu amendemen UUD 1945, ketetapan MPR yang juga mengharuskan amendemen terbatas, dan lewat undang-undang. "Kami harus mengkaji secara lengkap tiga bentuk hukum tadi," kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini, Senin lalu.
Kajian PPHN ini merupakan rekomendasi MPR periode 2014-2019. Saat itu, MPR mengusulkan untuk menghidupkan kembali PPHN, yang sebelumnya terdapat dalam UUD 1945 dengan sebutan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tapi kemudian dihapus lewat amendemen ketiga pada 2001. MPR pun mengajukan tiga cara untuk membuat PPHN, yaitu lewat amendemen konstitusi, ketetapan MPR, dan berbentuk undang-undang.
Rekomendasi itu disikapi MPR periode 2019-2024 dengan melakukan pengkajian yang melibatkan banyak kampus. Pengkajian itu tidak hanya menyangkut urusan PPHN, tapi juga rencana penguatan kewenangan MPR.
Sejumlah kampus diminta mengkaji urusan PPHN dan penataan kewenangan MPR. Kampus itu di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Brawijaya, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Jenderal Soedirman. Pendapat kampus tersebut terbelah. Sebagian sependapat menghidupkan kembali PPHN dan menguatkan kewenangan MPR lewat amendemen UUD. Sebagian kampus lagi menolaknya.
Kajian berbagai kampus itu sudah dipublikasikan di situs web Badan Pengkajian MPR. Fakultas Universitas Airlangga, misalnya, menyimpulkan bahwa gagasan menghidupkan kembali haluan negara harus dilandasi tujuan menyediakan kerangka pembangunan nasional yang komprehensif. Meski begitu, mereka tidak mempermasalahkan PPHN diadakan kembali serta pemberian kewenangan MPR membuat ketetapan MPR.
"Pilihan bentuk hukum haluan negara dapat dituangkan dalam bentuk ketetapan MPR atau undang-undang, tapi keduanya tetap memerlukan perubahan UUD 1945," demikian kajian tersebut mengungkapkan.
Argumen berbeda disampaikan tim Fakultas Hukum UGM. Mereka menilai agenda mengembalikan kewenangan MPR dan membentuk GBHN tak memiliki dasar yang kuat. Pertimbangannya, tak ada keselarasan antara sistem presidensial dan model GBHN yang memberikan peran kuat kepada MPR.
Tim UGM juga menilai kewenangan MPR untuk membuat ketetapan MPR tak memiliki dasar hukum yang kuat. Apalagi setelah amendemen, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara dan hal itu berpengaruh pada wewenang yang dimiliki MPR.
"Pemberian kewenangan membentuk ketetapan MPR dapat dikatakan memiliki kecenderungan untuk mengembalikan parliamentary heavy yang ada sebelumnya dan justru tidak sesuai dengan konsep dan semangat purifikasi sistem presidensial," kata tim UGM.
UGM juga tak sependapat dengan pemberian kewenangan MPR untuk menafsirkan konstitusi. Tim kajian UGM berpendapat, kewenangan itu harus dihindari demi kepentingan MPR itu sendiri, misalnya kesulitan melakukan penafsiran.
Adapun kajian Universitas Jenderal Soedirman menilai kewenangan membuat ketetapan MPR bisa diberikan kepada MPR. Meski begitu, ketetapan MPR harus dibatasi hanya pada urusan yang berhubungan kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan dan kerangka menampung kebiasaan ketatanegaraan.
Peneliti bidang hukum di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Fernandez, mengatakan hingga saat ini bentuk PPHN masih terlihat seperti GBHN pada masa Orde Baru, yang tidak mungkin lagi diadopsi dalam konteks sistem presidensial. Apalagi, kata dia, rencana menghidupkan PPHN berbarengan dengan agenda penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
"Ketika bola liar ini dibiarkan, dapat dipastikan bahwa momentum ini akan dimanfaatkan untuk mengegolkan niat untuk menambah masa jabatan tersebut," kata Hemi, kemarin.
Hemi menganggap jalur amendemen terbuka lebar meski MPR belum memutuskannya. Sebab, keinginan memperkuat kewenangan MPR hanya bisa dilakukan lewat amendemen UUD 1945. Karena itu, ia menyarankan MPR tak perlu membuka pintu amendemen karena berpotensi mengubah pasal-pasal lain jika disepakati oleh mayoritas peserta sidang.
Denny Indrayana. Dok. TEMPO/Fakhri Hermansyah
Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menguatkan pendapat Hemi. Denny mengatakan penguatan MPR tak diperlukan saat ini. Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini mengatakan MPR justru seharusnya membatasi kekuatan dan menguatkan pemberantasan korupsi jika tetap memaksakan amendemen konstitusi yang kelima. Misalnya, kata dia, menempatkan KPK sebagai organ konstitusi agar tak mudah diutak-atik atau menambahkan constitutional complaint dalam UU Mahkamah Konstitusi.
Denny berpendapat, rencana amendemen konstitusi untuk menghidupkan PPHN ini berpotensi menjadi bola liar di tengah agenda perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode ataupun penundaan pemilu. "Hentikanlah ikhtiar yang tak membawa manfaat ini. Mari fokus saja melaksanakan Pemilu 2024," kata dia.
EGI ADYATAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo