Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI "berpagar gedung raya", Jembatan Merahyang diangkat Gesang menjadi judul salah satu lagunyamasih bisa bertahan sebagai "batu penanda" Kota Surabaya. Penjara Kalisosok tampaknya tak. Walau terkesan kukuh, sejak tiga tahun lalu bangunan berusia dua abad di lahan seluas 3,5 hektare itu malah dikosongkan, dibiarkan melompong. Temboknya gugur sedikit demi sedikit. Tiang-tiang besinya dimakan karat.
"Ada yang mau menyulap Kalisosok menjadi mal," kata Tondojekti, Kepala Badan Pembangunan Kota Surabaya. Belum pasti, memang. Tetapi, peluang menyulap Kalisosok menjadi mal tak juga bisa dibilang isu belaka. Terbetik kabar, penjara kuno itu kini sudah beralih tangan melalui proses tukar guling dengan PT Fairco Jaya Dwipa, sebuah perusahaan di Jakarta.
Ada yang ganjil di sini. Sebab, lima tahun lalu Penjara Kalisosok ditetapkan sebagai cagar budaya bersama 162 bangunan lainnya, melalui surat keputusan Wali Kota Surabaya, Soenarto Soemoprawiro. Keberadaannya dilindungi Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Konservasi Peninggalan Bersejarah dan Cagar Budaya.
Kini Pemerintah Kota Surabaya membentuk tim pelestarian cagar budaya untuk mengkaji rencana pengalihfungsian Penjara Kalisosok. Pasalnya, dua pekan lalu mendadak muncul permohonan dari PT Fairco untuk "menyulap" penjara bentukan Daendels itu menjadi mal enam lantai. "Kami belum bisa mengambil keputusan karena sedang menelitinya," ujar Tondojekti.
Tapi, sepertinya hajat itu bakal terlaksana. Semua narapidana, sipir, dan karyawan lain telah diboyong ke Dusun Macanmati, Porong, Sidoarjo. Mereka kini menempati gedung yang lebih perlente dan berfasilitas modern. Menurut Kepala Seksi Informasi Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan HAM Jawa Timur, Imam Djauhari, gedung tua itu memang telah dijual ke pihak swasta dengan sistem tukar guling (ruilslag) senilai sekitar Rp 25 miliar pada 1994.
Tak banyak orang tahu, siapa yang punya ide menjual Kalisosok. Menurut Imam Djauhari, proses pelepasan Kalisosok diperkirakan dirintis sejak 1994, semasa Menteri Kehakiman dijabat Oetojo Oesman. "Wong pada tahun 1995 telah dimulai persiapan teknisnya," Imam menjelaskan. Dan untuk Surabaya, Kalisosok bukanlah yang pertama. Sebelumnya pelajaran penting diperoleh dari Stasiun Semut, yang juga telah dikuasai swasta.
Ketika dibongkar beberapa bulan lalu, warga Surabaya ribut karena Stasiun Semut berstatus bangunan konservasi. Tak sekadar tua, stasiun ini juga punya nilai arsitektur dan salah satu penanda penting perkembangan Kota Surabaya semasa kolonialisme Belanda. Stasiun Semut juga menyimpan kenangan heroik pertempuran 10 November 1945. Alhasil, karena membongkar tanpa izin, investor dan pejabat kereta api berurusan dengan polisi.
Tak begitu jelas mengapa Departemen Kehakiman melego Penjara Kalisosok ke tangan investor. "Pelaksanaan ruilslag seluruhnya ditangani Jakarta," kata Imam. Ia hanya menerangkan, penjara tua itu dinilai tak memadai lagi. Misalnya, para karyawan tak lagi berumah dinas di sekitar Kalisosok seperti digariskan undang undang. "Selain itu, Penjara Kalisosok tak sesuai dengan tata ruang Kota Surabaya, yang meniadakan penjara di tengah kota."
Alasan lain, menurut Imam, tata letak bangunan penjara telah kocar-kacir. Lorong-lorong tak lagi lurus sehingga menyulitkan pengawasan terhadap para napi. Apalagi penjara itu hanya dijaga sekitar 200 sipir yang dibagi dalam empat shift. Tapi, tukar guling itu bukannya tanpa perlawanan. Pada Januari 2000, di tengah persiapan pemindahan Kalisosok ke Sidoarjo, hampir semua karyawan menolak keras rencana itu.
Selain keberatan atas uang pemindahan dan permukiman dinas yang dinilai tak memadai, para sipir juga mempersoalkan nasib bangunan Kalisosok yang bakalan terbengkalai. "Kami khawatir Kalisosok tak terawat di tangan investor, atau malah dirobohkan untuk diganti bangunan baru," ujar seorang bekas sipir yang saat itu ikut menggalang gerakan. Di tengah gerakan perlawanan itu, eh, diam-diam muncul upaya meredam aksi.
Sumber TEMPO itu mengaku ditawari cek, menginap di hotel, atau fasilitas lain, asal segera menghentikan gerakan para sipir. "Tapi semua itu tidak saya terima," katanya. Kemudian terbukti, gerakan para sipir itu kandas. Secara bergelombang, mereka dipindahkan ke area penjara baru yang menempati lahan seluas 17 hektare, sejauh 35 kilometer dari lokasi lama.
Proses ruilslag juga sempat menerbitkan kecurigaan terjadinya kongkalikong antara pejabat dan investor. Pada 7 Maret 2000, Kepala Penjara Kalisosok, Sugeng Handrijo, diperiksa Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Padahal ia pejabat baru di situ. "Keliru memeriksa saya," ujarnya ketika itu. Lalu, kasus itu lenyap ditelan waktu.
Belakangan, persoalan tukar guling Penjara Kalisosok mencuat lagi setelah PT Fairco berhasrat membangun pusat perbelanjaan di kawasan itu. "Saya peringatkan investor, sebelum ada rekomendasi dari tim pelestarian cagar budaya Pemerintah Kota Surabaya, jangan sekali-kali mengubah sedikit pun Penjara Kalisosok," ujar A.H. Thony, anggota DPRD Surabaya yang membidangi masalah cagar budaya. "Bila sampai dilanggar, hukum yang akan bicara." Dia mengingatkan, investor malah berkewajiban merawatnya. "Jika tidak sanggup, kembalikan kepada negara dan akan diganti sebesar nominal yang dia keluarkan," kata Thony.
Sugeng Gunadi, pengamat arsitektur dari Institut Teknologi Surabaya, mengingatkan, jika Kalisosok akan direvitalisasi, ada beberapa bagian yang harus dilestarikan. Pertama, bangunan bagian depan yang bergaya arsitektur klasik. Kedua, ruangan compagnie school yang dibangun dengan konstruksi baja di awal masa Revolusi Industri Eropa. Ketiga, bangunan penjara bertingkat dua yang masih asli peninggalan Belanda.
"Ada banyak contoh di Eropa tentang revitalisasi bangunan-bangunan kuno yang tidak mengubah fisik dasar, tapi bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masa kini," kata Sugeng. Ia lalu menunjukkan gambar bekas tobacco docks di London, yang disulap menjadi pusat perbelanjaan dengan tetap mempertahankan gaya arsitektur aslinya.
Sejauh ini, tak banyak catatan sejarah yang mempublikasi Kalisosok. Padahal ia saksi bisu yang selalu menyertai gelombang perjalanan rezim demi rezim di negeri ini, berikut karakter kekuasaannya. Kalisosok juga tak hanya penjara tempat "mendidik" penjahat agar menjadi baik, tapi juga tempat penundukan politik berikut pemusnahannya.
Dalam bukunya, Soerabaia Tempo Doeloe, Dukut Imam Widodo menerangkan bahwa Kalisosok adalah proyek monumental Gubernur Jenderal Herman Williams Daendels, seperti juga pembangunan jalan dari Anyer ke Panarukan.
Kalisosok dibangun pada tahun pertama kekuasaan Daendels, tepatnya 1 September 1808, dengan biaya 8.000 gulden.
Menilik rentang waktu yang hanya sembilan bulan sejak Daendels berkuasa, agaknya Kalisosok merupakan prioritas dalam pemerintahan Daendels. Dugaan itu makin diperkuat oleh latar belakang Daendels sebagai sarjana hukum. Mudah diduga, Kalisosok menjadi bagian terpenting upayanya menundukkan kekuatan-kekuatan lokal di Hindia Belanda.
Pada masa pergerakan politik melawan kolonialis Belanda hingga pendudukan Jepang, Penjara Kalisosok menjadi saksi jatuh-bangunnya para aktivis politik. Menurut Aminuddin Kasdi, guru besar sejarah Universitas Negeri Surabaya, pendiri dan pemimpin Sarekat Islam, Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pernah ditahan di Kalisosok. "Pak Tjokro ditangkap Belanda saat mengkhitankan anaknya, Harjono Tjokroaminoto," katanya.
Pada zaman pendudukan Jepang, sekitar 54 aktivis pemuda ditangkap, di antaranya Pamudji, Sukayat, Sudarta, Asmunanto. Mereka adalah aktivis jaringan Geraf (Gerakan Anti-Fasis), gerakan bawah tanah yang dimotori Tjipto Mangunkusumo. Termasuk di dalamnya Amir Syarifuddin, yang pernah menjadi perdana menteri dan korban dalam Peristiwa Madiun 1948.
Di mata warga nahdliyin, Kalisosok juga menjadi saksi keteguhan pendiri NU dan Rois Akbar K.H. Hasyim Asyari dalam memegang prinsip Islam. Karena menolak melakukan seikeraimembungkuk ke arah matahari terbitsebagai tanda penghormatan kepada Kaisar Jepang Teno Heika, K.H. Hasyim Asyari dijebloskan ke Kalisosok.
Adi Prasetya, Adi Sutarwijono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo