Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memburu Aset di Bawah Bantal

Amerika membekukan aset para teroris. Tapi di sini ada masalah karena terbentur kerahasiaan bank.

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA tahun sudah Amerika Serikat berburu teroris di seluruh dunia. Ratusan orang ditangkap, rezim di Afganistan dan Irak sudah dihajar. Tapi perburuan itu belum juga berakhir. Sepekan menjelang peringatan peristiwa 11 September 2001, pemerintah Amerika mengumumkan pembekuan aset sepuluh anggota Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok ini disebut PBB sebagai organisasi teroris Asia Tenggara. Pengumuman itu dikeluarkan Menteri Keuangan Amerika Serikat, John Snow, di Bangkok, Thailand, menjelang pertemuan Forum Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), Jumat 5 September lalu. Nun di pelosok Madiun, Jawa Timur, ibu tua Rukhanah hanya tersenyum mendengar kabar itu. "Rekening saya di Bank Rakyat Indonesia Madiun sekadar untuk mengambil uang pensiun," kata pensiunan guru Madrasah Aliyah Negeri ini kepada Dwidjo U. Maksum dari Tempo News Room. Anak sulungnya, Fathur Rohman al-Ghozi, adalah satu dari sepuluh teroris yang disebut Amerika itu. Sembilan lainnya adalah Yasin Syawal, Imam Samudra, Muchlas, Parlindungan Siregar, Aris Munandar, Agus Dwikarna (Indonesia), serta Mukhlis Yunos (Filipina) dan Abdul Hakim Murad (Pakistan). Goci, begitu Rukhanah memanggil Al-Ghozi, ditangkap di Filipina pada 22 Januari 2002, tapi kemudian kabur dari penjara, pertengahan Juli lalu. Di kediamannya di Desa Mojorejo, Madiun, wanita berkerudung ini hidup bersama ibu dan seorang putrinya. Suaminya, ayah Goci, meninggal 20 Mei 2003. Dalam ruang tamu rumah ini hanya ada seperangkat meja kursi warna cokelat yang selubungnya sudah mengelupas di sana-sini, dan sebuah televisi hitam putih. Ny. Rukhanah heran atas pengumuman Amerika itu. "Selama ini saya tak pernah mendapat kiriman uang atau apa pun dari anak saya," katanya. Di Tenggulun, Lamongan, keluarga Muchlas juga tak habis pikir, harta apa gerangan milik mereka yang akan dibekukan. Pasangan Nur Hasyim dan Tariyem, orang tua trio Tenggulun—tiga bersaudara pelaku bom Bali: Muchlas, Amrozi, dan Ali Imron—hanya menempati rumah berdinding kayu. Di rumah itu pula, Amrozi bersama istri dan anaknya pernah tinggal. Selain Nur Hasyim dan Tariyem, di rumah itu juga tinggal Faridah, istri Muchlas, bersama enam anaknya. Baru dua bulan perempuan Singapura ini melahirkan anak bungsunya. Ia memberinya nama: Osama. Di rumah berubin tegel ini hanya ada sebuah televisi, kipas angin, dan sebuah kulkas. Tidak ada kursi tamu, kecuali sebuah bangku kayu yang letaknya berimpit dengan salah satu dinding kamar rumah. Ruang tamu rumah ini lebih banyak digunakan untuk membaringkan Nur Hasyim yang sedang sakit keras. Ustad Mohammad Khozin, anak sulung Nur Hasyim, menjelaskan bahwa kehidupan Muchlas dan Farida jauh dari cukup. "Di Malaysia, ia kan tidak bekerja. Dia pengajar pondok. Penghasilannya ya pas-pasan saja," kata Khozin kepada Sunudyantoro dari Tempo News Room. Sejak Muchlas ditangkap, anak-istrinya hanya bergantung pada dua petak sawah Tariyem. Sawah itu kini meranggas karena kekeringan melanda sebagian besar Pulau Jawa. Karena itu Khozin heran, Amerika hendak membekukan aset Muchlas. "Mau membekukan rekening yang mana? Saya tidak pernah tahu bahwa Muchlas punya rekening," katanya. Adapun istri Agus Dwikarna, Suriani Agus, terbilang hidup lumayan meski sang suami masih mendekam di penjara Filipina. Sejak Agus Dwikarna ditangkap di bandara Manila pada 13 Maret 2002, Suriani menjalankan bisnisnya sendiri, usaha makanan lewat Surya Catering Mandiri dan toko butik busana muslim, Surya Butik Mandiri. Usaha ini dijalankannya di rumahnya di Jalan Hertasning Raya Timur, Makassar, Sulawesi Selatan. Ibu lima anak ini memang harus bekerja keras. Empat nomor rekening Agus Dwikarna di bank tak bisa ia tarik. "Itu hasil usaha kami bertahun-tahun, bukan dari Jamaah Islamiyah," kata Suriani kepada Muannas dari Tempo News Room. Suaminya memang memiliki rekening tabungan di BCA, ABN Amro, Bank Permata, dan Bank Muamalat. Menurut Suriani, ia baru tahu rekening itu dibekukan setelah tagihan pulsa telepon genggam satelit suaminya tiba di rumahnya, Desember 2002. "Semua tagihan itu biasanya dibayarkan secara autodebet melalui bank," katanya. Ia kemudian bertanya ke bank, tapi jawabannya singkat: rekening atas nama suaminya telah diblokir, entah atas permintaan siapa. Hingga kini dia sendiri tidak tahu alasannya. Sayangnya, tak semua nomor rekening yang dibekukan itu benar-benar tabungan Agus pribadi. Rekening di Bank Muamalat, misalnya, adalah milik Komite Penanggulangan Dampak Krisis (Kompak), lembaga sosial yang dipimpin Tamsil Linrung. Agus adalah Ketua Kompak Sulawesi Selatan. Suriani enggan menyebut jumlah uang di rekening suaminya, tapi pengacara Agus Dwikarna, Abraham Samad, memperkirakan isinya sekitar Rp 15 juta. "Sayangnya, tidak ada penjelasan apakah rekening itu diblokir karena kesalahan bank atau memang merupakan pesanan Amerika," kata Abraham. Rekan Agus di Solo, Aris Munandar, bahkan tidak jelas keberadaannya hingga kini. Ketua Kompak Jawa Tengah ini tak pernah muncul lagi sejak namanya disebut-sebut Amerika memfasilitasi rekrutmen dan pelatihan anggota Jamaah Islamiyah dan Al-Qaidah di Indonesia. Alumni pesantren pimpinan Kiai Abu Bakar Ba'asyir, Ngruki, Solo itu diketahui tinggal di sebuah rumah kecil bercat putih di kompleks Perhutani, kawasan Kartasura, Solo. Di rumah itu kini hanya ada plang praktek Dokter Ida Kurniawati, istri Aris Munandar. "Sudah setahun lebih saya tidak mendengar nama itu," ujar Bambang Sutejo, ketua RT setempat, kepada Imron Rosyid T.R. dari Tempo News Room. Rumah Aris tidaklah mewah. Di garasi rumah hanya ada sebuah sepeda motor bebek keluaran lama. Sepeda motor inilah yang jadi kendaraan sehari-hari Dokter Ida. Yang jelas, nama Aris Munandar hanya ada di kantong Amerika. Di Indonesia, ia sama sekali tidak disebut sebagai teroris. Begitu juga Yassin Syawal dan Parlindungan Siregar. Keduanya tidak masuk dalam daftar buruan polisi Indonesia. Padahal, di mata Amerika, Yassin, yang pernah berlatih di kamp Al-Qaidah di Afganistan, terlibat dalam konflik antarpenganut agama di Poso. Menantu pendiri Jamaah Islamiyah Abdullah Sungkar ini bahkan menerima tuduhan yang lebih gawat: ia ikut dalam rencana aksi Al-Qaidah di Asia Tenggara. Parlindungan Siregar dikenal sebagai peserta beasiswa Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Spanyol, tapi kemudian keluar. Intelijen Spanyol menduga, Parlin berkenalan dengan aktivis Al-Qaidah di negeri itu. Ia diduga telah membuka kamp pelatihan militer di Poso, Sulawesi Tengah. Aksi terorisme boleh jadi memakan biaya besar. Tapi Amerika Serikat kecele bila menyebut orang-orang yang ditudingnya sebagai teroris di Indonesia punya aset besar. Memang, sejak perburuan teroris dimulai dua tahun silam, Amerika telah menerapkan cap teroris terhadap 305 individu di seluruh dunia dan telah membekukan aset mereka senilai US$ 136,7 juta. Amerika juga aktif mengirim informasi nomor-nomor rekening yang dicurigai sebagai milik teroris ke seluruh dunia. Kendati begitu, Kepolisian Republik Indonesia masih belum tegas menyebut nomor-nomor rekening milik teroris yang dibekukan di sini. Unit Khusus Investigasi Perbankan Bank Indonesia sendiri telah melaporkan adanya 43 nomor rekening yang diduga terkait dengan, antara lain, kejahatan terorisme, penyelundupan senjata, dan dana hasil korupsi. Tidak mudah, memang, menelisik rekening para teroris. "Kami juga terbentur masalah hukum tentang kerahasiaan bank," kata Ansyaad Mbai, Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Kalaupun aset itu tidak berupa uang di rekening, menurut Ansyaad, tidak mudah membuktikan harta itu milik teroris. "Harta mereka lebih banyak di bawah bantal," katanya. Tomi Lebang, Bagja Hidayat dan Deddy Sinaga (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus