Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ramai-Ramai Pindah Kandang

14 September 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMBIL tersenyum lebar, Ngurah Gde Wididana mengangkat tangan kanannya yang terkepal. Bersamaan dengan itu, puluhan pengurus Partai Pelopor di Bali bertepuk tangan riuh-rendah. Aplaus untuk Wididana membelah seisi ruangan. Sebab, hari itu, Sabtu dua pekan lalu, di sebuah kafe di Denpasar, lelaki yang akrab dipanggil Pak Oles itu secara resmi menyatakan siap bergabung dengan partai pimpinan Rachmawati Sukarnoputri ini.

Wididana dipecat karena tak menaati rekomendasi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dalam pemilihan Gubernur Bali, 12 Agustus silam. Saat itu ia nekat maju sebagai calon wakil gubernur, berduet dengan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Putu Ary Suta. Sedangkan "pusat" merekomendasi pasangan gubernur lama, I Dewa Made Beratha, yang berduet dengan I.G.N. Kesuma Kelakan. "Setelah itu, banyak partai baru yang melamar saya," ujarnya kepada Rofiqi Hasan dari TEMPO.

Di Buleleng, mantan ketua cabang PDI Perjuangan setempat, Dewa Kadek Astawa, juga menyeberang ke Partai Indonesia Baru. Sebelumnya, ia dan empat kader lainnya dipecat setelah dituding berkhianat karena tak mendukung pemilihan calon bupati yang direkomendasi Jakarta sehingga kalah. Padahal Astawa punya massa ribuan orang, termasuk yang dikerahkan pada rapat kerja nasional partainya yang berlangsung meriah di Bali tahun lalu. "PDI Perjuangan itu arogan," ujarnya kepada Made Mustika dari TEMPO.

Di Kalimantan Timur, banyak kader partai berlambang banteng merah ini yang hijrah ke Partai Pelopor. Syaharie Jaang, Ketua Partai Pelopor di provinsi itu, yang kini menjadi Wali Kota Samarinda, semula kader PDIP. Gara-gara berduet dengan calon wakil wali kota dari Golkar, hubungan Jaang dengan pengurus partainya meruncing. Akhirnya, Syaharie memilih cabut. Ia kini memimpin Partai Pelopor diikuti ribuan simpatisan banteng yang kecewa atas perilaku pimpinan partai mereka.

Petinggi PDIP Kalimantan Timur Imam Mundjiat juga menggeliat. Ia dikabarkan segera mundur dari salah satu kursi ketua pengurus pusat gara-gara langkahnya menuju pencalonan Gubernur Kalimantan Timur dipotong oleh salah seorang Ketua PDIP, Theo Syafei, dua bulan lalu. Banteng cenderung menjagokan gubernur lama, Suwarna Abdul Fatah, yang akhirnya memenangi pemilihan—meski ditandai dengan ribut-ribut soal "cek dan politik uang". "Perolehan suara PDIP akan menurun drastis," ujarnya kepada Redy M.Z. dari TEMPO.

Kekisruhan di tubuh banteng gemuk ini tentu saja menggembirakan partai-partai lain. Sebab, banyak kader mereka yang akhirnya mencari kandang di partai berideologi mirip: nasionalis marhaenis. "Enam puluh persen anggota kami bekas anggota PDIP," kata Ricardo, Wakil Sekjen Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK). Padahal, Ricardo pernah mendampingi Mega sejak 1992. Di masa susah itu, ia setia menyokong putri sulung Bung Karno ini melawan Orde Baru. Pidato Mega saat pelantikan menjadi wakil presiden pada 1999, konon, racikan Ricardo dan Eros Djarot yang kini menjadi Ketua Umum PNBK.

Hubungan mereka akhirnya renggang setelah kongres PDIP di Semarang, tahun 2000 lalu. Mega dinilai tak lagi memperjuangkan rakyat kecil. Banyak kader daerah tersinggung pula karena pengurus pusat sering memotong aspirasi mereka soal pemilihan kepada daerah. Deklarasi PNBK pada 27 Juli tahun lalu bersamaan dengan merebaknya kekecewaan kader partai kepada Mega dan orang-orang dekatnya. "Ibarat kanker, PDIP sudah stadium 4," kata Eros.

Ketua Umum Partai Indonesia Tanah Air Kita, Dimyati Hartono, juga mengklaim: banyak simpatisannya berasal dari PDIP, bekas partainya itu. Pengurus di Sumatera Utara, dari tingkat provinsi hingga desa, didominasi bekas orang-orang dari kandang banteng. Begitu pula pengurus partai di pelbagai provinsi lainnya dari seantero Jawa hingga Papua. Dimyati, bekas orang penting PDIP yang kerap tampil perlente itu, mengaku di semua kawasan tersebut banyak anggota dan pengurusnya yang pindah lantaran kecewa berat dengan banteng.

Partai Pelopor tentu saja bersorak. Menurut Ketua V Partai Pelopor, Tiurmaida Tampubolon, setidaknya 30 anggota parlemen daerah lari ke partai yang dipimpin adik Megawati itu. Bahkan Tarmidi Suhardjo, bekas dedengkot PDIP Jakarta, hijrah ke partainya pula setelah dipaksa mundur dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta. Pusat, lagi-lagi, tetap mengusung pejabat lama yang kontroversial, Sutiyoso. "Partai Pelopor paling banyak menerima bekas PDIP dibanding partai nasionalis lainnya," ujar Tarmidi.

Di kalangan akar rumput, "pelarian" itu bisa dilihat dari banyaknya posko PDIP yang berubah menjadi posko Partai Pelopor. Metamorfosis ini banyak terjadi di Jawa Tengah, Bekasi, dan Sumatera. Kini Partai Pelopor sudah membentuk kepengurusan di 29 dari 32 provinsi di Indonesia, yang mayoritas diisi bekas banteng merah. Toh, semua itu belum meresahkan para pengurus di kantor pusat Lenteng Agung. "Partai-partai itu belum tentu bisa ikut pemilu," kata Sukowaluyo Mintohardjo, Sekretaris Fraksi PDIP di MPR. Tapi bisa saja mereka bikin kempes.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Jobpie Sugiharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus