KETUKAN palu Zakaria Alwy di akhir sidang DPRD Aceh Besar seolah menandai berakhirnya supremasi FPP. Sabtu siang pekan lalu, di Jantho, 42 km dari Banda Aceh, ketua DPRD Tingkat II dari FPP itu melantik 21 anggota Dewan hasil Pemilu 1987 lalu. Meski FPP unggul dalam perolehan kursi, jabatan ketua dewan tampaknya harus lepas dari kubu Bintang. "Bukan takabur, tapi tak mungkin lagi PPP menjadi ketua dewan kali ini," ujar Teuku Alibasyah, Ketua DPD Golkar Aceh Besar. Sebetulnya, kekuatan PPP masih jauh melampaui Golkar di kabupaten Serambi Mekah ini. Dari 17 kursi yang diperebutkan melalui Pemilu 87, PPP memperoleh 10 kursi - 4 buah lebih banyak dari Golkar. Sedangkan PDI hanya I saja. Tetapi kedudukan FPP melemah, dengan adanya 4 kursi yang dijatahkan bagi Fraksi ABRI. Kekuatan FPP menjadi berimbang dengan "koalisi" ABRI-Golkar. Sementara itu, fraksi Bintang telanjur yakin,.suara PDI bakal jatuh ke fraksi "dwitunggal" itu. Kubu Bintang tampaknva sadar akan situasi rawan ini. Melalui jalur luar sidang, dicapailah kesepakatan di antara empat fraksi itu dan bupati Aceh Besar, Zain Hasjmy. "Kami sependapat memberikan kepercayaan kepada ABRI untuk jabatan ketua dewan," ujar Zain pada wartawan TEMPO Makmun Al Mujahid. Boleh jadi, Zain Hasjmy hanya melaksanakan petunjuk dariJakarta. "Kalau di daerah yang Golkarnya kalah, diusahakan ketua dewannya ABRI," kata Ketua DPD I Golkar Aceh, Abdullah Masry. Jika kesepakatan itu terlaksana, inilah pertama kali ABRI menggaet jabatan terhormat di lembaga legislatif Kabupaten Aceh Besar. Pada 1982, keperkasaan PPP masih terlihat jelas. Dari 23 kursi, 14 di tangan PPP, Golkar 3, PDI I, dan jatah untuk ABRI 5 kursi. Sedangkan lima tahun sebelumnya, jumlah 20 kursi terbagi atas 12 untuk FPP, Golkar 4, ABRI 4, dan PDI belum punya kursi. Itu sebabnya, pada dua periode itu kepemimpinan di DPRD Aceh Besar senantiasa berada di tangan Zakaria Alwy dari FPP. Tapi, mengapa harus ABRI? PPP sendiri memandang ABRI mampu bersikap luwes, sehingga benturan-benturan antarfraksi mudah diredam. Sedangkan PDI sendiri mempersilakan kursi ketua dewan diisi baju hijau itu. "Sudah menjadi rumusan tak tertulis, bahwa di suatu daerah yang bupatinya sipil, ketua DPRD-nya harus ABRI," kata Ketua PDI Aceh Besar, M. Nur Budiman. Kedudukan ketua DPRD 11 Kabupaten Aceh Timur tampaknya juga akan berada di fraksi ABRI, kendati Golkar menang telak di situ. Pemilu 1987 lalu memberikan 23 kursi DPRD II untuk Golkar, PPP 11 kursi, dan PDI 3 kursi. "Kalau petunjuk DPP Golkar diikuti, ketua dewan di daerah ini harus Golkar murni," kata Azhari Aziz, sekretaris DPRD Aceh Timur. Tapi setelah DPD II Golkar berembuk lagi dalam sidang pleno pekan lalu di Langsa, tampaknya ketentuan "harus Golkar murni" itu tidak lagi dimutlakkan. "Golkar tidak keberatan kalau ABRI yang jadi ketua," kata Nurdin, sekretaris DPD Golkar Aceh Timur. Tampaknya, kian jelas bahwa beberapa posisi ketua DPRD II di Provinsi Aceh, yang sebelumnya berada di tangan PPP, bakal dialihkan ke fraksi ABRI. Seperti di Aceh Besar, Aceh Timur, atau Aceh Utara - yang Golkarnya kalah tipis dari PPP dengan perbandingan 46%: 48%. "Kalaupun jabatan ketua dewan jatuh ke ABRI, tak akan timbul masalah. Kami mendukung," kata Zulkifli Hanafiah, Wakil Ketua DPD Golkar Aceh Utara. Berbeda dengan Aceh, di Jawa Timur tampaknya terjadi hal yang sebaliknya. Dari 37 daerah tingkat 11, pada pemilihan 1982 lalu ada 17 posisi ketua dewan yang dipegang ABRI. Kini mengikuti peta politik baru produk Pemilu 87, jatah ABRI akan dirampingkan menjadi tujuh saja. Golkar, yang pada Pemilu 82 menggenggam 18 jabatan ketua dewan, kini mekar menjadi 30. Sedangkan IPP terpaksa melepaskan dua posisi kctua dewan di Kabupaten Sampang dan Bangkalan - keduanya di Madura. Kedua jabatan itu direncanakan akan diisi fraksi ABRI. "Ada beberapa pertimbangan tertentu, sehingga untuk beberapa daerah tingkat II, pimpinan dewannya masih harus dipegang ABRI," kata Moch. Said, Ketua DPD Golkar Ja-Tim. Barangkali pertimbangan itu menyangkut perolehan suara Golkar. Di Sampang, Bangkalan, Pasuruan, prestasi Golkar tak meyakinkan: kalah di Sampang, dan draw di dua daerah yang lain. PPP mengambil sikap dingin menanggapi supremasi "koalisi" Golkar-ABRI dalam pimpinan DPRD II. "Kami tak mempersoalkan jabatan ketua DPRD," ujar H. Soelaiman Fadeli, Ketua DPW PPP Ja-Tim . Kendati Pemilu 1987 ini tampaknya tak memberikan jabatan ketua DPRD di 37 dati II se-Jatim, toh tak membuat Sulaeman cemas. "Tak ada hubungannya antara kedudukan sebagai etua dewan dan gol atau tidaknya aspirasi partai," ujarnya. Namun, PPP Sumatera Utara menganggap posisi pimpinan dewan mempunyai arti penting. Sialnya, jabatan wakil ketua DPRD tingkat I Su-Mut hanya akan diisi fraksi ABRI dan PDI. Sedangkan FPP tak kebagian tempat dalam pimpinan dewan, karena anggota fraksinya kurang dari tiga orang. Ini disesalkan oleh Sekertaris DPW PPP Sumut, Hasrul Azwar. Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja menolak anggapan bahwa pusatlah yang mengatur komposisi pimpinan di DPRD I dan Il. "Kami tidak pernah mengatur sampai sejauh itu. Semuanya kami serahkan pada daerah," ujarnya. DPP Golkar, kata Sarwono, tak pernah menjalin komitmen apa pun dengan pimpinan ABRI yang menyangkut penempatan personel ABRI di badan legislatif itu. Penegasan sama pekan lalu dinyatakan oleh Pangab Jenderal L.B. Moerdani. Begitu pentingkah posisi ketua DPRD? "Memang merupakan kehormatan. api secara plitis, jabatan itu tidak bisa dibilang strategis, karena tak banyak mempengaruhi keputusan politik dewan," ujar Sekjen DPP PPP, Mardinsyah. Namun, bukankah jabatan tersebut akan menaikkan gengsi? Putut Tri Husodo & Bunga S., laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini