Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan DPR dinilai sengaja membuat pasal sapu jagat agar segala ketentuan dalam UU IKN menjadi legal.
Sejumlah pasal dalam UU IKN hasil revisi bertentangan dengan UU Pemda dan UU Pokok-Pokok Agraria.
Kewenangan khusus Otorita IKN berpotensi tak bisa dikontrol.
JAKARTA – Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengkritik keberadaan pasal sapu jagat dalam perubahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN). Pasal sapu jagat itu dianggap menjadi tameng bagi sejumlah ketentuan dalam UU IKN yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal sapu jagat yang dimaksudkan adalah Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b. Pasal ini mengatur bahwa saat UU IKN berlaku, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan kebijakan pelaksanaan kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN, serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur pemerintahan daerah dinyatakan tidak berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Herdiansyah berpendapat, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sengaja membuat pasal tersebut agar segala ketentuan dalam UU IKN hasil revisi menjadi legal, meski bertentangan dengan undang-undang lainnya. "Pasal ini hanya untuk melegitimasi keputusan-keputusan buruk terselubung dalam UU IKN, seperti hak atas tanah, dan memanjakan investasi. Jadi, pasal ini dibunyikan hanya untuk melindungi lapak bisnis oligark berkedok IKN," kata Herdiansyah kepada Tempo, Selasa, 3 Oktober 2023.
Baca juga: Aturan Main Baru di IKN Selera Investor
Selasa kemarin, DPR mengesahkan perubahan Undang-Undang IKN. Tujuh fraksi di DPR menyatakan sepakat pengesahan rancangan revisi UU IKN menjadi undang-undang. Ketujuh fraksi itu adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Adapun Partai Demokrat memberi catatan. Sedangkan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolaknya.
Dalam perubahan UU IKN ini, sebanyak 11 pasal diubah. Lalu ada enam pasal baru. Perubahan tersebut di antaranya Pasal 12 yang mengatur kewenangan Otorita IKN. Pasal ini memperluas kewenangan Otorita IKN, dari urusan pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kiri) menyerahkan dokumen pandangan pemerintah saat rapat paripurna DPR dengan salah satu kegiatan DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 3 Oktober 2023. ANTARA/Galih Pradipta
Menurut Herdiansyah, kewenangan Otorita IKN sebelum revisi undang-undang sudah mengambang, yaitu Otorita IKN bukan bagian dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Selanjutnya, setelah UU IKN direvisi, ketidakjelasan kewenangan Otorita IKN justru semakin parah. Sebab, Otorita IKN diberi kewenangan khusus yang justru merusak muatan dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah.
"Pasal itu merusak muatan UU Pemda, dari kewenangan absolut, konkuren, hingga umum. Seharusnya kewenangan itu hanya dibagi rata antara pusat dan daerah. Sementara itu, Otorita IKN tidak jelas lembaga itu berada di posisi mana," ujar Herdiansyah.
Ia juga menyoal keberadaan Pasal 16A UU IKN. Pasal ini merupakan ketentuan baru dalam revisi UU IKN. Pasal ini mengatur jangka waktu hak atas tanah bagi investor, baik hak guna usaha, hak guna bangunan, maupun hak pakai.
Di situ diatur bahwa hak guna usaha berlaku hingga 190 tahun serta hak guna bangunan dan hak pakai selama 160 tahun. Ketentuan ini bertentangan dengan Undang-Undang Pokok-pokok Agraria yang mengatur hak guna usaha paling lama 60 tahun.
Herdiansyah menilai ketentuan dalam Pasal 16A itu tidak mempunyai pemikiran hukum atau ratio legis yang memadai. Sebab, ketentuan dalam UU IKN yang mengatur urusan pertanahan seharusnya tunduk kepada UU Pokok-pokok Agraria. “Bagaimanapun aturan pertanahan tetap harus tunduk kepada UU PA sebagai aturan payungnya," kata dia.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Herlambang P. Wiratraman, sependapat dengan Herdiansyah. Herlambang mengatakan banyak ketentuan dalam UU IKN sebelum direvisi yang sudah bertentangan dengan undang-undang lain. Salah satunya mengenai kewenangan Otorita IKN. Lalu hasil revisi UU itu justru makin menambah aturan yang berseberangan dengan undang-undang lainnya.
"Belum pernah jadi perdebatan apa sebenarnya makna kewenangan khusus itu. Kita kan masih ada pemerintah resmi, tapi seakan-akan sudah ada kewenangan bertambah," kata Herlambang.
Herlambang menilai kewenangan khusus Otorita IKN itu berpotensi tak bisa dikontrol. Sebab, tak ada pihak yang bisa melakukan pengawasan karena tidak ada lembaga DPRD di IKN.
"Saya khawatir dengan kewenangan bertambah, kontrol atas kewenangan khusus itu jadi tak ada," ujarnya.
Herlambang juga menilai keberadaan Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b memperlihatkan bahwa pemerintah ingin menghidupkan autocratic legalism, yaitu membuat longgar batasan konstitusional pada eksekutif melalui reformasi hukum. "Dia berjalan seperti hukum yang benar, tapi sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum," kata dia.
Menurut Herlambang, autocratic legalism dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, proses pembahasan tak melibatkan masyarakat. Kedua, pembentukan hukum seolah-olah berjalan dengan hukum benar, tapi sebetulnya melanggar prinsip hukum. Lalu ketiga, proses pembentukan hukum yang berjalan ugal-ugalan dan tak bisa dikontrol. "Ketiga hal itu dapat dilihat dalam pembentukan revisi UU IKN."
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, 8 Maret 2023. REUTERS/Willy Kurniawan
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan pemerintah dan DPR tidak menggunakan kaidah dasar pembentukan undang-undang yang benar dalam merevisi UU IKN. Misalnya, mereka tidak melibatkan masyarakat untuk membahas revisi tersebut.
"Kami melihat ada keinginan untuk menggadaikan aset bangsa dan negara kepada investor karena di sini pasal-pasal yang diubah yang memberikan kemudahan kepada investor," kata Isnur.
Isnur juga mengkritik kewenangan Otorita IKN yang terlalu besar. Kewenangan Otorita IKN itu dianggapnya tidak sesuai dengan prinsip demokrasi karena menghilangkan unsur pengawasan.
"Seharusnya diawasi Otorita IKN. Di Jakarta, misalnya, ada DPRD yang mengawasi, jadi ada keseimbangan," ujar Isnur.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo mengenai kritik para pakar hukum tersebut. Adapun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengatakan revisi UU IKN dapat mewujudkan pemerataan pembangunan nasional.
"Pemerintah yakin bahwa produk bersama antara pemerintah dan DPR RI serta DPD RI ini sejalan dengan kehendak masyarakat dalam rangka mewujudkan pemerataan pembangunan nasional," kata Suharso di gedung DPR, kemarin.
Ia mengklaim, selama proses penyusunan rancangan undang-undang tersebut, pemerintah telah menyelenggarakan berbagai forum untuk menjaring aspirasi masyarakat. Pemerintah empat kali menggelar konsultasi publik dan beberapa kali diskusi kelompok.
Suharso juga berdalih bahwa pemberian hak guna usaha hingga 190 tahun itu tak melanggar konstitusi. Ia juga menjamin pemerintah akan tetap menghargai hak atas tanah yang dimiliki masyarakat di IKN.
HENDRIK YAPUTRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo