JERITAN tentang perbaikan nasib tidak hanya datang dari para buruh perusahaan swasta. Lihatlah aksi demonstrasi buruh Pabriteks ke DPR Selasa pekan lalu. Hari itu, 24 buruh Pabriteks Senayan -- pabrik tekstil milik negara yang dikenal sebagai Patal Senayan -- menyingkapkan betapa prihatinnya kehidupan mereka. "Saya kira Patal Senayan ayem-ayem saja. Tak tahunya, di situ menyimpan kejutan," kata Nugraha Besoes, salah seorang anggota DPR, yang menerima pengaduan para pengunjuk rasa dan mengaku mewakili 1.300 buruh di BUMN itu. Bagaimana tidak kejutan. Di hadapan Nugraha dan anggota DPR lainnya -- Budi Harjono dan Anshari Syam -- para pekerja BUMN itu mengungkapkan betapa resahnya mereka akibat upah yang minim. Seperti dikatakan seorang buruh bahwa upah mereka di bawah ketentuan upah minimum yang ditetapkan Departemen Tenaga Kerja, Rp 2.600 per hari. "Gaji kotor saya cuma Rp 68.000 sebulan, padahal gaji direktur utama Rp 7 juta," kata operator pemintalan Patal Senayan, yang sudah mempunyai masa kerja delapan tahun. Sudah minim, upah itu kena bermacam potongan pula. Lalu, buruh wanita tak pernah dapat cuti haid dan hamil. Nasib mereka bertambah muram karena ternyata, sekalipun sudah bekerja bertahun-tahun di perusahaan itu, para buruh itu banyak yang hanya mengantungi status buruh kontrakan. Dari 2.500 buruh pabrik itu, 1.300 orang berstatus buruh kontrakan. Merekalah yang sedang resah itu. Semula mereka mempertanyakan nasibnya ke manajer pabrik. Karena tuntutan tak kunjung dipenuhi, dengan diantar kuasa hukumnya mereka berbondong-bondong ke kantor DPR. Upaya itu mereka lanjutkan dengan mengadakan tatap muka dengan direktur utama perusahaan itu. Karena belum juga berhasil, Senin pekan ini, perjuangan mereka lanjutkan dengan mengadukan nasibnya ke Departemen Tenaga Kerja. Kenapa baru sekarang buruh BUMN ini bereaksi? Tampaknya ini ada hubungannya dengan rencana merelokasi pabrik milik PT Industri Sandang I ini ke Karawang, tahun depan, karena letak Patal Senayan yang strategis itu dinilai pemerintah tak lagi sesuai dengan perencanaan lingkungan perkotaan. Pabrik baru di Karawang, yang akan menelan biaya Rp 70 milyar itu direncanakan mekanisasi penuh, karena itu karyawan yang ada harus dikurangi. Sejak Desember silam, masa kontrak buruh yang sudah habis tak diperpanjang. Sudah lebih dari 30 buruh yang tak dapat lagi masuk pabrik. Pesangon memang diberikan, walau cuma ala kadarnya. Direktur Utama PT Industri Sandang I, Sumedi Wignyosumarto, tak membantah keluhkesah buruhnya. "Kami tentu mau menyejahterakan karyawan, tapi kini perusahaan merugi karena kalah bersaing dengan banyaknya pabrik baru dari negara industri Asia yang pindah ke Indonesia," kata Sumedi. Tahun lalu, perusahaan itu rugi Rp 7,4 milyar. Namun, Sumedi menyangkal kalau dikatakan bahwa upah buruhnya di bawah ketentuan upah minimum. "Upah terendah Pabriteks Senayan Rp 2.600, sesuai dengan ketentuan. Cuma, kami merincinya dalam upah pokok dan tunjangan kerja," katanya. Nah, tunjangan kerja itu bisa saja dipotong perusahaan, bila dianggap buruh tak berdisiplin. Misalnya, pekerja yang alpa dipotong Rp 5.000 seharinya. "Biar karyawan berdisiplin," ia menandaskan. Menurut Sumedi, kalau ia menerapkan peraturan, para pekerja yang sudah habis kontraknya itu tak mesti diberi pesangon. Tapi, mengapa mereka terus dikontrak bertahun-tahun? "Kami bermaksud menolong mereka agar tidak menganggur, tapi tak ada formasi untuk karyawan tetap," alasan Sumedi. Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini