SUASANA menghangat ketika Harun Amin dari Fraksi Persatuan Pembangunan bicara soal penggusuran secara paksa di Jakarta, tanpa musyawarah, dan itu dianggapnya tak manusiawi. "Seolah-olah Anda mengatakan bahwa masyarakat kecil ini tak layak tinggal di DKI," kata Harun kepada Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Seakan sedang berbicara di hadapan seorang terdakwa, Harun menuding Pemda DKI tak mampu menyelesaikan berbagai masalah penggusuran, terbukti dengan banyaknya warga yang mengadu ke DPR. "Gubernur hendaknya bertanggung jawab, jangan berjawab tanggung," kata anggota DPR asal Sumatera Utara ini dengan nada mengecek. Gubernur Wiyogo terkesiap juga dengan galaknya anggota DPR itu. "Saya ini mau dimaki atau ditanyai?" katanya kecut. Dengar pendapat Gubernur DKI dengan Komisi II DPR, Rabu pekan lalu, tampaknya memberi suasana baru. Bukan cuma "kasarnya" serangan dari Harun Amin terhadap Wiyogo dan aparatnya. Tapi 20-an penduduk hadir di ruang sidang itu. Mereka itu -- mewakili 400-an temannya yang pada saat itu menunggu di lobi DPR -- seakan saksi langsung bagaimana para wakil rakyat memperjuangkan nasib mereka dalam menghadapi pejabat pemerintah. Usai acara, Wiyogo dan stafnya tak bisa segera pulang sekalipun sudah pukul 16.00. Pintu ruang sidang terpaksa dibuka lebar-lebar lalu rakyat, yang sudah menunggu kedatangan Wiyogo sejak pagi, berdesakan masuk ruangan. Penduduk ini berdatangan dari empat wilayah Jakarta. Ada warga Kecamatan Kemayoran yang kena gusur pembangunan Kota Bandar Baru, proyek yang ditangani Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Ada penduduk Kelurahan Kebayoran Lama Utara yang terdepak karena proyek jalan tembus Gandaria-Pejompongan. Ada penduduk Tanah Merah Plumpang, Jakarta Utara, yang tergusur karena proyek Pertamina. Coba lihat soal Tanah Merah Plumpang. Tanah seluas 150 hektare itu diklaim Pertamina sebagai miliknya sejak tahun 1968, sedangkan 3.000 kepala keluarga sudah menempati areal itu sejak 1977. Kepada TEMPO, pengacara warga Tanah Merah Plumpang, H.M. Dault, menjelaskan bahwa warga pernah dijanjikan ganti rugi dengan cara musyawarah. Sayangnya, atas nama Pertamina, Wali Kota Jakarta Utara menetapkan ganti rugi bangunan sebesar Rp 37 ribu. Warga menolak harga semurah itu. Karena tak ada penyelesaian, warga menggugat Pemda ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Januari tahun ini PTUN menetapkan pelarangan membongkar dan menggusur bangunan di areal sengketa, menunggu keputusan pengadilan. Anehnya, penduduk tetap digusur secara paksa dan rumahrumah dirobohkan. Coba, bagaimana menyelesaikannya? Di proyek jalan tembus Gandaria-Pejompongan, pertentangan bukan hanya soal perbedaan harga ganti rugi. Penduduk menemukan bukti penyelewengan. "Wali Kota membengkokkan jalan tembus yang seharusnya lurus," Ignatius Yulianto, salah seorang warga, mengungkapkan. Dengan beberapa bukti lain, penduduk kelurahan itu menggugat Gubernur dan Wali Kota Jakarta Selatan melalui pengacara O.C. Kaligis. Wiyogo, yang akan mengakhiri jabatannya tahun ini, melihat soal itu dari sudut lain. "Bisa saja mereka itu direkayasa, dihimpun oleh segolongan, ataupun karena alasan politis," katanya. Senin pekan ini Wiyogo melaporkan soal tanah DKI ke Presiden Soeharto. Leila S. Chudori, Linda Djalil, Susilawati Suryana, dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini