SETIAP menjelang tanggal 11 Maret, Amirmachmud selalu muncul di media massa. Soalnya, ia salah seorang di antara tiga perwira tinggi yang menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor, 11 Maret 1966. Kepada ketiga perwira tinggi itulah -- Pangdam Jaya Mayor Jenderal Amirmachmud, Menteri Veteran Mayor Jenderal Basuki Rachmat, dan Menteri Perindustrian Ringan Brigjen. M. Yusuf -- Soekarno menitipkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang bersejarah itu. Pada 10 Maret yang lalu, kembali Amirmachmud muncul di televisi. Di situ, ia mengimbau agar naskah asli SP 11 Maret, yang kini tak diketahui di mana adanya, segera dicari. Pada larut malam, Minggu lalu, Wartawan TEMPO Dwi Setyo Irawanto menemui Amirmachmud di rumahnya, di kawasan Menteng, Jakarta. Berikut petikan hasil wawancara itu: Bisa diceritakan perjalanan Supersemar sekembali Anda dari Istana Bogor, 11 Maret 1966? Waktu itu sudah saatnya salat isya. Ketika datang ke Istana kami memang memakai heli, tapi pulangnya tidak. Kebetulan ada satu mobil mau ke Jakarta. Kami ndompleng saja. Saya lupa mobil apa. Saya bahkan lupa siapa sopirnya. Di tengah jalan, di Jembatan Situ Duit Bogor, karena penasaran saya meminjam surat perintah itu dari Pak Basuki. Saya baca lagi di bawah sorotan lampu senter. Saya kaget. Tiba-tiba saya baru menyadari bahwa surat ini bukan surat perintah biasa. Surat itu kok seperti pelimpahan kekuasaan. Saya minta Pak Basuki agar membacanya sekali lagi, juga Pak Yusuf. Mereka sependapat. Tiba di Jakarta, sudah agak larut. Kami langsung ke tempat kediaman Pak Harto di Jalan Agus Salim. Tapi Pak Harto tak ada di tempat. Kami terus ke Kostrad, menemui Pak Harto di sana. Waktu itu Pak Harto sakit flu, kok ia pergi ke Kostrad? Ya, meski sakit, bisa saja Pak Harto ke Kostrad, lha badan beliau kan kuat. Ketika itu Pak Harto berpakaian harian lengkap. Kami diterima di ruangan beliau. Oleh Pak Basuki, surat perintah itu diserahkan kepada Pak Harto. Itulah terakhir kali saya melihat Supersemar. Bagaimana sebenarnya bentuk asli Supersemar. Selama ini ada dua versi: ada yang bilang dua lembar, ada yang bilang cuma satu lembar . . .. Supersemar itu dua lembar. Halaman pertama sampai dengan keputusan presiden poin kesatu. Lalu halaman kedua dimulai dengan keputusan poin kedua. Ketika net concept Surat Perintah telah selesai diketik, Brigjen. Sabur (ajudan Bung Karno) memberitahukan kepada Presiden bahwa secara administratif surat perintah semacam itu kurang bisa dipertanggungjawabkan, karena dari lembar kesatu ke lembar kedua tak ada kata penyambung di bawahnya. Pendapat Brigjen. Sabur benar. Namun, khawatir kalau Bung Karno minta konsep diketik ulang, lagi pula untuk menghindari timbulnya persoalan-persoalan baru, saya menjawab, "Lo, ini kan revolusi. Masa, masih memikirkan soal-soal administratif. Sudahlah, serahkan saja kepada Bung Karno." Lalu bagaimana kemudian muncul Supersemar yang hanya satu lembar? Itu sih perbuatan orang yang tak tahu sejarah saja. Perkiraan Anda, di mana surat itu kini? Saya tidak tahu. Tapi, kalau menurut tulisan Pak Harto dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, disebutkan bahwa malam itu juga, sekitar tengah malam, Pak Harto memerintahkan kepada Kepala G5 KOTI Soetjipto, S.H., untuk mempersiapkan surat pembubaran PKI. Soetjipto lalu menelepon sekretarisnya, Kolonel Sudharmono (kini Wapres), untuk membuat konsep. Disebutkan, Letnan Moerdiono (sekarang Mensesneg) membantu Sudharmono. Nah, kalau mau mencari Supersemar, telusuri saja dari orang-orang yang disebutkan ini .... Di luaran ada yang menyebut Pak Yusuf yang menyimpan surat itu. Ah, saya pikir tidak . . .. (Ia mengibaskan tangannya). Apakah Anda sanggup kalau ditugaskan untuk mencari Supersemar? Yang jelas, saya setuju dengan pendapat anggota DPR bahwa harus dibentuk satu tim untuk mencari di mana Supersemar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini