Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Program MBA Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (ITB), Yudo Anggoro, mengatakan pendidikan kewirausahaan di perguruan tinggi bisa menjadi solusi lesunya ekonomi Indonesia di tengah pandemi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Covid-19 membuat daya beli turun, demand turun sehingga kehilangan purchasing power,” kata Yudo saat menjadi pembicara dalam Forum Jurnalis Pendidikan, Selasa, 27 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan was-was dengan laporan Bank Dunia soal penurunan level penghasilan Indonesia. Menurut dia, penurunan level dalam 1,5 tahun itu bisa terjadi karena dampak pandemi Covid-19.
Lebih kurang setahun Indonesia berada pada kategori negara berpenghasilan menengah ke atas (upper middle income). Pada 2020, Bank Dunia menurunkan level tersebut menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income). Penurunan kelas terjadi karena merosotnya pendapatan per kapita Indonesia dari US$ 4.050 menjadi US$ 3.870.
Dalam kondisi ini, Yudo menilai wirausaha bisa menjadi solusi. Peran para perusahaan berbasis di Indonesia, rekan enterpreneur, dan pendidikan vokasi dibutuhkan untuk mendorong terjadinya shifting atau pergeseran dari bangsa konsumsi menjadi produksi agar berdaya saing.
Yudo mengungkapkan, sejak 2003, ITB sudah menciptakan pendidikan kewirausahaan. Namun, tingkat kesuksesan mahasiswa yang menjadi pengusaha hanya 10-15 persen. Ia mengakui sulit untuk mencapai success rate hingga 90 persen.
Meski sebagian besar lulusan masih menjadi pegawai, Yudo menganggap hal itu tidak menjadi masalah. Sebab, profesi apapun tetap bisa membuat inovasinya sendiri.
Faktor lain yang membuat pentingnya pendidikan enterpreneur adalah karena tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas yang masih tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Mei 2021, tingkat pengangguran terbuka lulusan universitas sebanyak 6,97 persen. Angka tersebut naik dari Februari tahun lalu sebesar 5,70 persen. Selain itu, hanya 10,18 persen tenaga kerja lulusan universitas.
Rendahnya lulusan perguruan tinggi yang terserap lapangan pekerjaan juga menjadi perhatian Direktur dan Pendiri Aren Energy Investment Pte Ltd Toronata Tambun.
Alumnus UGM ini menilai arah pendidikan kewirausahaan sesungguhnya adalah menciptakan manusia yang kokoh. “Orang tidak cepat menyerah, buat orang jadi kritis, tidak yes man,” katanya.
Pendidikan enterpreneur juga menciptakan orang yang selalu memiliki kebaruan, keingintahuan yang tinggi, inklusif, bersedia dikritik, dan terbuka akan perbedaan, serta otentik. Paling penting, kata dia, adalah antikorupsi.
Menurut Toro, selama ini banyak yang salah kaprah bahwa pendidikan enterpreneur untuk menciptakan perusahaan rintisan. Padahal, pendidikan enterpreneur juga bisa menciptakan orang yang bekerja sebagai tim yang baik, menghasilkan orang yang pintar sekalipun menjadi rendah hati.
"Tidak semua orang dipanggil Tuhan menjadi enterpreneur, tapi orang belajar enterpeneur bisa jadi karyawan. Sekolah enterpreneur menghasilkan orang berkualitas. Bukan koruptor," ujar Toro.
CEO Paragon Technology and Innovation Salman Subakat menyebut hanya 5-7 persen orang dari populasi yang bisa menjadi wirausaha. Namun, jiwa enterpreneur sebetulnya bisa ditumbuhkan dan diajarkan.
Ia mencontohkan karyawan di perusahaannya yang memiliki jiwa kewirausahaan memiliki ciri-ciri berupa self motivated, fokus, berani beda, tidak takut apa kata orang, tidak gengsi, senang kerja keras, dan sangat menghargai kerja keras sehingga seneng dengan orang yang menjadi front liner. “Kalau enterpreneur menjiwai satu perusahaan itu setidaknya 3 kali (tumbuh) lebih cepat,” kata Salman.