BEBERAPA gubernur dan bupati sempat protes. Sebab, mereka merasa malu daerahnya disebut-sebut termasuk daerah miskin. Yang menjadi alamat protes itu tak lain adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita. Namun, bagi Ginandjar, apa yang dilakukan dengan mengungkap peta kemiskinan itu bukannya tanpa alasan. Ia ingin tahu lebih persis sasaran programnya untuk mengatasi kemiskinan itu. Dan pekan-pekan ini, setelah stafnya komplet, terutama dengan asistennya Mubyarto dan Soegijanto Soegijoko, Ginandjar mulai merancang kiat untuk mengentaskan kaum miskin yang 27 juta lebih itu. Di sela-sela kesibukannya memimpin proyek khusus yakni memerangi kemiskinan itu, ia sempat memberikan jawaban tertulis atas pertanyaan wawancara khusus yang diajukan wartawan TEMPO Iwan Qodar Himawan. Berikut petikannya. Apa tujuan pembuatan dan pengungkapan peta kemiskinan itu? Maksud pembuatan peta kemiskinan itu adalah agar dapat diketahui lokasi dan pola penyebaran kantong-kantong kemiskinan. Ini diperlukan agar program pengentasan kemiskinan dapat lebih terfokus, baik mengenai sasaran maupun program-program pembangunan lainnya di lokasi-lokasi tersebut. Dengan demikian, penanganannya dapat dilaksanakan secara lebih tepat, terarah, dan terpadu. Jadi, peta kemiskinan itu dibuat dengan tujuan untuk mengetahui lokasi kawasan yang perlu mendapat bantuan melalui program pengembangan kawasan terpadu (PKT). Program PKT adalah program yang dirancang khusus untuk mengentaskan penduduk atau masyarakat miskin yang berada di kawasan yang sampai dengan akhir Pelita IV belum tersentuh oleh rangkaian program pembangunan yang ada. Kawasan-kawasan ini biasanya mempunyai ciri terpencil, terisolasi, kekurangan prasarana dasar, terbelakang, dan kawasan yang punya permasalahan khusus seperti kekumuhan, miskin sumber daya alam, atau kawasan yang terkena dampak pembangunan berskala besar. Penanggulangan dan pengembangan kawasan itu dapat lebih efektif bila masyarakat dan pemerintah daerah bisa mengidentifikasi sendiri dan berperan serta dalam memenuhi kekurangan dan menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Jadi, skala penanganannya bersifat kecil, sederhana, dan mudah dikelola. Bagaimana peta tersebut dibuat? Peta itu dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari daerah. Secara periodik, setiap tahun, kepala urusan pembangunan di tingkat kecamatan, dibantu oleh mantri statistik dan aparat desa, mengumpulkan data sebagai kegiatan evaluasi tingkat perkembangan desa. Tingkat perkembangan itu dipantau lewat tujuh indikator. Salah satu di antaranya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data lapangan tingkat kecamatan ini selanjutnya diolah dan ditabulasi oleh Kantor Bangdes di kabupaten, lalu Direktorat Pembangunan Desa Provinsi menyusunnya dalam bentuk akhir serta mengadakan cek ulang. Data inilah yang dipakai untuk menyusun peta kemiskinan itu. Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan kemiskinan? Dari data tingkat pendapatan desa per kepala ditetapkan desa- desa yang miskin. Penentuan desa miskin ini dilakukan dengan menggunakan kriteria kemiskinan Sayogyo, yaitu bila pendapatan desa rata-rata per kapita kurang atau sama dengan 360 kg beras per tahun. Selanjutnya, bila di suatu kecamatan terdapat lebih dari 75% desanya tergolong miskin, kecamatan tersebut dikategorikan sangat miskin. Sedangkan bila desa dalam kecamatan itu 5075% tergolong miskin, ia digolongkan sebagai kecamatan miskin. Bila Kriteria Sayogyo ini dibandingkan dengan kriteria yang digunakan untuk menentukan garis kemiskinan secara nasional oleh BPS, yaitu batas minimum 2.100 kalori per hari, ditambah pengeluaran untuk non-pangan, perbedaannya dapat dikatakan tak berarti. Data konsumsi 2.100 kalori per hari tersebut sukar dipetakan dalam tingkat kecamatan. Sedangkan data desa miskin dengan kriteria pendapatan per kapita setara beras sudah tersedia. Sejak kapan data kemiskinan itu dikumpulkan? Proses pendataan dan pemetaan kemiskinan dilaksanakan sejak tahun 1989. Proses pemetaan kemiskinan ini akan terus berlanjut dan akan terus disempurnakan. Saat ini, itulah data-data yang dimiliki dan ini diperoleh langsung dari daerah. Mungkin saja peta yang disampaikan itu kurang sempurna. Mungkin akan ada yang mempersoalkan kriteria yang digunakan, akurasi dan kemutakhiran data. Hal itu wajar. Namun ini merupakan langkah pertama dalam usaha memetakan kawasan miskin. Langkah dan program apa yang dilakukan Bappenas untuk mengatasi kemiskinan itu? Program penanggulangan kemiskinan melalui program PKT telah dimulai sejak awal Pelita V. Dewasa ini, menjelang Repelita VI, program ini benar-benar akan ditingkatkan. Perlu diketahui, program-program pembangunan selama ini berhasil mengentaskan dan mengurangi jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta jiwa pada tahun 1976 menjadi 27,2 juta jiwa pada tahun 1990. Dari penduduk miskin yang 27,2 juta ini, 15,5 juta (57%) berada di Jawa. Di sinilah antara lain letak masalah kemiskinan yang kita hadapi, yaitu pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan kemakmuran yang tinggi belum berarti mengatasi masalah kemiskinan. Kita menjadi sadar bahwa upaya kita menanggulangi masalah kemiskinan perlu program khusus dan terarah. Tidak sekadar mengharapkan dampak dari program dan kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional. Bappenas sebagai perencanaan pembangunan akan mempersiapkan berbagai rencana penanggulangan kemiskinan berdasarkan masukan- masukan dari departemen dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Repelita VI. Pelaksanaannya adalah oleh departemen-departemen yang bersangkutan bersama pemerintah daerah dan masyarakat. Mengatasi kemiskinan tak lepas dari kesenjangan sosial. Apa langkah Bappenas? Memang, di samping kemiskinan, kesenjangan sosial ekonomi juga secara khusus diamanatkan oleh GBHN sebagai masalah serius yang perlu ditangani. Sehubungan dengan itu, dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi tak secara otomatis mampu mengatasi masalah kesenjangan itu. Bisa jadi, bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi, semakin besar pula kesenjangan ekonomi atau sosial dalam masyarakat, yang mencakup kesenjangan antargolongan, antarsektor, dan antardaerah. Hal ini perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Kesenjangan atau ketidakmerataan akan muncul dalam proses pembangunan di negara mana pun, termasuk peluang pengangguran yang terbuka maupun terselubung. Penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, serta peningkatan pemerataan menempati prioritas tinggi dalam program pelaksanaan Repelita VI dalam Trilogi Pembangunan. Tentu saja usaha ini tak akan berhasil tanpa dukungan dan partisipasi masyarakat. Mengatasi kemiskinan memang menjadi tekanan pembanguann tahap berikutnya ini? Hasil pembangunan setiap tahap memberikan masukan bagi penyempurnaan pencapaian sasaran tahap berikutnya. Pada tahun- tahun awal PJPT I, yang ditangani adalah investasi untuk melengkapi infrastruktur dasar yang penting, sedangkan proses berikutnya adalah mempertajam sasaran pembangunan dan investasi yang akan dilakukan. Sebagai contoh, pelaksanaan program PKT. Ini usaha untuk mencapai masyarakat yang selama ini belum sempat tersentuh program-program pembangunan sebelumnya. Adalah hal yang wajar bahwa dalam proses pembangunan akan selalu ditemukan kekurangan-kekurangan dalam tahap sebelumnya. Karena itu, kita wajib untuk tanggap memanfaatkannya guna menyempurnakan langkah berikutnya. Bagaimana dengan alokasi dana untuk memberantas kemiskinan itu? Dapat diperkirakan, mungkin diperlukan bantuan atau Inpres khusus untuk pemerataan dan menanggulangi kemiskinan itu, seperti pernah dilakukan selama ini. Di masa datang, mungkin perlu difokuskan bantuan serupa untuk kelompok miskin tertentu seperti nelayan, pemuda putus sekolah, petani kecil (gurem), atau penganggur, yang memang telah dirintis dalam pelita-pelita sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini