SITI Fatonah, anggota kelompencapir Ngunduh, mengeluh kepada Menteri Harmoko saat temu wicara pekan lalu. ''Nelangsa hati kami, Pak, karena daerah kami, Tulungagung, disebut sebagai daerah miskin,'' katanya. Apa boleh dibilang. Dalam peta kemiskinan, yang diungkapkanm Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita dua pekan silam, Kabupaten Tulungagung punya 17 kecamatan miskin, dari 19 kecamatan yang dibawahkannya. Rupanya 1.236 kecamatan di seluruh Indonesia, alias 34% dari kecamatan yang ada, masuk kategori miskin dan sangat miskin. Peta Kemiskinan, menurut Menteri Ginandjar, dibuat berdasarkan data dari desa-desa. Setiap tahun kepala urusan pembangunan di tingkat kecamatan, dibantu mantri statistik dan aparat desa, mengolah data untuk evaluasi perkembangan desa. Ukuran yang dipakai ada tujuh indikator, yang salah satunya adalah tingkat pendapatan desa per kapita. Data itu diambil dan dikalkulasikan Kantor Bangdes di kabupaten, terus dinaikkan ke tingkat provinsi, Dirjen Pembangunan Desa, sampai Departemen Dalam Negeri. ''Data inilah yang dipakai untuk menyusun peta kemiskinan itu,'' kata Ginandjar. Secara nasional, tingkat kemiskinan diukur dengan kriteria Biro Pusat Statistik (BPS), yaitu 2.100 kalori per kepala per hari. Sehingga dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 1990 itu ditemukan 27,2 juta penduduk miskin di Indonesia. Dari jumlah itu, yang tinggal di desa tercatat dua kali lipat (17,8 juta) dibanding dengan yang ada di kota. Dan komposisi ini terjadi dari tahun ke tahun (Lihat: Tabel). Menurut Ketua BPS Azwar Rasjid, peta kemiskinan itu datanya memang ada yang berasal dari BPS, tapi juga ada dari sumber- sumber lain, seperti Bangdes. BPS menyumbang data desa miskin, yang diukur berdasarkan fasilitas yang ada di desa (potensi desa) dan bukannya data pendapatan penduduk desa itu. Bappenas menggabung data BPS, Bangdes, dan sumber lain. Tapi lain lagi yang dibilang Bappenas. Menurut Deputi Bidang Regional dan Daerah Bappenas Sugianto Soegijoko, pihaknya tak menggunakan data BPS yang dikumpulkan melalui survei potensial desa itu. ''Data potensial desa versi BPS itu tidak operasional. Susah untuk mengukur kalori,'' katanya. Sedangkan penentuan garis kemiskinan untuk peta kemiskinan itu diukur dengan kriteria Sayogyo, yang menghitung besarnya pendapatan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan hidup minimum. Yakni, minimum 240 kilogram beras untuk pedesaan dan 480 kilogram beras untuk perkotaan, hingga didapat rata-rata 360 kilogram beras per kepala per tahun (setara Rp 210.000). Sebuah desa, lanjut Ginandjar, bisa disebut miskin bila rata- rata pendapatan penduduk per kepala di bawah garis kemiskinan itu. Kalau dalam satu kecamatan 50% hingga 75% desanya miskin, kecamatan itu masuk kategori miskin. Tapi, bila lebih dari 75% desanya miskin, kecamatan itu masuk kategori sangat miskin. Peta Kemiskinan itu memang menggambarkan batas-batas kabupaten dan kecamatan per provinsi. Kantong-kantong kemiskinan ditandai dua macam titik-titik. Lokasi yang digambar dengan titik-titik halus menunjukkan kecamatan miskin. Bila hiasan titik-titik itu rapat, berarti di situlah kecamatan yang amat miskin. Tampaklah semua provinsi di Indonesia penuh titik-titik gelap di sana-sini. Aceh misalnya, di sana ada 65 kecamatan miskin dan sangat miskin, warna petanya belang-belang. Di Jawa, yang petaninya kebanyakan hanya punya lahan kurang dari seperempat hektare, petanya pun belang-bonteng. Jawa Timur yang pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata nasional ternyata malah terbanyak memikul kantong kemiskinan. Tercatat 212 kecamatan miskin dan sangat miskin tersebar di Jawa Timur. Jawa Tengah punya 192 kecamatan miskin dan sangat miskin, Jawa Barat ada 142 kecamatan miskin dan sangat miskin. Di Jakarta, yang di sana-sini terhampar kampung kumuh, terdapat 13 kecamatan miskin, tapi tak satu pun masuk golongan sangat miskin. Berdasarkan peta inilah Bappenas menyusun perencanaan lokasi- lokasi mana saja yang perlu mendapat bantuan program pengembangan kawasan terpadu (PKT). Yakni, program perbaikan kawasan terpencil, terisolasi, terbelakang, dan miskin, yang dimulai sejak awal Pelita V. ''Penanganan masalah kemiskinan tidak cukup lagi ditangani secara makro. Tapi harus disesuaikan dengan kebijakan di setiap daerah, mengingat kantong-kantong kemiskinan itu merata di seluruh provinsi,'' kata Ginandjar. Ternyata menunjuk kantong-kantong kemiskinan bukan perkara sepele. Protes muncul pertama kali dari Gubernur Sumatera Selatan Ramli Hasan Basri. Usai menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Senin pekan lalu, Ramli mengaku sudah mendatangi wilayah miskin yang disebut peta kemiskinan Ginandjar. Sumatera Selatan disebut punya empat kecamatan miskin dan delapan kecamatan sangat miskin. ''Padahal, pada umumnya desa-desa itu sudah maju, dan tak bisa lagi digolongkan sebagai daerah miskin,'' kata Ramli sembari menguraikan keberhasilan swasembada pangan, khususnya beras, di daerahnya. Ramli lalu memerintahkan aparatnya menyusun peta kemiskinan yang baru, yang diharapkan selesai akhir Juli nanti. ''Saya yakin betul, peta kemiskinan yang baru itu akan berbeda dengan yang diumumkan Bappenas,'' ujar Ramli. Protes serupa meruyak di berbagai daerah. Ada yang merasa daerahnya kaya tapi dibilang miskin, tapi yang miskin malah tak disebut. Perbedaan acuan yang dipakai, antara data BPS dan yang dipakai Bappenas, rupanya membuat bingung orang daerah. Misalnya, di Tulungagung, menurut Bappenas, hanya dua kecamatan yang tidak miskin: Tanggunggunung dan Karangrejo. ''Padahal Tanggunggunung itu kecamatan paling miskin yang terletak di pegunungan tandus,'' ujar Bupati Djaefuddin Said kepada TEMPO. Namun, ada pula yang mengaku tak kaget dengan peta kemiskinan, dan tak perlu menutup-nutupi fakta. ''Data Bappenas itu tak jauh beda dengan proyeksi yang dibuat Pemda Tingkat Jawa Tengah. Penilaian itu wajar dan akan dijadikan pemicu untuk sesegera menuntaskan kemiskinan,'' ujar Gubernur Ismail. Bahkan Ketua Bappeda Pacitan Hery Trianto berterima kasih karena kabupatennya dinyatakan termiskin se-Jawa Timur. ''Dengan data itu kami berharap mendapatkan bantuan lebih besar lagi untuk mengentaskan kemiskinan,'' katanya. Dari 12 kecamatan, 10 kecamatan di Pacitan dinyatakan miskin. ''Yang akurat, semua kecamatan di Pacitan miskin,'' tambahnya. Presiden Soeharto rupanya amat mahfum dengan mencuatnya berbagai reaksi terhadap peta kemiskinan itu. Pak Harto minta agar para kepala daerah menjadikan data itu sebagai titik tolak untuk melakukan check and recheck. ''Cocokkan hasil pengecakan di lapangan dengan data yang sudah ada,'' ujar Pak Harto seperti diungkapkan Menteri Harmoko Rabu pekan lalu. Maka, Ginandjar pun menyatakan kemungkinan dilakukannya revisi terhadap peta kemiskinan. ''Jangan ada kesan peta itu sudah final. Jika perlu, peta itu disempurnakan setiap Pelita atau bahkan setiap tahun,'' kata Ginandjar. Pihaknya telah mengirim surat kepada para gubenur dan bupati untuk melakukan evaluasi lebih lanjut mengenai kantong-kantong kemiskinan di wilayah masing-masing. Ginandjar menunggu masukan dari gubernur dan bupati hingga 30 Juni 1993. Sementara itu, Bappenas dan BPS akan berembuk untuk menetapkan kriteria kemiskinan yang baru. Dan Departemen Dalam Negeri juga telah menginstruksikan Bappeda-nya untuk memberikan tanggapan resmi terhadap peta kemiskinan versi Bappenas. Tentu, tanggapan tak berarti sekadar malu disebut miskin. Data- data memang harus akurat, dan kriteria untuk pengukurannya pun perlu lebih sahih. Sebab data kemiskinan tak mesti miskin data. Ardian Taufik Gesuri, Iwan Qodar Himawan, Wahyu. M (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini