TUBUHNYA tegap dan kekar. Wajahnya, yang dihiasi kumis yang terawat rapi, tak mudah mengumbar senyum. Ia memang selalu tampak serius. Itulah Letnan Jenderal Feisal Tanjung yang Jumat pekan depan dilantik Presiden menjadi panglima ABRI, menggantikan Jenderal Edi Sudradjat. Jabatan Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI, yang ditinggalkan Feisal, akan diisi oleh Mayor Jenderal H.B.L. Mantiri, kini Asisten Operasi Kasum ABRI. Selain itu, Kepala Staf Sosial Politik ABRI, yang selama lima tahun ini dipegang oleh Letnan Jenderal Harsudiono Hartas, akan diserahkan kepada Mayjen Haryoto P.S., Asisten Sosial Politik Kassospol ABRI. Munculnya nama Feisal Tanjung, 54 tahun, sebagai calon Pangab sudah lama jadi bahan bisik-bisik kalangan elite di Jakarta, terutama setelah suksesnya Dewan Kehormatan Militer (DKM) mengusut kasus Santa Cruz, Timor Timur. Hasil penyelidikan DKM yang dipimpin Feisal ini menyebabkan sejumlah perwira ABRI di Timor Timur ditindak. Pangdam Udayana Mayjen Sintong Panjaitan, misalnya, dicopot dari jabatannya, sedangkan Pangkolakops Timor Timur Brigjen Warouw beserta sejumlah perwira lainnya diberhentikan dari ABRI. Feisal dilahirkan 17 Juni 1939 di Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sum-Ut. Ketika itu A.H.A. Mun'im, ayahnya, sedang ditugasi oleh Muhammadiyah untuk berdakwah di daerah itu. Sang ayah adalah Konsul Muhammadiyah Tapanuli di Sibolga, wilayahnya meliputi seluruh Tapanuli dan Nias. Setelah hampir dua tahun di Tarutung, Mun'im pulang ke Sibolga. ''Jadi sebenarnya aku ini hanya lahir di Tarutung, tapi dibesarkan di Sibolga,'' kata Feisal suatu kali. Ia dilahirkan dalam lingkungan keluarga besar, 10 bersaudara, hasil perkawinan Mun'im dengan Siti Rawani boru Hutagalung. Nama lengkapnya adalah Feisal Etno Tanjung. Nama Etno diambil sang ayah dari abjad kelima, E, sesuai dengan urutan Feisal sebagai anak kelima. ''Ayah memang menandai urutan anak-anaknya menurut abjad,'' kata Farhan Ivan Tanjung salah seorang adik Feisal pegawai Kanwil Departemen Perhubungan Sumatera Utara, di Medan. Adik Feisal, Brigjen (Marinir) Farouk Tanjung, menggunakan Freddy (dari huruf F), karena ia anak keenam. Farouk, terakhir menjabat Kastaf Korp Marinir TNI-AL, meninggal dunia tahun lalu. Dengan latar belakang keluarganya yang aktivis Muhammadiyah, wajar bila Feisal dan saudaranya ditempa oleh kehidupan beragama yang ketat. ''Kalau nggak salat atau malas mengaji, Ayah memberi kami pukulan rotan,'' kata dr. Fahmi Ahda Tanjung, kakak sulung Feisal, pegawai Depkes di Jakarta. Sang ayah sebelum meninggal 1970-an di Medan dikenal sebagai mubalig biasa membawa pulang bahan bacaan dan buku-buku agama. Adalah biasa bagi Feisal, seusai mengaji, menghabiskan malamnya di mesjid. Tapi, seperti umumnya dunia anak-anak, Feisal kecil juga sering mencuri mangga dan pepaya tetangga. Ia juga dikenal sebagai jagoan berkelahi, tapi sekaligus jagoan di sekolah. Setelah duduk di kelas 5 Sekolah Rakyat (sekarang SD) ia langsung lompat masuk SMP. Hingga sekolah ke SMA B dan melanjutkan ke AMN, anak yang besar kepalanya ini (ukuran kepalanya memang besar) masih gemar begadang. ''Anehnya, di sekolah ia selalu mendapat nilai ujian yang bagus-bagus,'' kata Lettu Bachtiar Adam, Lurah Sei Rengas Permata Medan, teman sepermainan Feisal Tanjung di masa kanak- kanak, di Medan. Keluarga Feisal pindah ke Medan pada tahun 1950-an, ketika ayahnya jadi pegawai Departemen Penerangan. Nama Feisal menanjak ketika tampil sebagai pemimpin kelompok anak muda yang dijuluki ''Ujung Kampung'' di Jalan Serdang, Medan. Feisal dikenal karena kalau berkelahi selalu mengandalkan tangan kosong alias tak mau pakai senjata tajam. ''Makanya perutnya pernah kena tikam pisau ketika berkelahi membela adiknya,'' kata Ban-Ban, panggilan sang lurah tadi. Menurut cerita Ban-Ban lagi, Feisal senang sekali membaca. Cerita detektif dan perang menjadi menu hariannya. Ia juga suka buku biografi tokoh seperti Shakespeare, dan menyenangi musik Elvis Presley, selain Nat King Cole. Kepada TEMPO, beberapa waktu yang lalu, Feisal mengaku sebagai pembaca tetap Catatan Pinggir Goenawan Mohamad. Dengan bekal pengalaman masa kanak-kanak, ditambah tempaan hidup dan disiplin di AMN, pria ini mengawali karier militernya sebagai komandan peleton di Kodam Pattimura, Maluku, tahun 1961. Lalu ia masuk ke jajaran Baret Merah, sebagai Komandan Kompi I RPKAD kini disebut Kopassus dan menjadi Komandan Grup I pada tahun 1972. Ia pernah pula dipercayai sebagai Komandan Brigif Linud, dan Panglima Komando Tempur Lintas Udara Kostrad, 1983. Feisal juga banyak memperoleh pendidikan di luar negeri. Antara lain, ia pernah mengikuti sekolah komando di Hamburg, Jerman Barat, 1972. Pada saat itu Prof. B.J. Habibie juga berada di Hamburg, bekerja pada perusahaan pesawat terbang MBB. Tak aneh kalau hubungan kedua tokoh ini cukup akrab. Karier Feisal yang penuh dengan operasi militer itu Feisal yang memimpin penangkapan Mbah Suro, 1965 rupanya dinilai baik. Terbukti Feisal, yang punya tiga anak dari istrinya Dokter Masrowida Lubis itu, merupakan lulusan AMN 1961 yang pertama dipercayai menjadi panglima Kodam, ketika ia menjabat Pangdam Tanjungpura di Banjarmasin, 1985. Dari sana ia menjabat Komandan Seskoad, lalu Kasum ABRI, dan kini melejit menjadi orang nomor satu di jajaran ABRI. Agus Basri dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini