Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERHATIAN kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Surabaya itu teralihkan ketika Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana ke luar ruangan pada Ahad pekan lalu. Kehadiran keduanya di kantor partai banteng moncong putih di Jalan Kapuas, Surabaya, itu disambut ribuan kader yang meneriakkan pekik kemenangan.
Di depan pendukungnya, Tri Rismaharini—biasa disapa Risma—lalu menyampaikan pidato singkat. Ia memohon doa kemenangan dalam pemilihan Wali Kota Surabaya, Desember mendatang.
Keduanya kemudian naik becak menuju Sekretariat Komisi Pemilihan Umum Kota Surabaya di Jalan Adityawarman. Di bawah terik matahari, iring-iringan itu dikawal ratusan sepeda motor dan kereta kelinci. Perjalanan sepanjang 1,5 kilometer ini diwarnai tetabuhan beragam alat musik dan yel-yel, "Risma-Wisnu menang!"
Pendaftaran itu menjadi akhir drama politik antara Risma dan Wisnu selama empat tahun terakhir. Namun, menurut Wisnu, rekomendasi untuk mendampingi Risma sudah ada sejak satu tahun lalu. "Selama ini, kami memang tak menunjukkan 'kemesraan'," kata Wisnu, Kamis pekan lalu.
Peresmian pasangan ini terjadi setelah perseteruan panjang dan melelahkan. Genderang perselisihan dimulai pada 2011, tatkala usia pemerintahan Risma-Bambang Dwi Hartono baru seumur jagung. Kala itu, Risma dituduh menerabas aturan saat menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 56 dan 57 Tahun 2010 tentang Kenaikan Pajak Reklame. Wisnu, ketika itu Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya, aktif menggalang hak angket buat menjatuhkan Risma. Ribut-ribut itu berakhir setelah ada intervensi pengurus pusat partai.
Dua tahun kemudian, hubungan Risma-Wisnu kembali panas-dingin. Kala itu, Bambang mundur setelah diusulkan menjadi calon Gubernur Jawa Timur. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai pengusung Risma, menyorongkan nama Wisnu buat menggantikan Bambang. Risma sempat masygul karena pengajuan putra almarhum Soetjipto Soedjono, tokoh senior PDI Perjuangan, itu dilakukan tanpa konsultasi dengannya. Situasi kian runyam ketika panitia di Dewan menyatakan proses pemilihan Wisnu cacat hukum.
Panitia pemilihan kemudian mengirim surat kepada Kementerian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kisruh ini sempat mampir ke Senayan. Pemicunya: Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR kala itu, ikut-ikutan latah memanggil Risma. Ia lalu meneruskan persoalan ini ke Komisi Pemerintahan.
Belakangan, Komisi Pemerintahan mengembalikan persoalan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya. Alasannya, Dewan di Senayan bukan atasan DPRD yang bisa membatalkan proses pemilihan. Komisi Pemerintahan juga beralasan PDI Perjuangan berhak menyodorkan nama pendamping Risma.
Sikap ngotot PDI Perjuangan mengajukan nama Wisnu membuat Risma gusar. Ia tak menghadiri pelantikan wakilnya pada 24 Januari 2014. Satu pekan sesudah pelantikan, Risma absen dalam berbagai kegiatan dinas. Konflik ini mereda setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri turun tangan. Megawati memanggil Wisnu dan Risma bergiliran ke kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Namun hubungan Risma, Wisnu, dan PDIP Surabaya sejak saat itu tak pernah akur-akur amat.
Lama tak ada kabar, ketidakharmonisan keduanya muncul kembali saat PDIP Surabaya menggelar konferensi cabang di Sidoarjo, awal Maret lalu. Partai berlambang banteng ini tak mengundang Risma. Tanda-tanda memanasnya tensi di Surabaya tecermin saat acara dibuka. Bambang, yang hadir di acara itu, mengungkapkan bahwa Wisnu menyampaikan pidato yang berapi-api. Dalam pidatonya, ia menyatakan akan ikut bertarung dalam pemilihan wali kota. "Ketika itu, saya sempat memuji Wisnu," ujar Bambang pekan lalu.
Konferensi itu sepakat tak mengusung Risma sebagai calon wali kota dengan dalih bukan kader partai. Mereka memutuskan mendukung Wisnu, yang juga secara aklamasi terpilih kembali sebagai Ketua PDIP Surabaya. Kepada Tempo, Wisnu membantah pernah mengeluarkan pernyataan bakal menjadi calon wali kota. Hasil konferensi, kata Wisnu, tak pernah menyatakan akan meninggalkan Risma. Menurut Wisnu, partai hanya akan mencalonkan seseorang yang sudah menjadi kader.
Risma bukan tak menyadari ada kader PDI Perjuangan yang tak menyukainya. Salah satu penyebabnya: dia tak pernah menyinggung soal partai yang mengusungnya selama menjabat wali kota. Ia juga pernah menolak puluhan calon pejabat yang diusulkan PDI Perjuangan. Akibatnya, kata Risma, banyak kader tak memahami sikapnya terhadap partai banteng tersebut. Menurut Budi Leksono, Bendahara PDIP Surabaya, Risma juga tak pernah mengikuti rapat fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya.
Kebekuan hubungan antara Risma dan PDI Perjuangan masih terbawa hingga kongres berlangsung di Hotel Grand Bali Beach, Sanur, awal April lalu. Budi Leksono mengatakan PDIP Surabaya tetap tak akan memperjuangkan Risma mempertahankan kursi Surabaya-1. Namun, kata orang dekat Wisnu, kebuntuan itu perlahan terkikis dengan kehadiran Risma di arena kongres mengenakan pakaian merah. Apalagi, di sela-sela kongres, Risma sempat bertemu dengan Megawati. Sejak itu, pelan-pelan komunikasi Risma dan Wisnu mulai mencair.
Sejumlah pendukung Risma menambahkan, beberapa saat setelah kongres, Wisnu menemui Risma di rumah dinas wali kota di Jalan Sedap Malam, Surabaya. Dalam pertemuan itu, Wisnu mengutarakan berbagai hal mengenai kondisi politik partai, termasuk mengajak Risma berduet kembali pada pemilihan kepala daerah Desember mendatang. Wisnu juga mengundang Risma menghadiri Rapat Kerja Khusus PDI Perjuangan Surabaya pada 8 Juli lalu. "Sejak itu, keduanya kembali bisa ngobrol."
Kepada Wisnu, Risma meminta tak ada uang yang disebar dalam pencalonan mereka. Wisnu menegaskan, PDI Perjuangan tak mengenakan mahar pada Risma seandainya bersedia maju bersamanya. Sikap ini diterima kedua belah pihak. Karena itulah Risma bertahan dan memilih PDI Perjuangan sebagai kendaraan politik dalam pemilihan mendatang. "Kalau mereka menghargai prinsip saya, masak iya saya musuhan," ujar Risma.
Sejak pertemuan pertama di kediaman dinas Risma, komunikasi keduanya menjadi lebih intens. Berbeda dengan saat acara partai sebelumnya, Risma diundang menghadiri Rapat Kerja Khusus PDIP Surabaya di Gedung Wanita awal Juli lalu. Ketika mendatangi lokasi acara, Risma hadir dengan seragam merah, warna kebesaran PDI Perjuangan.
Peraih World Mayor Prize 2012 ini juga duduk di podium utama bersama Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto dan pengurus teras PDIP Surabaya. Dalam rapat itu, rekomendasi pencalonan Risma-Wisnu dibacakan Ketua PDIP Jawa Timur Kusnadi. Setelah pembacaan rekomendasi, Hasto secara simbolis memberikan kartu anggota kepada Risma. Di depan juru warta, Risma mengaku telah mundur sebagai pegawai negeri sipil sebulan sebelumnya.
Seorang politikus PDIP menuturkan, akurnya Risma dan Wisnu tak lepas dari campur tangan Megawati. "Megawati dan Risma memiliki kedekatan khusus," ujarnya. Saat disebut-sebut bakal masuk kabinet Presiden Joko Widodo, Risma kepada Megawati menyatakan menolak. Pengurus pusat yang mengetahui pertemuan Wisnu dengan Megawati menyatakan Wisnu diminta berkomitmen mendampingi Risma. Sebab, jika periode kedua berakhir dan berhasil, Wisnu juga yang bakal memetik hasilnya. "Istilahnya kesabaran revolusioner," kata politikus itu menirukan ucapan sejumlah pengurus partai.
Risma membenarkan peran sentral Megawati. Dia berujar, "Titik temunya ada peran Ibu." Dia, misalnya, didaulat menjadi pembicara dalam sekolah calon kepala daerah PDI Perjuangan di Wisma Kinasih, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pada 21 Juli lalu. Sekolah ini menghadirkan kepala-kepala daerah partai pemenang Pemilu 2014 yang dinilai berhasil memajukan wilayahnya. Saat Tempo datang ke sekolah itu, kedekatan Megawati dan Risma tecermin ketika keduanya menumpang mobil yang sama ke tempat acara. Mereka juga duduk bersebelahan saat makan siang. Ketika pulang, lagi-lagi keduanya diantar Toyota Alphard hitam yang sama.
Saat berbicara di depan para calon kepala daerah, Megawati sempat mengenang masa-masa ketika rekomendasi Risma hendak diteken. Ketika bertandang ke Kota Pahlawan, Megawati melihat kinerja Risma yang menciptakan banyak taman. "Dulu, saat Surabaya disebut, saya cuma ingat panasnya," ujarnya.
Saat di Surabaya itulah Megawati sempat berbincang dengan Risma, "Saya tanya, 'Ibu senangnya apa?' Dia jawab, 'Saya senangnya kerja, Bu'." Mendengar jawaban ini, Megawati tak menemukan kesulitan untuk merestui wali kota perempuan pertama di Surabaya ini.
Wayan Agus Purnomo, Robby Irfany (Jakarta), Mohammad Syarrafah (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo