Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Selama hidupnya, Gus Dur kerap mendobrak berbagai diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas.
Kini intoleransi dan diskriminasi kian meningkat.
Bagaimana empat putri Gus Dur melanjutkan dobrakan sang ayah?
BERSAMA seribuan orang, Khoiruddin ikut memadati kompleks makam Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, pada Sabtu, 21 Desember 2019. Datang bersama istri dan anak-anaknya, Khoiruddin hendak berziarah ke makam keluarga besar pendiri Nahdlatul Ulama, Hasyim Asy’ari, dan putranya, Wahid Hasyim, serta sang cucu, Abdurrahman Wahid. “Kami ingin mencari berkah dari para ulama,” kata pengasuh Madrasah Aliyah al-Islamy, Desa Sedati, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, itu.
Namun, hari itu, kompleks makam sedang ditutup menjelang peringatan sepuluh tahun meninggalnya Abdurrahman Wahid—yang biasa dipanggil Gus Dur. Ribuan orang yang meruah pun memilih duduk di sepanjang lorong menuju kubur para aulia itu. Mereka mendaraskan tahlil berulang-ulang. Suara pengajian pun terdengar di mana-mana.
Tebuireng hampir selalu ramai pengunjung, dengan lebih dari 50 bus parkir di situ setiap hari. Sejumlah media lokal menyebutkan pengunjung meningkat setelah Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009, disemayamkan di situ. Mereka datang dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan luar negeri. Adik Gus Dur yang juga pengasuh Pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, mengatakan pada hari biasa jumlah peziarah bisa mencapai 3.000 orang. “Kalau hari libur, bisa 8.000-9.000 orang,” kata Gus Solah, panggilannya, saat dihubungi pada Rabu, 1 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebersamaan ke-empat anak Gus Dur , dari kiri, Zannuba Ariffah Chafsoh, Inayah Wulandari, Anita Hayatunnufus, dan Alissa Qotrunnada, di Universitas Islam Negeri pada 18 Desember 2019. TEMPO/Yovita Amalia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski raganya sudah berselimut tanah, nama Abdurrahman Wahid tetaplah raksi. Pada prasasti di makam presiden keempat Indonesia itu tertulis, “Di sini terbaring pejuang kemanusiaan,” dalam empat bahasa: Indonesia, Inggris, Arab, dan Mandarin.
Selama 21 bulan menjadi presiden—dilengserkan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 23 Juli 2001—Gus Dur memang berperan meruntuhkan berbagai diskriminasi terhadap kaum minoritas, sikap yang juga ditunjukkannya sebelum masuk Istana. Ia, misalnya, mencabut larangan perayaan Imlek yang berlaku hampir 30 tahun pada masa Orde Baru. Gus Dur juga mengakui Konghucu sebagai agama resmi. “Bapak selalu bilang kaum Tionghoa sudah terlalu didiskriminasi,” kata putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid.
William Liddle dalam artikel berjudul “My Name is Abdurrahman Wahid” mengatakan Gus Dur adalah seorang pemuda nyeleneh dengan pikiran tajam yang tak nyaman dengan keyakinan dan praktik Islam konvensional. “Dia ingin menunjukkan, nilai dan praktik tradisional kiai diperlukan untuk transisi ke masyarakat modern,” tulis Liddle.
Gus Dur juga mengembalikan nama Papua, yang selama Orde Baru disebut sebagai “Irian Jaya”. Dia pun tak melarang pengibaran bendera Bintang Kejora milik rakyat Papua, dengan catatan tidak lebih tinggi ketimbang Merah Putih. Tom Beanal, Ketua Presidium Dewan Papua, bercerita, dia dulu bahkan tak berani bermimpi Bintang Kejora bisa berkibar di tanah Papua. Karena itulah, “Saya sangat menghormati Gus Dur,” ujarnya.
Tumbuh di lingkungan nahdliyin yang kuat—kakeknya pendiri NU dan ayahnya pernah menjadi Menteri Agama—Gus Dur juga menempa ilmu di Kairo, Mesir, dan Bagdad, Irak. William Liddle dalam artikel berjudul “My Name is Abdurrahman Wahid” mengatakan Gus Dur adalah seorang pemuda nyeleneh dengan pikiran tajam yang tak nyaman dengan keyakinan dan praktik Islam konvensional. “Dia ingin menunjukkan, nilai dan praktik tradisional kiai diperlukan untuk transisi ke masyarakat modern,” tulis Liddle.
Sikap nyeleneh itu terlihat ketika dia membela kelompok Ahmadiyah pada 2008, ketika pemerintah berniat mengeluarkan surat keputusan bersama ihwal pembubarannya. “Selama saya masih hidup, saya akan tetap mempertahankan gerakan Ahmadiyah,” ujarnya. Istrinya, Sinta Nuriyah, membela pula hak-hak jemaah Ahmadiyah, juga Syiah, yang mengalami diskriminasi. Setelah Gus Dur meninggal, serangan terhadap Ahmadiyah kian gencar. Misalnya penganiayaan jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Februari 2011, yang mengakibatkan tiga pengikutnya tewas.
Belakangan, intoleransi dan diskriminasi juga terus meningkat. Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2019, sebanyak 20 dari 34 provinsi mengalami penurunan kebebasan berkeyakinan. Hasil penelitian Wahid Institute, organisasi yang didirikan Gus Dur, juga menunjukkan kenaikan pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama. Pada 2018, jumlah pelanggaran sebanyak 276, naik dari 265 pada tahun sebelumnya.
Abdurrahman Wahid saat mengunjungi Papua, Desember 1999. Dok. Pojok Gus Dur
Dalam kondisi itulah generasi kedua Gus Dur, yaitu empat putrinya, berusaha meneruskan jejak ayah mereka. Alissa kini mengembangkan jaringan Gusdurian, organisasi yang berfokus pada advokasi dan kemanusiaan. Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid mengelola Wahid Institute dan aktif di jalur politik. Anita Hayatunnufus Wahid sejak kuliah aktif dalam gagasan pemberantasan korupsi. Kini dia terlibat sebagai anggota presidium di Masyarakat Antifitnah Indonesia dengan fokus melawan penyebaran hoaks dan disinformasi. Adapun si bungsu, Inayah Wulandari Wahid, aktif di dunia kesenian dan dianggap mewarisi bakat melucu-menyindir ala Gus Dur.
Seperti ayahnya yang lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil, yang berarti Abdurrahman sang pendobrak mereka mencoba mendobrak berbagai diskriminasi dan intoleransi di negeri ini. Sikap mendobrak itu sudah ditunjukkan putri-putri Gus Dur saat masih berada di Istana. Anita, misalnya, kerap kucing-kucingan dengan Pasukan Pengamanan Presiden. Suatu kali, dia masuk Istana dengan bercelana jins dan didamprat penjaga Istana yang tak mengenalinya sebagai putri presiden.
Yenny Wahid (ketiga dari kiri) bersama sejumlah mahasiswa asal Papua berziarah ke makam Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, 21 Agustus 2019. ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Seperti Gus Dur, mereka tentu memiliki berbagai keterbatasan dan kekurangan. Namun apa yang mereka kerjakan, sering dalam kesenyapan dan jauh dari ingar-bingar pemberitaan, bisa menjadi angin segar untuk negeri yang belakangan panas oleh berbagai aksi intoleransi dan diskriminasi ini.
WAYAN AGUS PURNOMO (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ISHOMUDIN (JOMBANG)
Gebrakan 21 Bulan
JABATAN presiden hanya dipegang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selama 21 bulan, sejak 20 Oktober 1999. Dalam masa yang singkat itu, ia membuat sejumlah gebrakan yang bertujuan menghapus diskriminasi dan menghargai pluralisme.
Pembela Orang Papua dan Cina
» Membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan yang dianggap penuh korupsi.
» Saat Hari Hak Asasi Manusia Internasional, 10 Desember 1999, Gus Dur mengundang para orang buangan atau eksil yang tak bisa pulang akibat peristiwa 30 September 1965. Ia memerintahkan para menterinya memulihkan hak bekas tahanan politik dan orang di pengasingan.
» Meminta maaf atas peran Nahdlatul Ulama dalam pembunuhan massal 1965-1966.
» Mewacanakan pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV Tahun 1966 yang berisi larangan terhadap Partai Komunis Indonesia serta pengharaman ajaran seperti komunisme dan Marxisme.
» Mengembalikan nama Papua yang selama Orde Baru diganti menjadi “Irian Jaya”. Ia juga mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua.
» Mengakui Konghucu sebagai salah satu agama resmi Indonesia.
» Menjadikan tahun baru Cina sebagai hari libur nasional dan menghapus larangan peringatan budaya Cina.
» Mendorong penghapusan dwi fungsi tentara dengan memisahkan jabatan Panglima TNI dan Menteri Pertahanan.
Sumber:
Arsip Tempo, buku Abdurrahman Wahid: Muslim Democrat, Indonesian President dan Buku The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid karangan Greg Barton, Gusdur.net, Nahdlatul Ulama, Wahid Institute
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo