Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh dan organisasi serikat buruh akan menggeruduk Kantor Mahkamah Konstitusi atau MK dan Istana Negara, Jakarta Pusat, hari ini Senin, 5 Juni 2023. Aksi tersebut merupakan rangkaian demonstrasi menuntut pencabutan Undang-undang atau UU Cipta Kerja. Sebelumnya, sejumlah aksi juga digelar bergelombang di sejumlah wilayah Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh akan mengadakan aksi 5 Juni 2023 di depan kantor Mahkamah Konstitusi (MK) dan Istana Negara. Aksi dilakukan bergelombang sampai 20 Juli,” ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam konferensi pers pada Sabtu, 3 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian aksi buruh terkait problem UU Cipta Kerja ini bukan kali pertama. Beberapa pasal dalam beleid tersebut mendapat banyak penolakan. Bahkan ketika masih dalam bentuk rancangan. Lantas mengapa UU Cipta tidak dapat diterima oleh masyarakat?
Gagasan tentang UU Cipta Kerja pertama kali diungkap Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Ide itu dia sampaikan saat pelantikan dirinya sebagai Presiden RI periode kedua, pada 20 Oktober 2019 lalu. Menurutnya, UU tersebut diperlukan guna mengatasi tumpang tindih peraturan di Tanah Air. Terutama terkait investasi dan lapangan kerja.
Jokowi kemudian memerintahkan jajarannya menyusun draf Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja. Empat bulan sejak diusulkan, pada medio Februari 2020 draf tersebut dinyatakan rampung. RUU tersebut kemudian disodorkan ke DPR dan mulai dibahas lembaga legislatif pada April 2020.
Rancangan UU itu ternyata menuai penolakan dari berbagai kalangan. Sejumlah 0asal dinilai bermasalah. Para buruh kemudian menggelar aksi protes di banyak tempat. Bakal UU itu dikhawatirkan merugikan hak-hak kaum pekerja. Mereka juga menilai beleid baru hanya menguntungkan pengusaha.
Selanjutnya: Rincian sejumlah pasal UU Cipta Kerja bermasalah
Berikut sejumlah pasal yang dinilai bermasalah, seperti dalam kajian Aliansi Rakyat Bergerak, Rapat Rakyat: Mosi Parlemen Jalanan.
1. Pasal 33
Pasal ini mengubah Pasal 30 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang melarang kegiatan impor kecuali dalam kondisi tertentu. Dalam Pasal 33 ini disebutkan kecukupan kebutuhan konsumsi dan atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan melalui impor.
“Omnibus law mendorong liberalisasi impor secara terang-terangan,” tulis kajian tersebut.
2. Pasal 66
Pasal ini memuat perubahan definisi ketersediaan pangan pada Pasal 1 Ayat 7 UU Pangan Nomor 18 tahun 2012. Pada RUU Cipta Kerja, ketersediaan pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan.
Padahal sebelumnya ketentuan impor hanya diperbolehkan bila hasil produksi dan cadangan nasional tak bisa memenuhi kebutuhan. Pasal ini juga mengubah Pasal 14 UU Pangan untuk mendukung penuh posisi impor yang disetarakan dengan produksi dalam negeri.
3. Pasal 89
Pasal ini mengubah ketentuan Pasal 59, Pasal 88, Pasal 90, Pasal 93, dan Pasal 151 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
• Penghapusan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan
Dengan dihapusnya Pasal 59 terkait pekerja kontrak untuk waktu tertentu atau PKWT, artinya tidak ada batasan kapan kontrak akan selesai. Membuat pelaku usaha terus-terusan memakai pegawai kontrak. “Ada kaitan dengan job insecurity atau ketidakpastian kerja,” tulis kajian itu.
• Perubahan Pasal 88
Lalu perubahan pada Pasal 88, menurut kajian, telah menghilangkan peran serikat pekerja dalam penentuan upah. Misalnya, klausul pasal 88B mengatur pemberian upah kepada pekerja berdasarkan aturan waktu dan atau satuan hasil. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pengusaha untuk memberikan upah yang minim.
Selanjutnya pada pasal 88D, penghitungan kenaikan upah minimum tidak lagi berlaku secara nasional. Tapi menggunakan standar UMP, yakni formula kenaikan ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi daerah. Apabila suatu daerah mengalami pertumbuhan ekonomi negatif, maka tahun berikutnya upah minimum bisa turun.
“Sekali lagi berbahaya bagi daya beli masyarakat dan buruh pada umumnya,” tulis kajian tersebut.
• Penghapusan Pasal 90
Pasal 90 UU Ketenagakerjaan dihapus pada RUU Cipta Kerja. Padahal klausul ini mencantumkan sanksi bagi pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum. Lalu perubahan pada Pasal 151 UU Ketenagakerjaan juga akan menghilangkan peran serikat buruh dalam melakukan negosiasi pemutusan hubungan kerja atau PHK dengan pihak perusahaan.
• Perubahan Pasal 93
Pasal 93 terkait ketentuan cuti khusus atau izin juga diubah dalam Pasal 89 RUU tersebut. Di antara perubahan itu adalah menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan. RUU “sapu jagat” ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, istri melahirkan/keguguran kandungan, hingga adanya anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia.
Selanjutnya: Pasal soal praktek monopoli
4. Pasal 117
Pasal ini mengubah beberapa ketentuan dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Yaitu Pasal 47 dan 48 yang menghapus denda minimal praktik monopoli. Sehingga dinilai meringankan hukuman bagi pelaku usaha monopoli.
Merespons penolakan itu, Jokowi sempat mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja khusus klaster ketenagakerjaan, pada April 2020. Tetapi lima bulan berselang, DPR dan Pemerintah kembali membahas RUU tersebut pada September 2020. Pembahasannya bahkan dikebut. Dalam tujuh bulan, April-Oktober, terhitung diselenggarakan rapat hingga 64 kali. RUU kemudian disahkan pada 5 Oktober 2020 menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020.
UU Cipta Kerja kemudian ramai-ramai digugat ke MK oleh berbagai pihak. Uji materi beleid ini berlangsung panjang. Setahun kemudian, November 2021, MK baru mengeluarkan keputusan. MK menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 itu inkonstitusional bersyarat. Tapi putusan MK itu diabaikan pemerintah dengan menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja tersebut
Pada Maret 2023 lalu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan Perpu Cipta Kerja tersebut menjadi Undang-Undang. Pengesahan tersebut dilakukan melalui Sidang Paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023.
Pilihan Editor: Said Iqbal Ancam Bawa UU Cipta Kerja ke Mahkamah Internasional Bila Uji Materi Ditolak MK
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.