HUJAN berhenti pukul enam. Tapi sisa dingin, Minggu malam pekan lalu, tak meredam marak yang mewarnai awal Kongres KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) VI di Wisma Haji di Pondok Gede, Jakarta Timur. Kongres yang dibiayai Rp 300 juta itu dibuka oleh Presiden Soeharto pada 28 Oktober sore, bersamaan dengan Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-62 di Stadion Utama Senayan. Ketika berlangsung pembahasan tata tertib sidang di Pondok Gede itu, terjadi debat sengit. Tampak sulit juga memilih anggota formatur untuk tiap unsur dan menetapkan batas usia calon Ketua Umum KNPI. Memakan waktu sekitar dua jam, sidang kemudian menentukan porsi tujuh anggota formatur. Mereka terdiri satu dari unsur DPP KNPI demisioner, satu dari MPI (Majelis Pemuda Indonesia), dua dari OKP (Organisasi Kemasyarakatan Pemuda), dan tiga dari DPD KNPI. Sidang pertama juga merekomendasikan usia calon ketua umum dibatasi sampai 35 tahun. Setelah itu, sidang dilanjutkan di Balai Sidang Senayan Senin pekan ini hingga 4 November. Kongres dihadiri sekitar 1.500 peserta. Mereka mewakili 299 DPD KNPI tingkat II se-Indonesia, 27 DPD KNPI tingkat I, 67 anggota Majelis Pemuda Indonesia (MPI), DPP KNPI, dan 31 OKP tingkat nasional. Ini tak termasuk peninjau. Kendati tahap pencalonan baru pada 3 November ini, bursa calon ketua umum periode 1990-1993 sudah beredar tiga figur yang diunggulkan: Tjahjo Kumolo, S.H., Drs. H. Nitra Arsyad, dan Ir. Harris Ali Moerfi, M.Sc. Ketiganya masih pengurus teras DPP KNPI periode 1987-1990. Tjahjo, Sekretaris Jenderal DPP KNPI 1987-1990, diperkirakan didukung oleh DPD-DPD dari Indonesia Bagian Timur, dan sebagian lagi dari Indonesia Bagian Tengah. Lahir di Solo 33 tahun lalu, saat ini ia anggota Komisi III Fraksi Karya Pembangunan di DPR RI dan Ketua Pusat Pemuda Panca Marga. Tjahjo disebut-sebut didukung ABRI. Konon, Mabes ABRI telah mengirim telegram ke berbagai DPD KNPI agar memilihnya. Dan komposisi formatur yang disepakati tadi dinilai menguntungkan baginya. "Kansnya 60 persen," kata seorang peserta kongres. Namun, ini belum dapat dipegang. Lagi pula, ada setitik nila yang mungkin akan menggoyang Tjahjo. Beberapa waktu lalu ia membuat makalah yang dibacakan di hadapan mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, yang disebut "menjiplak" bagian-bagian dari salah satu buku Arbi Sanit. Tuduhan muncul karena ia tidak mencantumkan sumber referensi. "Padahal, sumber itu saya sebut dalam catatan kaki. Dan apa salahnya saya mengutip sebuah buku sebagai referensi?" katanya. Sedangkan Drs. Nitra Arsyad adalah staf pengajar di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Politik UI. Ia lahir di Batusangkar, Sumatera Barat, 34 tahun lalu. Sebelum menjadi salah seorang ketua DPP KNPI, sejak 1976 ia aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Nitra pernah menjabat Ketua Departemen Kemahasiswaan PB HMI (1980). Di kalangan DPP KNPI dikenal sebagai sosok intelektual, kini ia diperhitungkan akan memperoleh dukungan dari OKP dan DPD-DPD Indonesia Bagian Tengah. Kansnya meraih ketua umum: 40 persen. Dalam pada itu Harris Ali Moerfi adalah salah seorang ketua DPP KNPI periode 1987-1990 dari unsur FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri ABRI dan Purna wirawan ABRI). Selain didukung Keluarga Besar ABRI (KBA), konon, kekuatan Harris diperkirakan berada di Indonesia Bagian Barat dan Kalimantan. Pendukungnya membayangkan 40% kemenangan sudah di tangannya. Ia calon termuda. Lahir 17 Februari 1959 di Semarang, anak sulung almarhum bekas Menpen Ali Moertopo ini terkesan pemalu dan low profile. Lulus dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia 1984, selain mewakili Jawa Tengah di MPR RI, kini Harris juga dosen di almamaternya. Mungkin ada yang menghambat tampilnya Harris dengan mengungkit kembali kasus penembakan terhadap seorang pemuda di Jalan Batu, Jakarta. Pemuda itu tewas. Gara-gara ini, pada 1979 ia dihadapkan ke pengadilan. Namun, ia divonis bebas oleh majelis hakim. "Ketika itu nyawa saya terancam, didatangi sembilan pemuda yang tak saya kenal bergelagat mau merampok. Saya membela diri. Saya mengambil senjata dari penjaga yang bertugas di rumah saya," katanya. Itu riwayat lama. Kini yang bakal jadi Ketua Umum DPP KNPI periode 1990-1993 masih samar. Untuk terpilih menjadi calon resmi, mereka harus didukung 15 DPD tingkat I. Setelah itu tim formatur memilihnya. Sedangkan "tradisi" restu dari atas sudah tak terdengar lagi. Memang, beberapa waktu lalu DPP KNPI menemui Pangab, Mendagri, Menpora, dan tiga kekuatan politik yang ada. "Ketika itu tidak ada yang menitipkan calon," kata Didiet Haryadi Priyohutomo, Ketua Umum DPP KNPI yang sekarang sudah demisioner. Golkar, misalnya, hingga saat ini bersikap netral. "Golkar korek terhadap tata cara dan prosedur pemilihan di KNPI. Golkar akan menghormati sepenuhnya. Tidak ada restu-restuan," ujar Sekjen Golkar Rachmat Witoelar. Padahal, ketika Musyawarah Nasional III AMPI pada Desember 1989, Ketua Umum Golkar Wahono, yang juga Ketua Dewan Pembina AMPI, terang-terangan mendukung Widjanarko Poespoyo yang sekarang menjadi Ketua Umum AMPI. Waktu itu ia berhasil menggeser Indra Bambang Utoyo. Sementara itu, pihak ABRI menampik isu "mendukung Tjahjo Kumolo". Beleid dari ABRI, soal kongres, dan pemilihan Ketua Umum KNPI itu diserahkan kepada floor. "Soal telegram yang dikirimkan ke daerah-daerah, itu juga salah. Mana ada ABRI mengirim berita, atau perintah lewat telegram, atau pos," kata Kapuspen ABRI Brigadir Jenderal Nurhadi. Nah, jelaslah sudah. Agaknya, ini pertanda bahwa forum pemilihan Ketua Umum KNPI bisa lebih meriah. "Mereka telah dewasa untuk memilih ketuanya," kata Menpora Akbar Tandjung. Suara lempang juga datang dari Menteri Dalam Negeri Rudini ketika Senin lalu memberi pengarahan. "Pemerintah tidak punya target menjadikan seseorang untuk dipilih sebagai Ketua Umum KNPI," katanya. "Siapa yang baik dan lebih berkualitas, itulah yang pantas. Sekarang tidak ada main restu-restuan." Priyono B. Sumbogo dan Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini