Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggugat si nomor lima

Tim peneliti yang dipimpin mubyarto menganggap uu nomor 5/1979 tentang pemerintahan desa tidak cocok diterapkan di desa di luar jawa. di jambi seorang kades digaji rp 25.000/bulan. kades sering mangkir.

3 November 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH lama Ibrahim, 63 tahun, bosan menjadi kepala desa. Maklum, jabatan ini telah dipegangnya selama 34 tahun. Namun, mencari penggantinya sebagai pimpinan Desa Senaning, Kecamatan Perwakilan Pemayung, Batanghari, Jambi, ternyata susah. Tak seorang pun yang mau menggantinya. Penghasilan kepala desa memang tidak menarik: cuma sekitar Rp 25 ribu/bulan. Itu pun baru bisa diambil setiap enam bulan sekali. Jadi, "bagaimana mau hidup," keluh Ibrahim. Nasib seperti ini tak hanya menimpa Ibrahim sendirian. Hampir di semua kepala desa di Jambi keadaannya tak jauh berbeda. Akibatnya, seluruh pembangunan di tingkat desa pun ikut terhambat. Salah satu biang penyebabnya, menurut Loekman Soetrisno, pakar sosiologi industri dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. adalah: Undang-Undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. "Saat ini kondisi desa-desa di sana jelas lebih jelek atau lebih mundur dari sebelumnya," kata Loekman, anggota tim peneliti dari Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM Yogyakarta, yang melakukan riset di Jambi sejak April 1990 hingga September 1990 silam. Hasil penelitian itu diseminarkan di Jambi 8 Oktober silam. Loekman bahkan menyimpulkan, "UU itu bukan hanya tak efektif di Jambi, melainkan juga tak efektif di semua daerah di luar Pulau Jawa," katanya. Ketidakcocokan penerapan UU itu berpangkal pada definisi desa yang dikehendaki oleh UU Nomor 5/1979 itu ternyata tak ada di luar Jawa. Menurut Loekman, bentuk desa di Jambi atau juga di daerah lainnya seperti di Sumatera Barat, Timor Timur, atau Nusa Tenggara Timur, berlainan dengan desa di Jawa. Desa di Jawa mengenal tanah bengkok yang jadi tumpuan penghasilan kepala desa. Sedangkan desa di luar Jawa, tanah bengkok tak ada. Repotnya, sesuai dengan UU Nomor 5/1979 itu, kepala desa tak boleh lagi mengutip uang dari warganya. Padahal, seperti di Jambi, sebelum diberlakukannya UU itu, dikenal ada lembaga marga yang membawahkan sejumlah desa -- kepala marga disebut pasirah. Para kepala desa, seperti Ibrahim, bisa hidup cukup dari pajak-pajak yang diatur oleh pasirah. Kedudukan pasirah adalah kepala adat. Penghasilan seorang kepala desa ketika itu mencapai Rp 7.500/bulan. Itu setara dengan 200 kg beras. Artinya, kalau masih tetap menggunakan ukuran itu, gaji Ibrahim sekarang kira-kira Rp 120 ribu/bulan. Pasirah juga punya kuasa mengutip "pajak" dari warganya. Tak heran kalau Ibrahim kini ogah-ogahan memimpin desanya itu. Ia juga tak mampu mendongkrak gaji anak buahnya yang cuma mendapat honor Rp 17 ribu/bulan. Akibatnya, para pejabat tingkat desa jadi kocar-kacir karena memikirkan dapurnya masing-masing supaya berasap. "Kepala desa dan perangkat lainnya tak masuk kantor karena sibuk mencari uang," kata Loekman. Padahal, tujuan pemberlakuan UU tentang Pemerintahan Desa itu justru menghendaki agar desa punya hak otonom untuk menyusun anggaran sendiri. Setidaknya, setiap desa mampu mandiri dalam membiayai pembangunan desa maupun menggaji kepala desa dan perangkatnya. Lebih jauh, tim peneliti yang dipimpin oleh pakar ekonomi pedesaan Prof. Dr. Mubyarto itu mengungkapkan bahwa setelah UU itu diberlakukan, penduduk desa di Jambi tampaknya menjadi terpecah-pecah. Desa di sana tak lagi utuh sebagai kesatuan ekonomi dan budaya. Bahkan ada sebuah desa yang hanya berpenduduk 20 kepala keluarga. Ini jelas tak memenuhi persyaratan desa yang seharusnya dihuni oleh setidaknya 500 keluarga. Memang, jumlah desa di Jambi jadi membengkak setelah UU itu diberlakukannya. Seperti yang diakui oleh Gubernur Jambi Abdurrahman Sayoeti, pada 1974 hanya ada 101 marga. Kini, ada 1.360 desa. Motif membengkaknya jumlah desa itu adalah uang. Maklum, setiap desa mendapat bantuan dari pusat berupa Dana Inpres Bantuan Desa sebesar Rp 1 juta/tahun untuk pembangunan desa, dan Rp 250.000 untuk program PKK. Dengan dana ini tak ada alasan lagi buat kepala desa memungut "pajak" dari warganya -- seperti ketika pasirah masih berkuasa. Padahal, "Duit segitu untuk apa? Untuk membangun jembatan, ya tak cukup," kata Loekman. Menurut pakar sosiologi itu, ada kesalahan hukum di Indonesia yang tak progresif. Artinya, peraturan yang ada tak mengimbangi dinamika masyarakat. Alhasil, UU No. 5/1979 itu justru membuat desa di Jambi -- dan juga desa di luar Pulau Jawa lainnya -- tak lagi otonom. Lalu, jalan keluarnya? "Kalau UU-nya tak cocok, ya dibuatkan yang baru, atau diubah saja," kata Loekman. Loekman kemudian mengutip pasal 18 UUD 1945 yang penjelasannya justru mengakui bentuk-bentuk pemerintahan lokal di tingkat desa yang banyak variasinya di Indonesia. Di beberapa daerah lain ada juga kasus serupa. Seperti di Sumatera Barat, yang akhirnya mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 13/1983, isinya membentuk Kerapatan Adat Nagari (KAN). Peraturan itu, setidaknya, mencoba "menghidupkan" kembali fungsi nagari sebagai unit administrasi desa di Tanah Minang yang, karena diberlakukannya UU Nomor 5/1979 itu, eksistensinya terkikis. Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) Atar Sibero tampaknya tak terlalu setuju atas kesimpulan penelitian yang dibuat oleh Mubyarto dan Loekman dkk. itu. "Salah kalau ada yang mengatakan kami menghapuskan lembaga adat. Yang benar adalah lembaga adat jadi tak berfungsi lagi sebagai lembaga pemerintahan," katanya kepada wartawan TEMPO Rustam F. Mandayun. Menurut Atar, lembaga adat tetap bisa menjalankan fungsinya sebatas "lembaga adat". Diakui olehnya bahwa dahulu, ketika zaman penjajahan Belanda, lembaga adat juga digunakan untuk menjalankan fungsi pemerintahan desa. Hanya, sesuai dengan perkembangan zaman, secara berangsur-angsur fungsi administrasi pemerintahan tak lagi melekat pada lembaga adat. "Masa, kita harus menggunakan warisan penjajah Belanda terus," katanya. Soal ini tampaknya akan marak dalam forum Rapat Konsultasi Nasional tentang Pemerintahan Desa yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri, pada Selasa pekan ini. Ahmed K. Soeriawidjaja dan Bersihar Lubis (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus